Sejarah 7 Juni 1999: Gegap Gempita Pesta Demokrasi Pertama Usai Tumbangnya Orde Baru

ERA.id - Banyak kekhawatiran setelah Soeharto tumbang. Apakah Indonesia akan baik-baik saja atau kekacauan terus terjadi? Karena desakan publik terhadap pemerintahan BJ Habibie ketika itu, pemilu yang semestinya diselenggarakan pada 2002 dipercepat menjadi 1999—pemilu pertama di era reformasi atau pasca tumbangnya Orde Baru. 

BJ Habibie tak sendiri memutuskan tersebut. Ia pada 25 Mei 1998, mengadakan pertemuan bersama pimpinan DPR/MPR untuk membahas Pemilu. Keputusan tersebut dibahas dan diputuskan dalam Sidang Istimewa MPR, 10-13 November 1998. 

Publik politik Tanah Air menyambut baik Pemilu ini, sebab sebelumnya saat masa Orde Baru partai politik yang berlaga hanya tiga partai, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Itu pun, publik sudah mengetahui siapa pemenangnya. 

Pada masa transisi itu melahirkan undang-undang yang menjadi lokomotif perpolitikan Indoensia selanjutnya, yaitu UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, dan UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.

Undang-undang Partai Politik melahirkan sistem multipartai. Akhirnya, sekitar 171 partai baru terbentuk dengan segala macam asas. Namun, sekitar 48 partai yang lolos mengikuti Pemilu 7 Juni 1998.

Tak disangka, kampanye Pemilu 1999 ternyata berjalan damai, kalem, adem. Walau di beberapa tempat terjadi gesekan, tetapi masih bisa diatasi dan ada kesan orang-orang lebih hepi menghadapi perbedaan.

Di Bundaran Hotel Indonesia yang yang luang, bersih, tenang, dengan gemericik air mancur berubah menjadi gelanggang pesta rakyat. Selama dua pekan, ribuan orang tumpah ruah di kawasan elite itu, warna-warni bendera silih berganti tiap harinya. Pedagang kaki lima mendapat keuntungan besar. Orang-orang terus berdatang ikut serta merayakan pesta demokrasi. 

Dan ribuan massa antusias ikut serta pada putaran terakhir kampanye PDI Perjuangan. Seolah kemenangan sudah digenggam. Seakan esok hari kebahagian hadir di depan pintu rumah mereka. Di atas kap metromini, massa berjoget, menabuh beduk, memukul-mukul galon kosong. 

Semua kalangan ikut berkampanye, ada pria tuna daksa ikut bersorai di atas kursi roda, hingga puluhan waria datang berkampanye. Dalam laporan Majalah Tempo, (6/6/1999), bahwa “Itulah yang tidak disangka-sangka banyak orang. Bentrokan antarpartai yang terjadi sebelumnya seperti memberi isyarat bahwa kampanye adalah puncak dari kekerasan politik setelah Soeharto jatuh.”

PDI Perjuangan di Urutan Pertama

Pemilu 1999 dimenangi PDI Perjuangan dengan total suara 35.689.073 (atau 33.74 persen) dengan peraihan sebanyak 154 kursi; disusul Golkar di posisi kedua dengan jumlah suara 23.741.749 atau 22.44 persen dengan perolehan kursi sebanyak 120; posisi ketiga diraih PPP dengan total suara 11.329.905, dengan 59 kursi. 

PKB berada di posisi keempat dengan perolehan suara 13.336.982. Meski mendapat suara lebih banyak ketimbang PPP, tetapi PKB kalah dalam jumlah kursi, yaitu sebanyak 51 kursi. Posisi kelima dimenangkan oleh PAN dengan jumlah suara 7.528.956 dan 35 kursi.

Yang cukup mengejutkan dari perayaan demokrasi itu adalah Partai Golkar masih mendapatkan posisi baik, yaitu urutan kedua setelah PDI Perjuangan. Diketahui bahwa Golkar adalah partai penguasa Orde Baru. Mengapa di masa reformasi masih mendulang suara yang banyak? Apakah semangat reformasi hanyalah untuk elite belaka, tak sampai ke rakyat jelata?

Salah satu opini di Majalah Tempo, (13/6/1999) menjawab, bahwa “Belum tentu. Kemenangan gegap-gempita PDI Perjuangan atas Golkar cukup mengindikasikan bahwa ada penolakan yang meluas atas kekuasaan Orde Baru, dan ada kehendak akan perubahan. Tapi, mungkin juga para pemilih tak mempersoalkan benar, perubahan yang bagaimana yang dikehendaki.”

Selama masa kampanye, di Ibukota Jakarta warna merah (warna PDI Perjuangan) memang lebih dominan dibandingkan warna partai lainnya. Menurut Yusi Avianto Pareanom bahwa “Itu benar-benar menggambarkan kekuatan besar PDI Perjuangan.”

“Menangnya partai-partai reformis inilah yang membuat responden menyebut hasil pemilu kali ini memberikan harapan terwujudnya Indonesia yang lebih baik,” Yusi mengakhiri laporannya di Majalah Tempo, (13/6/1999).

Presiden Soekarno berpidato di depan masyarakat Yogyakarta, 28 November 1955 (ANTARA)

Pemilu Sebelum Reformasi

Pada pascakemerdekaan atau masa Soekarno, Pemilu sempat diselenggarakan pada 1955 yang diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953. Hasilnya, Partai Nasional Indonesia (PNI) di urutan pertama; Masyumi kedua; Nahdlatul Ulama (NU) menempatkan posisi ketiga; Partai Komunis Indonesia (PKI) keempat; kelima adalah Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Sedangkan, partainya Sutan Syahrir, Partai Sosialis Indonesia (PSI) di urutan kedelapan.

Yang semestinya tahun 1960 akan diselenggarakan Pemilu sesuai jadwal lima tahunan, tetapi batal. Sebab, Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden untuk membubarkan Konstituante. Kemudian, Bung Karno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955.

Rezim Soekarno tumbang, Orde Baru muncul. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969, pemilihan umum diselenggarakan pada 5 Juli 1971. Pemilu 1971 bertujuan memilih anggota DPR. Ada 10 partai yang berpartisipasi, Nadhalatul Ulama, Partai Muslim Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiiah, Partai Nasionalis Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katholik, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Murba, dan Sekber Golongan Karya. 

Akan tetapi, Pemilu selanjutnya dari 1977 hingga 1997, partai dijadikan tiga saja. Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) (gabungan dari Partai NU, Parmusi, Perti, dan PSII), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) (gabungan dari PNI, Partai Katolik, Parkindo, Partai IPKI, dan Partai Murba).

Presiden Soeharto pada Pemilu 1982 (ANTARA)