ERA.id - Seorang wanita asal Korea Selatan, Dahye Yim, mengaku merasakan gangguan siklus menstruasinya setelah menerima dosis kedua vaksin Covid-19 merek Pfizer.
Ia mengalami gangguan menstruasi disertai migran. Yim pun lansung 'Googling' untuk mencari tahu apakah wanita lain telah mengalami perubahan siklus serupa.
Dia menemukan pengalaman serupa tetapi gagal menemukan informasi yang didukung secara ilmiah tentang kemungkinan efek samping vaksin jangka pendek.
“Setelah saya menerima dosis kedua saya pada bulan September, saya melihat benjolan di bawah ketiak saya dan saya menyimpulkan ini adalah efek samping," katanya seperti dilansir Al Jazeera, Rabu (3/11).
Ribuan wanita lain dilaporkan mengalami perubahan sementara pada pola menstruasi reguler mereka, termasuk penundaan, hinggapendarahan vagina setelah mendapatkan vaksin merek apapun.
Penyimpangan telah dilaporkan dengan semua merek vaksin dan di berbagai negara.
Ribuan wanita lain dilaporkan mengalami perubahan sementara pada pola menstruasi reguler mereka, termasuk penundaan, hingga pendarahan vagina setelah mendapatkan vaksin merek apapun.
Para peneliti sebenarnya mengetahui efek samping tersebut, namun dikesampingkan dengan menyatakan bahwa jumlah kasus yang dilaporkan terlalu sedikit, atau bahwa perubahan dapat disebabkan oleh faktor lain seperti stres terkait pandemi.
Analis mengatakan hipotesis soal gangguan menstruasi akibat vaksin dapat mengganggu program vaksinasi kepada kaum wanita.
Selain itu, isu gangguan menstruasi juga dapat menjustifikasi bahwa teori konspirasi soal vaksin dapat menyebabkan kemandulan benar adanya.
Badan Pengatur Obat dan Produk Kesehatan Inggris (MHRA), menyatakan telah menerima laporan lebih dari 30.000 wanita. Selain itu, 2 orang peneliti medis yang berbasis di AS yang telah mengumpulkan lebih dari 140.000 laporan sejauh ini.
National Institutes Health (NIH), badan penelitian kesehatan masyarakat utama pemerintah AS, bulan lalu memberikan hibah sebesar 1,67 juta dolar kepada lima lembaga nasional untuk menyelidiki masalah menstruasi ini.
Selama uji klinis vaksin, peserta wanita mengatakan mereka tidak ditanya tentang siklus menstruasi mereka.
Seorang jurnalis Amerika dan penulis Doing Harm: The Truth About How Bad Medicine and Lazy Science Leave Women Dismissed, Misdiagnosed, and Sick, Maya Dusenbery mengkritik soal kemungkinan gangguan menstruasi saat uji klinis vaksin dikesampingkan ilmuwan. Apalagi UNICEF menyatakan 26 persen dari penerima vaksin adalah usia menstruasi.
“Masalah ini benar-benar menimbulkan beberapa masalah yang lebih luas dalam perawatan medis kaum wanita. Dalam uji coba vaksin COVID-19, tidak ada kesadaran seperti itu bahwa setengah dari populasi mengalami menstruasi, dan itu adalah bagian normal dari pengalaman kesehatan reguler mereka. Kurangnya pengetahuan dan perhatian ini menambah budaya misinformasi yang lebih luas tentang vaksin yang sebenarnya bisa dihindari dengan mudah sejak awal,” katanya.
“Dapat dimengerti bahwa mereka tidak menanyakan pertanyaan ini karena mereka mencoba membawa vaksin secepat dan seaman mungkin. Ada proses persetujuan yang dipercepat untuk mengeluarkannya dan menyampaikannya kepada kami, yang secara ilmiah masuk akal,” kata Dr Mostafa Borahay, direktur ginekologi umum dan kebidanan di Johns Hopkins Bayview Medical Center, di Maryland, AS, dan salah satu dari penerima hibah NIH.
Namun di luar beberapa catatan, hanya ada sedikit data atau pengetahuan yang didukung secara ilmiah tentang bagaimana vaksin dapat memengaruhi siklus menstruasi wanita.
"Ada catatan soal efek samping mual di sekitar periode vaksinasi," kata Dr Victoria Male, dosen imunologi reproduksi di Imperial College London.
Ketidakseimbangan gender dan rendahnya keterwakilan perempuan saat uji klisi vaksin, diduga menjadi penyebab masalah ini. Analis mengatakan bahwa hikmahnya adalah bahwa sekarang lebih banyak fokus diberikan pada kesehatan seksual dan reproduksi wanita dalam penelitian medis.