ERA.id - Kepala badan anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) menyebut Jalur Gaza yang terkepung sebagai “tempat paling berbahaya di dunia bagi anak-anak”. UNICEF juga menulai gencatan senjata selama empat hari tidak cukup untuk mengakhiri konflik dan menyelamatkan nyawa anak-anak.
Direktur eksekutif UNICEF Catherine Russell mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa lebih dari 5.300 anak dilaporkan telah terbunuh di Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober terhadap Israel, yang merupakan 40 persen dari kematian tersebut.
“Ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Russell, yang baru saja kembali dari perjalanan ke Gaza selatan, dilansir AFP, Kamis (23/11/2023).
"Saya dihantui oleh apa yang saya lihat dan dengar," sambungnya.
Russell menyambut baik kesepakatan yang dicapai Rabu oleh Israel dan Hamas untuk membebaskan sandera dan menghentikan pertempuran sengit dan pemboman di Gaza.
Sekitar 240 orang, mulai dari bayi hingga orang tua ditahan dalam serangan militan Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel, sebagian besar warga sipil, menurut pihak berwenang Israel.
Namun Russell mengatakan bahwa jeda saja tidak cukup dan menyerukan “gencatan senjata kemanusiaan yang mendesak untuk segera menghentikan pembantaian ini”.
“Agar anak-anak dapat bertahan hidup, agar pekerja kemanusiaan tetap tinggal dan memberikan pertolongan secara efektif, jeda kemanusiaan saja tidak cukup,” katanya.
Russell mengatakan bahwa 1.200 anak lainnya diyakini masih berada di bawah reruntuhan bangunan yang dibom atau belum ditemukan.
“Selain bom, roket, dan tembakan, anak-anak Gaza berada pada risiko ekstrim akibat kondisi kehidupan yang sangat buruk,” ujar Russell.
“Satu juta anak atau seluruh anak di wilayah ini kini mengalami kerawanan pangan dan menghadapi krisis gizi yang bisa menjadi bencana besar," tambhanya.
UNICEF memperkirakan bahwa kekurangan gizi akut pada anak-anak dapat meningkat hampir 30 persen di Gaza dalam beberapa bulan ke depan.
Saat berpidato di Dewan Keamanan, kepala Dana Kependudukan PBB, Natalia Kanem, menyoroti penderitaan perempuan hamil di Gaza, dengan sekitar 5.500 orang diperkirakan akan melahirkan bayi dalam kondisi yang memprihatinkan pada bulan mendatang.
“Pada saat kehidupan baru dimulai, momen yang seharusnya menjadi kegembiraan dibayangi oleh kematian dan kehancuran, kengerian dan ketakutan,” kata Kanem.
Sima Bahous, yang memimpin badan lain, UN Women, mengatakan bahwa anak perempuan dan perempuan menghadapi bahaya yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Menurut Bahous, 67 persen korban tewas di Gaza sejauh ini adalah perempuan dan anak-anak.
“Itu berarti dua ibu terbunuh setiap jam dan tujuh perempuan setiap dua jam. Kami telah menyaksikan enam rangkaian kekerasan di Gaza dalam 15 tahun terakhir, namun keganasan dan kehancuran yang terpaksa dialami oleh rakyat Gaza di bawah pengawasan kami telah mencapai intensitas yang belum pernah kami lihat sebelumnya,” katanya.
Hamas dan Israel sebelumnya sepakat untuk melakukan gencatan senjata selama empat hari. Kesepakatan itu ditandai dengan pertukaran 50 sandera dengan 150 warga Palestina yang ditahan Israel.
Selain itu, kesepakatan itu juga termasuk perizinan masuknya bantuan alat kesehatan hingga bahan bakar selama gencatan senjata. Israel dan Hamas juga sepakat tidak akan melakukan serangan apa pun selama jeda tersebut.