Memahami Tren Remaja Menahan Truk di Jalan Demi Sebuah Eksistensi
ERA.id - Kelompok remaja menahan truk yang sedang melaju di Jalan Otista, Gerendeng, Karawaci, Tangerang, Banten pada Jumat (3/6/2022). Akibatnya, salah satu di antara mereka yang berumur 18 tahun tewas di tempat.
Sehari sebelumnya, Kamis (2/6/2022), di Jalan Gading, Cingcin, Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sejumlah remaja dengan percaya diri menabrakkan tubuh mereka ke truk. Kali ini tidak ada yang tewas, tetapi satu dari mereka mengalami luka berat dan dirawat di rumah sakit.
Bila tengok setahun lalu, aksi menahan truk ini juga terjadi di Jalan Raya Sukabumi, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, pada Jumat (10/9/2021). Satu orang remaja 15 tahun tewas.
Tiga kejadian itu terekam oleh kamera dan warga. Bisa jadi aksi-aksi serupa juga banyak terjadi di berbagai daerah, tetapi belum terkuak ke permukaan karena belum ada korban atau tidak diposting di media sosial.
Selain untuk eksistensi, menahan truk yang melaju di jalan raya oleh remaja itu adalah sebuah usaha demi konten di media sosial, seperti di Instagram. Berani. Tanpa pikir panjang aksi menabrakkan diri ke truk ini seakan menjadi tren. Mengapa hanya sebuah tren para remaja tersebut mau melakukan tindakan yang sangat berisiko?
Frasa “demi konten” telah familier di telinga warganet. Demi konten apa saja akan dilakukan. Dari berisiko ringan hingga yang berat. Demi konten tersebut menjelma jadi gaya hidup. Siapa pun yang melakukan itu maka ia akan disebut gaul atau menjadi bagian dari kelompok tertentu (masuk sirkel).
Remaja dan Eksistensi di Media Sosial
Dalam Jurnal Visi Komunikasi Vol. 16, No. 01, Mei 2017, Bimo Mahendra menjelaskan bahwa remaja adalah suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat lebih tua, tetapi merasa sama atau paling tidak sejajar. Remaja ada di antara usia anak dan usia dewasa. Pada fase ini, remaja dikenal dengan fase “mencari jati diri”—masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya.
Pada fase mencari jati diri inilah, para remaja kerap mengaktualisasikan diri mereka lewat aksi-aksi tertentu atau mengikuti tren. Agar ingin mendapat pride, aksi tersebut direkam atau difoto, kemudian diunggah ke media sosial. Jelas pengunggahan itu ditujukan agar disukai, disebar, dan dikomentari. Semakin banyak respons warganet terhadap postingan mereka, maka semakin kuat pride tersebut. Menjadi bahagia.
Itu semua adalah satu perwujudan eksistensi mereka ke dunia luar, ke dunia jagat maya. Dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, eksistensi diartikan ‘hal berada’ atau ‘keberadaan’.
Dalam artikel ilmiah berjudul “Instagram sebagai Media Eksistensi Diri”, Velantin Valiant mengutip teori Frankl bahwa arti dari eksistensi diri adalah kebutuhan manusia akan arti. Individu bebas mengambil sikap untuk menemukan arti hidup sebagai bentuk eksistensi diri.
Remaja yang menahan truk demi sebuah konten sebagai salah satu cara mengekspresikan jati diri mereka ke dunia luar. Akan tetapi, mereka lupa bahwa mereka bukan spiderman yang mampu melompat menggunakan jaring yang dikeluarkan dari tangannya.
“Demi sebuah konten” adalah satu dari banyak racun dalam menggunakan media sosial. Dalam artikel Kompas, (9/10/2021), “Facebook Files Ungkap Fakta Tersembunyi Dampak Buruk Instagram pada Remaja”, menuliskan:
“Hasil survei internal Instagram yang terangkum dalam Facebook Files dapat ditarik dua aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, yaitu dampak buruk dominan yang dialami pengguna. Kedua, dampak paling berbahaya risikonya, yaitu yang dapat mengancam nyawa atau dapat memicu bunuh diri.”
Di era teknologi super cepat kini, media sosial telah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan dalam keseharian. Tanpa mengunggah satu konten dalam sehari, seperti belum afdal menjalani aktivitas. Semua cara akan dilakukan demi sebuah konten. Sehingga, jangan heran, bila ada kelompok remaja yang mau melakukan tindakan bebal. Sebab, mereka melakukan itu untuk “sebuah tren”, “sebuah konten”, dan “sebuah kebodohan”.