ERA.id - Kontestasi pemilihan presiden Iran pada Jumat lalu kemungkinan akan dimenangi oleh seorang hakim yang sangat setia kepada kalangan mapan religius, demikian dilaporkan ANTARA, (18/6/2021).
Dengan ketidakpastian seputar upaya Iran untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir tahun 2015, dan meningkatnya kemiskinan di dalam negeri setelah bertahun-tahun dibendung oleh sanksi Amerika Serikat, partisipasi pemilih kali ini, dilihat oleh para analis Iran, menjadi referendum atas kepemimpinan diterpa berbagai krisis.
Sosok garis keras Ebrahim Raisi, 60, sekutu dekat Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, difavoritkan untuk menggantikan petahana Hassan Rouhani, yang dilarang oleh konstitusi untuk menjalani masa jabatan empat tahun ketiga.
Kemenenangan ulama Syiah tersebut akan mengonfirmasi kematian politik para politisi pragmatis seperti Rouhani, yang didiskreditkan oleh keputusan Washington keluar dari kesepakatan nuklir dan makin lemahnya pemulihan hubungan dengan Barat.
Tetapi itu tidak akan mengganggu upaya Iran untuk menghidupkan kembali perjanjian itu dan membebaskan diri dari sanksi minyak dan keuangan yang keras, kata para pejabat Iran, dengan para ulama yang berkuasa di negara itu sadar bahwa nasib politik mereka bergantung pada penanganan kesulitan ekonomi yang memburuk.
"Tantangan utama Raisi adalah ekonomi. Ledakan protes tidak akan terhindarkan jika dia gagal menyembuhkan penderitaan ekonomi bangsa," kata seorang pejabat pemerintah.
Khamenei pada Rabu, (16/6/2021), menyerukan partisipasi jumlah pemilih yang besar, seraya mengatakan unjuk kekuatan seperti itu akan mengurangi tekanan asing terhadap Republik Islam.
Jajak pendapat resmi menunjukkan jumlah pemilih bisa serendah 41%, jauh lebih rendah daripada pemilihan sebelumnya.
Protes
Di bawah tekanan atas meningkatnya inflasi dan pengangguran, kepemimpinan ulama membutuhkan penghitungan suara yang tinggi untuk meningkatkan legitimasinya, yang rusak setelah serangkaian protes terhadap kemiskinan dan pembatasan politik di Iran sejak 2017.
Saingan utama Raisi adalah seorang teknokrat pragmatis, mantan gubernur bank sentral Abdolnaser Hemmati, yang mengatakan kemenangan bagi setiap garis keras akan menghasilkan lebih banyak sanksi yang dijatuhkan oleh kekuatan luar. Iran dapat mengadakan pembicaraan dengan musuh bebuyutan lama Amerika Serikat jika Washington menganut "koeksistensi positif" dengan Teheran, katanya dalam kampanye pemilihan.
Raisi mendapat dukungan penting dari Korps Pengawal Revolusi Iran, sebuah institusi kuat yang selama bertahun-tahun menentang inisiatif reformis, mengawal penindasan protes dan menggunakan kekuatan proksi untuk menegaskan pengaruh regional Iran.
Ulama tingkat menengah itu mengatakan dia mendukung pembicaraan Iran dengan enam negara kuat dunia untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir, di mana Iran setuju untuk mengekang program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi.
Tapi Raisi, yang berbagi kecurigaan Khamenei tentang detente dengan Barat, mengatakan hanya pemerintah yang kuat yang dapat menerapkan kebangkitan pakta tersebut.
Dituduh oleh para kritikus pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung selama beberapa dekade - tuduhan yang disangkal oleh para pembelanya - Raisi ditunjuk oleh Khamenei untuk pekerjaan tingkat tinggi sebagai kepala kehakiman pada 2019.
Beberapa bulan kemudian, Amerika Serikat memberinya sanksi atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk eksekusi tahanan politik pada 1980-an dan penindasan kerusuhan pada 2009, peristiwa di mana ia berperan, menurut kelompok hak asasi manusia.
Iran tidak pernah mengakui eksekusi massal tersebut, dan Raisi sendiri tidak pernah secara terbuka menyampaikan tuduhan tentang perannya.