Sengsara Warga Gusuran di Rusun Marunda

| 02 Mar 2023 18:51
Sengsara Warga Gusuran di Rusun Marunda
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

“Biar kata krisis air di sini mah, yang penting kita seneng-seneng.”

ERA.id - Marunda hanya berjarak sekitar 30 kilometer dari kantor ERA di Tanah Abang. Namun, di kota ini, sejak mobil-mobil merajai jalanan, jarak segitu selalu terasa dilipatgandakan. Ditambah lagi, Marunda punya pelabuhan yang jadi tempat wara-wiri truk-truk bermuatan besar. Perjalanan ke Marunda otomatis tiga kali lipat lebih melelahkan dibanding biasanya. Itulah yang kami rasakan saat berkunjung ke Rumah Susun (Rusun) Marunda Kamis lalu (23/2/2023).

Rusun Marunda dibangun pada masa Gubernur Fauzi Bowo dan berdiri sejak tahun 2008. Penghuninya rata-rata merupakan warga bekas gusuran proyek, mulai dari Waduk Pluit, Kalijodo, hingga Pasar Ikan. Totalnya ada 26 tower dan dibagi empat blok: A, B, C, D. Setiap towernya bisa diisi hingga 100 kepala keluarga (KK). Kami ke sana karena mendapat kabar para penghuninya sudah lama mengalami krisis air. 

Penampakan Rusun Marunda. (ERA/Agus Ghulam)

Kami memarkir kendaraan di sebelah Blok B dan segera disambut security. Bersamaan dengan itu, beberapa truk tangki air dari PAM Jaya berbaris memasuki rusun menuju Ground Water Tank (GWT) atau gelonteng, alias tempat penampungan air. Kami berjalan mengekor di belakang. 

Air bekas hujan menggenang di cerukan yang banyak kami temui sepanjang jalan. Tower-tower di sekitar kami tampak murung dan tua. Sebagian berlumut, sebagian lagi catnya meranggas dan menampakkan tembok putih kusam. Mendekati gelonteng, kami mendengar beberapa warga sedang berkaraoke dengan pengeras suara seadanya.

Delapan truk berlogo PAM Jaya sudah menepi di depan gelonteng. Kami lalu berjumpa dengan May Asmara, koordinator teknisi Rusun Marunda yang juga penghuni rusun. Ia ditemani dengan rekannya, Andi, yang sudah bekerja jadi teknisi di sana sejak tujuh tahun silam. Keduanya sedang duduk-duduk di dekat lubang beton yang mengarah langsung ke penampungan air sedalam tiga meter. 

Gemericik air terdengar dari bawah sana, menemani obrolan singkat kami bersama May dan Andi yang tabah menunggu truk-truk tangki selesai memasok cadangan air.

Tiga kali lebaran masih susah air

“Ini kalau pas puasaan, warga enggak habis-habis ngantri di gelonteng buat nimba air,” ucap Andi setelah bercerita bahwa tiap menjelang bulan puasa, nyaris semua pasokan air di Rusun Marunda bermasalah.

“Kalau kata Bang Toyyib tuh, udah tiga kali lebaran, tiga kali puasa, begini terus,” sambung May.

Mereka bercerita kalau krisis air di Blok B sebetulnya terbilang baru, mungkin sekitar sebulanan ke belakang. Namun, penghuni Blok C sudah mengalaminya selama empat tahun terakhir. 

“Semua [blok] juga sama [bermasalah], cuman kita bikin transfer-transferan,” ucap May menerangkan cara mereka menyiasati kekurangan air. “Kan kita ada tujuh gelonteng, jadi gelonteng yang tidak susut [airnya] kita transfer buat bantu gelonteng yang susut.”

May lalu menunjuk lubang di sampingnya sambil menjelaskan bahwa gelonteng itu juga dapat transferan air dari gelonteng yang ada di Tower B1. “Kalau enggak dibikin transfer begini, enggak bakal naik airnya,” ucap May.

May dan Andi, teknisi Rusun Marunda duduk di sekitar penampungan air Blok B. (ERA/Agus Ghulam)

Ia dan Andi yang bertugas sebagai teknisi Rusun Marunda sudah biasa menyimak keluhan para penghuni, tetapi keduanya tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bisa mengontrol dan memperbaiki pompa-pompa yang terkendala, tapi sejak awal masalahnya bukan di sana.

“Kalau info dari PAM Jaya, emang pasokannya dia lagi berkurang,” ucap May. PAM Jaya baru mengambil alih pelayanan air di Rusun Marunda awal Februari lalu. Sebelumnya, pasokan air di sana dipegang oleh Aetra sebagai kontraktor. Pengelola rusun sudah berkali-kali mengirim laporan dan bolak-balik komplain sejak zaman Aetra hingga PAM Jaya, tapi tak ada perbaikan yang berarti.

“Mereka kooperatif, dateng. Cuman ya begitu, enggak ada lanjutan,” keluh May. “Cuman kasih pasokan air pakai mobil tangki. Kayak gitu doang. Untuk penambahan suplai itu belum ada.”

Ketika masih ditangani Aetra, per hari mereka hanya mengirim dua sampai tiga truk tangki untuk tambahan air. Jumlah yang menurut May tak begitu berarti, seperti menabur garam ke laut. Begitu beralih ke PAM Jaya, truk tangki yang dikirimkan semakin bertambah. “Dipegang PAM Jaya udah lumayan, kemarin sih delapan mobil [tangki],” kata May. 

Namun, jumlah segitu pun masih dirasa kurang memadai. Sebabnya, gelonteng di Rusun Marunda terhitung besar, dengan ukuran tinggi 3 meter, lebar 10 meter, dan panjang 13 meter. Delapan tangki air hanya menambah ketinggian air di penampungan tak lebih dari 20 sentimeter. “Dan ini disedot buat enam gedung: B5, B7, B8, B9, B10, B11, ditambah lagi puskesmas,” ucap Andi.

Sialnya, Rusun Marunda terletak di ujung pipa air dari PAM Jaya. “Kita dapat suplai paling kecil karena kita ini yang terakhir. Jadi kalau ada bongkaran di mana-mana, itu imbasnya ke kita,” tambah May. 

Makanya, tiap bulan puasa banyak penghuni Rusun Marunda memilih langsung menimba air dari gelonteng karena ketinggian air di penampungan yang dangkal dan membuat alat pompa susah menyedot air ke gedung-gedung di atas sana. 

Kesaksian penghuni Blok C Rusun Marunda

Kami menyempatkan mampir ke Blok C yang katanya terimbas krisis air paling parah di Rusun Marunda. Saking parahnya dan sudah sengsara menahun, penghuni di sana merasa lelah mengeluh dan memilih untuk menikmatinya.

Di depan lapangan Blok C kami bertemu dengan tiga ibu-ibu penghuni rusun: Suherni, Sari, dan Nuril. Suherni dulunya tinggal di Rusun Cilincing, sedangkan Sari terkena gusuran waktu tinggal di Ancol dan direlokasi ke Marunda.

“Pindah ke sini ya karena enggak ada lagi tempat, disalurkannya ke sini, kalau enggak diambil ya sayang,” ucap Sari. “Mau beli rumah baru juga enggak mampu.”

Penghuni Blok C Rusun Marunda dari kanan ke kiri: Sari, Suherni, dan Nuril. (ERA/Agus Ghulam)

Sementara itu, Suherni memilih pindah ke Marunda karena rusun sebelumnya terbilang sempit. Di Marunda, Suherni bisa hidup lebih lega bersama keluarganya dan punya kamar sendiri. “Cuman di sini memang sebenarnya lokasinya enak, airnya yang terkendala,” ucap Suherni. “Sebelum covid itu kita udah tersendat-sendatlah airnya, pagi doang nyalanya, kalau malem enggak ada.”

Ia lalu bercerita bahwa di blok mereka sudah biasa air mati hingga sehari-dua hari. Pada hari-hari biasa setelah tahun 2017, air hanya menyala dari pukul 6 pagi dan mati sebelum tengah hari. “Dibatesin gitu. Kita enggak tahu juga ya, orang kita warga biasa, ya ngikutin alur sama yang punya wewenang aja. Tapi kita kan di sini tetep bayar,” ucapnya.

Penghuni di Rusun Marunda membayar bulanan sekitar Rp300 ribu, itu belum termasuk air. “Kalau penguni umum Rp338 ribu, sama air gopek (Rp500 ribu),” jelas Nuril. “Kalau subsidi yang dari relokasi tergantung pemakaian juga. Semenjak corona bayar air doang.”

Sambil tertawa, Nuril bercerita kalau ibu-ibu di sana harus pandai menyiasati keadaan dengan bikin penampungan air sendiri. Kalau tidak begitu, mereka bisa kehabisan air pas siang bolong dan harus melanjutkan sisa harinya tanpa mandi dan menahan sakit perut hingga pagi. “Kadang kita pengen BAB aja susah, sedangkan di sini MCK aja jauh,” ucapnya.

Bocah-bocah di Blok C Rusun Marunda sedang bermain di lapangan. (ERA/Agus Ghulam)

Ketiga ibu-ibu itu sepakat bahwa bantuan tangki air dari PAM Jaya belum cukup membantu. Setiap harinya mereka masih hidup dengan keterbatasan air. Sebagian ada yang harus menambal kekurangan itu dengan menimba air dari blok-blok lain, sisanya terpaksa membeli air isi ulang dalam galon seharga Rp5 ribu. “Sehari bisa tergantung pemakaian juga, habis dua galon paling,” ucap Sari. “Kalau yang keluarganya banyak ya lebih lagi.”

Sebelumnya, Direktur Utama PAM Jaya Arief Nasrudin sudah sempat mampir ke Rusun Marunda dan menjanjikan akan membangun reservoir atau bak penampungan air untuk menyuplai air bersih. Reservoir yang menelan anggaran Rp8 miliar itu ditargetkan rampung Juli mendatang. 

Namun, reservoir Marunda juga hanya solusi jangka menengah. Solusi jangka panjangnya yaitu Sistem Penyediaan Air Minum atau SPAM Regional Jatiluhur yang akan disambungkan sampai Rusun Marunda. Rencananya, pada Mei 2024, SPAM Jatiluhur akan masuk Jakarta.

Suherni, Sari, dan Nuril masih menunggu janji-janji itu terwujud sambil menertawai kehidupan mereka yang tak banyak berubah. Sayup-sayup kami dengar Nuril berucap lepas sambil ketawa-ketiwi. “Biar kata krisis air di sini mah, yang penting kita seneng-seneng.” 

Di seberang jalan, seorang pemuda mungkin berusia belasan tahun menuruni tangga sambil menggotong seember penuh air dengan kedua tangannya. Saat melewati kami ia meringis. “Kalau enggak bawa air sendiri enggak bisa cebok Mas.” Sebaris giginya ia pamerkan sebelum masuk ke wc umum yang keran-kerannya mati.

Rekomendasi