Komedi dan Materi "Tepi Jurang"
ERA.id - Bintang Emon, stand up comedian, kerap kali membuat materi lawak yang lumayan “pinggir jurang”. Video-video pendeknya di media sosial Instagram membuat detak jantung penonton berhenti sejenak karena lumayan mengkhawatirkan.
Walau kadang tak menyebut nama pejabat, tetapi pemirsa akan tahu siapa yang yang Bintang maksud. Sebab, ia sedang merespons kondisi negara—yang sedang tak baik-baik—atau pejabat yang sedang tersangkut masalah besar.
Respons warganet beragam, tetapi yang komentar sering muncul adalah “hati-hati, ada tukang bakso”. Ucapan perhatian itu sebenarnya ditujukan kepada intelegen yang menyamar menjadi siapa saja, wabilkhusus menjadi tukang bakso keliling.
Itu semacam umpan balik dari penonton bahwa materi candaan yang dilemparkan oleh Bintang atau komedian lainnya telah tepat sasaran ke inti masalah. Itu “berbahaya” dan warganet menyukainya.
Di Twitter, nama Bintang Emon, beberapa kali trending satu minggu terakhir. Sebab, ia baru saja tampil stand up comedy di kanal YouTube Deddy Corbuzier dengan materi yang tetap sasaran. Materinya yang paling disorot adalah kenapa ketua Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) diisi bukan dari pesepakbola, malahan bekas aparat, polisi maupun tentara. Dengan logika yang sama, kata Bintang, semestinya Kapolri bisa dari pesepakbola juga.
Selain Bintang Emon, candaan Andhika Pratama juga kerap “pinggir jurang” atau “ngeri-ngeri sedap”. Andhika tampil di satu acara di stasiun televisi swasta bersama Andre Taulany, Wendi Cagur, Andhika Pratama, Kiky Saputri, Ayu Ting Ting, Gilang Gombloh, Surya Insomnia, dan Hesti Purwadinata.
Dalam acara komedi kriminal tersebut, Andhika mengeluarkan lawak yang menyita perhatian publik Indonesia. Satire-satire terhadap pejabat yang korup, pemimpin negara yang tidak menjalankan perannya, dan pejabat menteri yang nyaris mengerjakan semua hal.
Tidak saja Bintang Emon, Andhika Pratama, ada juga Kiky Saputri yang khusus me-roasting atau mengolok pejabat. Dan hal tersebut tidak mudah sebenarnya, sebab kebobrokan pejabat tersebut diurai di depan banyak orang. Tak sedikit yang diolok memprotes Kiky di belakang layar. Bahkan, sekelas pelawak senior Indonesia, Sule, tidak menerima roasting-an Kiky.
Sekali lagi, tidak saja komika dan pelawak yang disebutkan di atas yang memiliki daya kritis terhadap masalah negara dan tanggap keresahan warga Indonesia, ada banyak komika lainnya yang mempunyai kadar kritis yang berbeda-beda.
Misal, stand up comedian yang mempunyai kekritisan yang “teping jurang” adalah Priska Baru Segu. Komika yang berasal dari Ende ini memiliki keberanian dalam membuat materi. Tak tanggung-tanggung, perihal agama yang ia sorot, seperti sekolah Katolik yang mahal dan bagaimana keresahan ia bekerja di toko jilbab, padahal ia bukan beragama Islam.
Komedi atau lawakan sangat dekat dengan ketersinggungan, baik menyinggung sosial maupun politik. Dua ranah tersebut menjadi palagan bagi komedian dan pelawak. Mereka membuat materi dari kegelisahan sehari-hari.
Komedi yang terkenal di Indonesia, yaitu grup Warkop DKI (beranggotakan Dono, Kasino, dan Indro) dan Srimulat. Lawak-lawakan dua grup tersebut tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari dan akan merembet ke wacana sosial dan politik.
Dalam buku Ketawa Ketiwi Betawi (2007), Abdul Chaer mengutip dua pendapat penulis perihal humor. Menurut Wijana, wacana humor cenderung menjadi wacana hiburan, disamping sebagai wacana kritik sosial terhadap segala bentuk ketimpangan yang terjadi di dalam masyarakat.
Sementara itu, menurut Danandjaya, bahwa di dalam masyarakat humor, baik yang bersifat erotis, maupun yang berupa protes sosial, berfungsi sebagai pelipur lara.
Semua tidak lepas dari kata menghibur. Komedian atau komika menghadirkan materi kondisi sosial bertujuan menghibur semata—walau beberapa pejabat gerah mendengar materi itu.
Apri Damai Sagita Krissandi dan Kelik Agung Cahya Setiawan dalam jurnal “Kritik Sosial Stand Up Comedy Indonesia dalam Tinjauan Prakmatik” menyatakan bahwa Stand up comedy dapat digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial karena dapat diungkapkan dengan bahasa yang harmonis dan mempunyai kesan santai serta menggelitik.
Sehingga, masyarakat lebih mudah memahami kritik sosial yang dilontarkan komika dan komedian dibandingkan dari pakar yang berseliweran di televisi dan tokoh intelektual yang menulis di koran-koran nasional.