Nama Bukan Cuma tentang Administrasi, tetapi Sebuah Doa dan Perjuangan
ERA.id - Apalah arti sebuah nama? Bunga tetap harum walau tak dinamai mawar. Begitu keyakinan gadis remaja Juliet dalam lakon termasyhur Shakespeare. Namun, lain hal dengan keyakinan kebanyakan orang Indonesia yang mempercayai bahwa nama adalah doa.
Ada orang tua yang memberi nama Mohammad agar anaknya memiliki sifat-sifat baik seperti sang nabi. Nama baik yang mereka pakai akan tersemai dalam diri mereka di mana pun dan kapan pun.
Mungkin begitu juga niat baik pemerintah lewat peraturan menteri dalam negeri yang mengeluarkan aturan nama. Permendagri Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencatatan Nama pada Dokumen Kependudukan. Siapa pun yang lahir di negara Indonesia harus mematuhi aturan tersebut.
Nama harus “mudah dibaca”, “tidak bermakna negatif”, “tidak multitafsir”, “jumlah hurufnya maksimal 60 karakter termasuk spasi”, dan “terakhir jumlah kata minimal dua”.
Mungkin bagian “jumlah karakter” dan “jumlah kata” yang ditebalkan oleh pemerintah. Sebab, fenomena memberi nama yang terlalu panjang cukup merepotkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
Seperti kasus di Dukcapil Tuban menerima anak lahir 6 Januari 2019 yang namanya lumayan panjang untuk ukuran Indonesia. Rangga Madhipa Sutra Jiwa Cordosega Akre Akshala Mughal Ilkhanat Akbar Sahara Pi-Thariq Ziyad Syaifudin Quthuz Khoshala Sura Talenta. Orang tuanya mempertahankan nama anaknya karena itu semua adalah doa.
Jika dihitung dengan spasi, maka nama anak itu memiliki 132 karakter. Apa yang terjadi? Selama tiga tahun orang tuanya mondar-mandir mengurus akte kelahiran ke dinas dan tak ada kata selesai.
Perihal nama minimal dua kata, sepertinya ini berurusan dengan administrasi dengan luar negeri. Misal, pada paspor mesti bernama dua kata, tak boleh satu. Dan Indonesia adalah negara yang banyak memiliki nama satu kata.
Akan tetapi, apakah peraturan terbaru itu hanyalah urusan teknis semata? Indonesia mempunyai sejarah perihal nama untuk etnis Cina. Mereka diminta untuk mengganti nama yang khas Indonesia, menjadi bukti nasionalis seseorang atau berasimilasi dengan warga negara yang disebut “pribumi”.
“Pemaksaan” pemerintah terhadap etnis Cina setelah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 240 Tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok yang Menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing disahkan.
Bahwa pada Bab II Pasal 3 bahwa pembinaan warga negara keturunan asing dijalankan dengan memalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial.
Aturan itu ditandatangani oleh Soeharto—saat itu posisinya sebagai Pejabat Presiden RI—pada tanggal 6 Desember 1967.
Dengan maksud asimilasi membuat banyak etnis Cina menggantikan namanya yang semula memilki khas sendiri. Seperti salah satu tokoh intelektual Indonesia yang menggantikan namanya adalah Arief Budiman, yang sebelumnya bernama Soe Hok Djin.
Namun, tidak semua etnis Cina menggantikan namanya, salah satunya ialah Soe Hok Gie—tokoh pemuda yang kerap mengkritik kebijakan Soekarno dan juga saudara kandung Arief Budiman.
Di era Orde Baru juga banyak nama asli yang disembunyikan, bahkan sama sekali tidak dipakai, karena mereka mempunyai hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia.
Misal, Svetlana Dayani seorang anak dari Njoto. Ia tidak pernah memakai nama Njoto karena ayahnya itu adalah dedengkot PKI—partai yang dilarang di era Orba. Dan juga nama “Svetlana” ada bau-bau Rusia, yang dulu sempat menjadi pusatnya komunis dunia.
Kalau menengok karya ilmiah Nurhayati berjudul “Negosiasi Identitas dalam Pemberian Nama”, ia memberi kesimpulan bahwa nama adalah media untuk menegosiasikan berbagai identitas yang ada dalam masyarakat. Masyarakat dapat menonjolkan identitas tertentu atau menyembunyikan identitas tertentu melalui nama diri.
“Bahkan”, lanjutnya, “nama adalah sarana yang ampuh untuk menaikkan status sosial seseorang. Oleh karena itu, dari nama pula kita dapat mengetahui cara pandang masyarakat dan sikap masyarakat dalam menghadapi dunia di sekitarnya.”