Perjalanan Air Minum Sampai ke Gelas Kita
ERA.id - Gubernur Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles (1811—1815) mencatat bahwa penduduk di Pulau Jawa saat itu sudah terbiasa merebus air sebelum dikonsumsi guna menjaga kesehatan.
Kebiasaan merebus air minum ini ditiru oleh orang Belanda yang berada di Batavia. Air minum masih diambil dari sumur umum atau sumur pribadi yang dekat dengan rumah. Namun, sekitar tahun 1880-an, di Batavia, ada tuan tanah yang memiliki sumur air jernih dan ia menjual airnya.
Tercatat dalam buku Beberapa Catatan Sejarah Air Minum di Indonesia 1800—2005, bahwa tuan tanah itu memperdagangkan air sumur tersebut dengan harga 1,5 gulden per drum (200 liter). Air sungai pun waktu itu diperdagangkan dengan harga 2—3 sen per kaleng (20 liter).
Dari kebiasaan mengambil air sumur tersebut, Pemerintah Kota Batavia mendirikan Perusahaan Air Minum (PAM) Batavia membangun sumur bor untuk warganya. Namun, airnya berwarna hitam akibat kandungan besi yang tinggi kalau dipakai untuk menyeduh teh.
PAM Batavia meresponsnya sehingga perusahaan tersebut mengambil air baku dari mata air di Ciomas, Bogor (dulu: Buitenzorg).
Tidak saja di Batavia, di kota lain, seperti Magelang, Jawa Tengah, juga mengalami pembangunan infrastruktur air minum. Anno 1880—1890, Dinas Pengairan Belanda membuat saluran air sepanjang 12 km dari satu bendungan di Sungai Elo ke pusat Kota Magelang.
Dua orang Belanda (Mouner dan Bernie) di Jawa Timur pada 1890 diberi konsesi (izin untuk membuka hutan) mengelola mata air Umbulan di Pasuruan. Sepanjang 60 km pipa yang mereka pasang dari Pasuruan sampai ke Kota Surabaya. Satu dekade kemudian, PAM Kota Surabaya berdiri.
Karena untuk kepentingan orang Belanda, dari segi politis, ekonomi, hingga perkebunan, pembuatan perusahaan air minum terus digenjot pembangunannya di beberapa kota di Hindia Belanda.
Secara berangsur kebiasaan mengambil air minum dari sumur beralih ke kran atau pipa yang telah dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu. Namun, jelas kebiasaan itu masih sebatas di kalangan elite semata, belum sampai ke warga secara umum. Bahkan, hingga sekarang warga Indonesia di beberapa wilayah masih mengambil air sumur secara manual (menggunakan ember).
Warga ambil air dari sumur, perusahaan besar mulai membutuhkan air yang banyak, kemudian pasar mulai tercipta. Kira-kira seperti itu bila ditarik inti dari perjalanan panjang air minum di Indonesia, wabilkhusus di perkotaan.
Dalam Catatan Sejarah Air Minum di Indonesia menuliskan bahwa setelah kemerdekan, sekitar lima tahun pertama dari 1945—1950, hampir tidak ada pembangunan sektor air di Indonesia. Bangsa dan negara Indonesia ketika masih berkutat dengan kondisi revolusi dan mempertahankan kemerdekaan Republik.
Pada 1950, penduduk Jakarta mengalami peningkatan tiga kali dari tahun 1922. Hal itu karena akibat magnet Jakarta yang menarik warga dari penjuru Indonesia untuk kerja di ibu kota. Terjadilah urbanisasi yang lumayan besar. Dari pertumbuhan penduduk inilah permintaan air minum juga meningkat.
Dua dekade kemudian, Tirto Utomo—warga asli Wonosobo yang pernah bekerja untuk Pertamina—mendirikan perusahaan Aqua. Pendirian ini tidak lepas dari kesulitannya mencari air minum untuk para tamu dari luar negeri. Aqua tidak bisa dipungkiri menjadi lokomotif dari beberapa air minum dalam kemasan di Indonesia.
Soal air minum, mungkin dianggap sederhana, tetapi efek dan manfaatnya tidak bisa dianggap remeh. Bisa-bisa bagi yang meremehkannya akan berujung kematian.
Dodik Briawan, Tyas Rara Sedayu, dan Ikeu Ekayanti dalam Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 8, No. 1, Juli 2011, menulis bahwa tubuh manusia rata-rata tersusun atas 75% air dan 25% bahan padat. Otak tersusun atas 85% air dan sangat rawan jika mengalami dehidrasi. Seseorang yang mengalami kehilangan 40% lemak dan protein tubuh akan mampu bertahan hidup tetapi jika kehilangan 20% air dapat menyebabkan kematian.