Refly Harun: Mengukur Untung Rugi Presidential Threshold 20 Persen, Kental Politik Transaksional

ERA.id - Otak-atik aturan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kembali bergulir, kali ini presidential threshold (ambang batas presiden) 20 persen dari kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25 persen suara sah nasional kembali ramai disinggung.

Ambang batas itu diketahui diatur dalam pasal 222 UU Pemilu. Pasal itu mengatur pencalonan presiden dan wakil presiden dilakukan partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR.

Presidential threshold atau syarat pencalonan presiden tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dimana diatur, pasangan calon presiden-wakil presiden bisa diusung oleh partai politik atau koalisi partai politik yang memiliki minimal kursi DPR 20 persen atau 25 persen suara.

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menyebutkan apabila ambang batas tersebut di 0 persenkan, semua partai politik bagi yang mempunyai kursi maupun tidak bisa memiliki hak mencalonkan diri.

"Tapi kalau sekarang yang punya hak mencalonkan diri hanya lah maksimal 16 partai politik yang ikut kemarin tapi itu harus gabung sampai 20 persen," ucapnya di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), Minggu (3/7/2022).

Refly menuturkan, apabila memakai 20 persen dari presidential threshold jumlah calon presiden maksimal empat orang saja. Namun bila 0 persen maksimal sejumlah partai politik yang ikut pemilu.

"Kalau yang ikut pemilu 16 ya calon presiden maksimal 16 bisa. Contohnya bila 0 persen masyarakat bisa memilih banyak calon presiden," katanya.

Relfy menilai, penolakan 0 persen ada kepentingan dari oligarki. Sebab apabila misalnya presidential threshold 20 persen, maka partai politik menjadi punya power dan harga.

"Jadi mereka bisa katakanlah bisa menjual perahunya. Mereka terlibat dalam pembicaraan yang oligarki sifatnya dan kita tidak bisa punya calon-calon (presiden) yang  barangkali kita akan dukung karena calon tersebut harus di endors harus disetujui oleh oligarki itu baik oligarki politik maupun oligarki ekonomi," bebernya.

Refly menambahkan, politik transaksional bisa terjadi saat hajatan Pemilu 2024 bisa terjadi. Namun jika 0 persen ada peluang politik transaksional, tetapi munculnya pemimpin yang jujur dan amanah masih besar.