ERA.id - Tagar #suganterpinter sempat populer di media sosial (medsos) Twitter baru-baru ini, usai Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, merespons kritik dari akun Twitter @oustandjing soal penggunaan dana APBD untuk membangun Masjid Raya Al Jabbar.
Dalam unggahannya di akun instagram pribadi @ridwankamil menjelaskan prosedur pembangunan rumah ibadah menggunakan dana APBD maupun APBN. Di akhir kalimat penjelasan itu, Ridwan Kamil sempat membubuhkan tagar #suganterpinter.
Namun, tagar tersebut dihapus tak lama setelah penjelasan itu diunggah di instagram Ridwan Kamil.
Menanggapi hal tersebut, Ahli Linguistik Forensik, Andika Dutha Bachari menerangkan, tagar yang sempat populer itu harus dipahami secara kontekstual terkait bahasa, kalimat, tuturan, maupun tulisan yang dibuat Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.
"Itu harus dipahami secara kontekstual. Artinya bahwa dalam konteks ini Kang Emil (Ridwan Kamil) merasa dipojokan, setidak-tidaknya dia merasa diserang," terang Andika, Kamis (5/1/2023).
Ia menilai penggunaan tagar #sugantehpinter dalam konteks kalimat dalam unggahan itu menunjukkan kecerdasan Ridwan Kamil dalam berbahasa. "Artinya sedikit, tapi sangat mematikan. Jelas bahwa di sana ada sindiran terhadap berita tutur, ya sah-sah saja ditafsirkan seperti itu," ucapnya.
Andika menjelaskan, jika apabila kalimat sugan teh pinter diterjemahkan ke Bahasa Indonesia adalah dikira cerdas. Sehingga, penggunaan kalimat itu terdapat harapan dari Ridwan Kamil agar warganet memahami yang sudah dijelaskan, meski baru dikatakan dalam tulisan atau unggahannya.
"Artinya ada harapan Kang Emil bahwa semestinya memahami apa yang sudah dijelaskannya walaupun baru dikatakan dalam tulisan itu," jelasnya.
Menurutnya, keberadaan saluran komunikasi saat ini tentunya bisa mempertemukan seseorang yang berstatus sosial sebagai kepala daerah dengan warga biasa. Bahkan, warga biasa bisa menyapa presiden dengan saluran komunikasi yang canggih. "Ini (saluran komunikasi) menyebabkan kondisi berbahasa serba boleh, permisif (bersifat terbuka)," tuturnya.
Kendati begitu, imbuh Andika, penggunaan saluran komunikasi kerap menyebabkan kebocoran ragam bahasa. Akibatnya, warganet kerap tidak memahami sedang berbahasa dengan siapa. Sebaliknya, pejabat juga sering tidak menyadari sedang berbahasa menggunakan saluran yang mana.
Makanya atribut sosial dalam konteks berbahasa di media sosial seharusnya tidak boleh digunakan. "Kita tidak boleh menggunakan atribut sosial bahwa dia pejabat atau apa pun, sudah lebur dia, sudah tidak ada ciri lagi yang membedakan antar status sosial. Ini bahasa bermedia di gawai (telepon seluler) sehingga ada mediasinya." imbuhnya.
Kendati begitu, konteks berbahasa secara tatap muka dengan medsos tentu sangat berbeda. Jika, berbahasa secara tatap muka ada faktor-faktor sosial lain yang akan mempengaruhi penutur untuk memilih kata dan struktur kalimat.
"Makanya kepada siapa pun, karena tindak komunikasi yang kita lakukan sekarang ini selalu bermediasi teknologi maka berhati-hatilah. Karena kita tidak bisa mengoreksi dan memanfaatkan gestur untuk menyampaikan pesan kepada mitra tutur," pungkasnya.