Borobudur dari Masa ke Masa: Tempat Nyonya Kompeni Minum Teh, Digerogoti Raja Siam, hingga Dibom
ERA.id - Pada 1815 Gubernur Inggris Thomas Stamford Raflles meminta kepada opsir zenie H.C. Cornelis untuk memimpin proyek pembersihan Candi Borobudur. Lebih dari 200 penduduk dipaksa kerja rodi selama 45 hari: Menebang pohon, membabat dan membakar belukar, hingga menggali tanah yang telah menutupi candi sedalam 10 meter ke dalam tanah.
Dari pengerjaan tersebut, akhirnya Borobudur kembali terjaga dari tidur panjang selama 9 abad lamanya. Raflles berangkat ke kampung halamannya, Borobudur tak terjamah lagi. 20 tahun kemudian, tepatnya pada 1835, seniman Jerman A. Shaefer mengabadikan Borobudur lewat 5.000 foto, kemudian diteruskan oleh F.C. Wilson dan Schonberg Mulder dari tahun 1849—1853.
Masyarakat di sekitar kawasan Borobudur telah lama mengetahui bukit yang dipenuhi belukar tersebut, kemudian melaporkan kepada sang Gubernur Raflles pada 1814. Penemuan tersebut beberapa tahun kemudian tersebar ke mana-mana. Tak terkecuali ke telinga Raja Siam.
Pada 1834, Residen Kedu (atau Keresidenan Kedu: satuan administrasi yang berlaku di Jawa Tengah pada masa penjajahan Hindia Belanda) melanjutkan pemugaran Borobudur. Ia memimpin pembersihan lebih lanjut supaya wajah candi tampak lebih cantik. Batu-batu yang berserakan di sekeliling candi disingkirkan ke kaki bukit, sedangkan stupa-stupanya dibetulkan posisinya.
Dalam buku Sejarah Panjang Restorasi Candi Borobudur (2019) tertulis bahwa 10 tahun kemudian setelahnya, stupa induknya diperbaiki, di atasnya diberi bangunan bambu sebagai tempat para pembesar Belanda dan nyonyanya minum teh dengan santainya, sembari menikmati panorama senja tatkala sang surya berpamitan denhan seisi bumi.
Bila sekarang banyak pengunjung yang menaiki stupa-stupa Borobudur—padahal dilarang oleh pihak pengelola—lain hal pada zaman Belanda. Para pembesar dan nyonya Belanda itu dibuatkan tempat-tempat duduk di atas bangunan Borobudur.
Dari tim penyusun Pusat Data dan Analisa Tempo menyebut hal tersebut adalah "Suatu perkosaan terhadap keaslian Borobudur tentunya, sekaligus perkosaan terhadap fungsinya sebagai tempat mempelajari keluhuran ajaran Buddha".
Akan tetapi, tak kalah dengan perilaku para pembesar dan nyonya Belanda tersebut, raja Siam (Thailand sekarang) berkunjung ke Borobudur. Sang raja tertarik dengan patung dan beberapa relief yang ada di Borobudur, mungkin ia pengin mempelihatkan kebesaran kekuasaannya kepada tamu kerajaan atau kepada rakyatnya sendiri.
Apa yang terjadi? Residen Kedu ketika itu memberikan hadiah sang Raja Siam 5 relief dan 8 gerobak batu-batu candi Borobudur. Tak saja itu, Residen Kedu memberi lagi 5 patung Sang Buddha, 2 patung singa penjaga candi, 1 pancuran berwujud makara (kepala gajah bertanduk kambing, bertelinga kerbau dengan singa mini di dalam moncongnya), sejumlah kepala kala (raksasa dan dewa waktu dalam mitologi Jawa) dari pangkal tangga dan gapura, serta sebuah patung raksasa dari bukit sebelah Barat.
Banyak juga. Kalau lihat ada beberapa bagian yang kosong di Candi Borobudur, yah kemungkinan itu ulah dari Residen Kedu dan sang Raja Siam dari Thailand.
Menurut Pusat Data dan Analisa Tempo, "Hampir saja penggerogotan elemen-elemen Borobudur itu makin menjadi-jadi, ketika para ahli di Negeri Belanda mengusulkan agar relief-reliefnya dipindahkan saja ke museum Leiden mengingat kondisi candi yang semakin rusak."
Untungnya, ide pemindahan itu banyak ditolak oleh kalangan ahli sendiri, sehingga tidak terjadi penggerogotan "atas nama penyelamatan". Kalau itu terjadi, mungkin Borobudur sekarang hanyalah tinggal lapangan luas, tanpa stupa, relief, dan patung-patung Buddha.
Akan tetapi, yang lebih mengenaskan ketika tengah malam, pukul 01.30 pada 21 Januari 1985, Candi Borobudur dibom. Dari laporan Majalah Tempo, (26/1/1985) bahwa ledakan terdengar 10 menit setelah Suyono dan Triyanto—Satpam Candi Borobudur—mulai berpatroli.
Mereka kaget dan tidak mengetahui sumber ledakan tersebut, sebab pada tengah malam itu penglihatan mereka terhalangi oleh cuaca gelap. Tak berselang lama, 1 menit kemudian, ledakan kedua terdengar lagi. Kali ini terlihat kepulan putih di sisi timur Candi Borobudur.
Suyono dan Triyanto lekas lari melaporkan ke pos induk. Pada malam itu, ada sembilan ledakan. Ledakan terakhir pada pukul 03.40, setelah sepuluh menit Kepala Polres Magelang tiba di tempat kejadian. Terlihat pecahan batu berserakan di lantai dan tangga candi. Tubuh-tubuh Buddha tergelatak tanpa kepala.
Dua minggu setelah pemboman di Candi Borobudur, pihak aparat belum menemukan siapa pelakunya. Banyak berita sumir (atau kini hoaks) yang beredar perihal pemboman tersebut. Sudah 57 orang yang dipanggil dan diminta keterangannya, tetapi pelakunya belum jelas.
Pada Maret 1985, aparat menangkap dua saudara bernama Husein Ali al-Habsyi dan Abdulkadir Ali al-Habsy. Husein dipenjara seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I, Lowokwaru, Malang, Jawa Timur, sedangkan Abdulkadir dipenjara selama 20 tahun.
Tahun 1994, Abdulkadir bebas, sedangkan Husein dan bersama narapidana politik diberi grasi oleh pemerintah Habibie pada 23 Maret 1999.
Pengakuan Husein dalam wawancara Majalah Tempo, (5/4/1999) bahwa anak-anak majelis taklim yang ia pimpin terpengaruh oleh ceramah dari Muhammad Jawad alias Ibrahim alias Kresna yang kerap membahas tragedi Tanjung Priok—yang menewaskan 400 orang karena bentrok antara aparat dan massa Islam pada 19 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Husein tidak membenarkan bahwa ia adalah pelaku pemboman Borobudur. Menurutnya, Muhammad Jawad yang memengaruhi jemaahnya untuk melakukan tindakan ekstremis tersebut, salah satunya saudaranya yang terpengaruh ajakan Jawad
Abdulkadir mengiyakan pengakuan saudaranya itu, seperti dilansir Kompas (25/3/1999), "Pelakunya itu saya. Husein itu tak tahu apa-apa. Dia cuma orang yang memegang teguh ajaran agama."
Hingga kini, sampai pemberitaan tiket Borobudur Rp750 ribu, dalang pemboman Borobudur, pada 21 Januari 1985 belum terungkap. Dan otak pengeboman Muhammad Jawad belum ditemukan.