Refleksi HUT TNI ke-77: Seragam ‘Tentara’ yang Kian Menjamur

| 05 Oct 2022 15:30
Refleksi HUT TNI ke-77: Seragam ‘Tentara’ yang Kian Menjamur
Ilustrasi (Antara)

ERA.id - Tentara Nasional Indonesia (TNI) mencapai usia 77 tahun pada 5 Oktober 2022 ini. Jika diibaratkan manusia, ia sudah mencapai usia arif dan bijaksana, ketika hidup tinggal menunggu mati sambil mewariskan hal-hal yang berarti.

Presiden Joko Widodo dalam pidatonya memperingati HUT ke-77 TNI di Istana Merdeka menyampaikan:

Pemerintah, masyarakat, bangsa dan negara menaruh harapan besar terhadap kontribusi TNI. Teruslah memegang teguh jati diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional.

Pada mulanya TNI memang berasal dari rakyat, mereka yang berjuang mempertahankan kemerdekaan pasca proklamasi, dan tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya bangsa ini.

Sementara itu, menurut Harold Crouch dalam bukunya, The Army and Politics in Indonesia menuliskan bahwa sejak awal berdirinya, TNI menganggap dirinya sebagai “kekuatan militer” dan “kekuatan sosial-politik Indonesia”. Ideologi ini yang kemudian dimanfaatkan Orde Baru (Orba) untuk mendominasi politik Indonesia.

Soeharto meninggalkan “Jalan Tengah” Nasution, dan memulai doktrin baru ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan), menempatkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di barisan paling depan, dan membuatnya juga Golkar berkuasa selama lebih dari tiga dekade.

Sejarah Pembentukan TNI

Suka tidak suka, kemerdekaan tidak bisa diraih hanya dengan diplomasi tanpa perjuangan bersenjata. Maka, pasca pembacaan proklamasi, Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk pada tanggal 20 Agustus 1945 yang kebanyakan anggotanya berasal dari Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho.

BKR memang bukan angkatan bersenjata, melainkan lembaga untuk memberikan perlindungan keamanan pribadi maupun harta rakyat. Namun, BKR menjadi tunas tumbuhnya TNI di masa depan.

Butuh satu setengah bulan pasca proklamasi sebelum pemerintah sadar bahwa pemerintahan tidak bisa berjalan tanpa adanya tentara nasional. Hal itu tak lain karena rakyat mendirikan angkatan bersenjatanya masing-masing dan mandiri, seperti Angkatan Muda Republik Indonesia, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, hingga tentara-tentara pelajar.

Guna menyatukan komando perjuangan rakyat, BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945. Tanggal itulah yang kemudian diperingati sebagai hari lahir TNI hingga hari ini.

Nama TNI sendiri baru ditetapkan pada tanggal 3 Juni 1947, lalu TNI bergabung dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 1962, sebelum akhirnya dipisahkan kembali pada 1 April 1999 pasca pecah reformasi.

Melihat ‘Tentara’ di Sekitar Kita

Sudah disinggung sebelumnya bahwa TNI lahir selain karena kebutuhan negara untuk mempertahankan kemerdekaan, juga untuk menyatukan angkatan bersenjata di Indonesia. Harapannya, ketika angkatan bersenjata nasional berdiri, maka rakyat tidak membangun angkatan bersenjatanya sendiri dan menimbulkan perpecahan.

77 tahun sudah berlalu sejak TNI berdiri, dengan segala dinamika dan konfliknya ia masih terus eksis dan ramai diminati. Banyak pemuda Indonesia mati-matian ingin masuk angkatan, baik dengan keringat dan ototnya sendiri, atau meminjam koneksi yang akan mempermudahnya memakai seragam tentara. Berbagai prasyarat masuk TNI diturunkan untuk mengakomodir lebih banyak orang yang mendaftar, mulai dari tinggi badan hingga usia.

Sebagian orang yang sudah kelewat umur untuk masuk angkatan, atau terlalu lama menganggur dan mengidamkan jadi tentara, membuka jalan baru dengan kecerdikannya masing-masing. Jika nasib tidak mengizinkan mereka menjadi angkatan bersenjata, maka setidaknya mereka bisa menjadi angkatan berseragam.

Negara tidak mengizinkan sembarang orang untuk mengangkat senjata api, tapi tak ada larangan khusus untuk berkreasi memakai seragam loreng-loreng selama tidak mirip atribut TNI. Maka, banyak ormas yang menjahit seragam ala tentara, serupa tapi tak sama, mulai dari yang sifatnya nasionalis sampai agamis.

Dalam konvensi Jenewa 1949 ada istilah Distinction Principle (Prinsip Perbedaan), yaitu dalam negara yang berperang maka penduduknya dibagi ke dalam dua golongan: combatan (kombatan) dan civilian (sipil). Pembedaan ini penting dalam kondisi perang untuk memutuskan siapa yang boleh dan tidak boleh diserang.

Dalam sejarah manusia, perang tak pernah benar-benar berakhir, ia hanya mengambil jeda. Potensi untuk perang akan selalu ada dan nyata selama manusia tidak bisa mengerti satu sama lain. Kita memang tidak pernah mengharapkan perang terjadi, tapi seandainya Indonesia kembali berperang, musuh bukan hanya akan mengincar angkatan bersenjata kita, tapi juga masyarakat sipil yang memakai seragam loreng-loreng itu.

Misalnya tak ada perang, masyarakat sipil tetap merasa dalam peperangan karena melihat ada tentara di mana-mana, hanya seragamnya yang berbeda. Masyarakat sipil harus menyetor uang untuk orang-orang berseragam ini. Mereka bilang untuk keamanan, walaupun kita sama-sama tahu bahwa kita sedang dipalak.

Setelah 77 tahun TNI berdiri, dengan banyaknya seragam loreng-loreng yang bertebaran di masyarakat, kita tidak bisa benar-benar memastikan apakah militer di Indonesia hanya TNI.

(Agus Ghulam)

Rekomendasi