Gunung Sampah Makanan Melebihi Gedung Setinggi 285,5 Meter, Hidup Minimalis Mungkin Menjadi Solusi di Masa Depan

| 19 May 2022 14:28
Gunung Sampah Makanan Melebihi Gedung Setinggi 285,5 Meter, Hidup Minimalis Mungkin Menjadi Solusi di Masa Depan
Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat (ANTARA)

ERA.id - Sampah makanan adalah salah satu jenis sampah terbesar di Indonesia. Laporan tahun 2020, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut bahwa sampah makanan mencapai 40 persen dari total sampah yang dihasilkan masyarakat di 199 kabupaten/kota. 

Harian Kompas (19/5/2022) menghitung angka pemborosan sampah makanan yang terbuang di Indonesia mencapai Rp330 triliun per tahun. Setiap orang rata-rata Indonesia membuang makanan setara Rp2,1 juta per tahun. Perhitungan menggunakan data konsumsi makanan per kapita di kabupaten/kota dari Badan Pusat Statistik (BPS). 

Khusus sampah makanan di Jakarta per tahun, kalau ditimbun tingginya mencapai 500an meter—melebihi Gedung Gama Tower setinggi 285,5 meter (gedung tertinggi di Indonesia saat ini)—dengan alas seluas Stadion Utama Gelora Bung Karno (kurang lebih 67.000 m2).

Belum lagi dengan sampah nonorganik, bisa jadi Jakarta Pusat tenggelam karena sampah. Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah semua orang. Tidak saja pemangku kebijakan, industri, tetapi juga semua orang. Terutama bagaimana gaya hidup tiap orang mesti berubah, misal mengambil makanan yang tidak berlebihan.

Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar, dikutip dari Kompas, mengatakan bahwa perlu kampanye mengubah gaya hidup masyarakat untuk selalu menghabiskan makanan. KLHK telah mengeluarkan surat edaran kepada pemda untuk menggalakkan hidup minim sampah. Salah satu isinya adalah mengajak masyarakat makan tanpa sisa dan membuat kompos di rumah.

Kampung Baru Nelayan, Cilincing, Jakarta Utara (ANTARA)

Hidup Minimalis Mungkin Menjadi Solusi

Di tengah-tengah masyarakat yang mudah saja membuang sisa makanan, mungkin meresapi ucapan tokoh spiritual India, Mahatma Gandhi, ini. Katanya, “Hiduplah dengan sederhana agar orang lain dapat hidup.”

Ucapan Gandhi itu semacam damar di tengah kegelapan. Hidup sederhana bukan saja berdampak kepada diri sendiri, melainkan kepada orang lain. Makan sedikit tidak saja menyehatkan tubuh, tetapi juga memberi kesepakatan kepada orang lain untuk makan. 

Dalam bukunya, Seni Hidup Minimalis, Francine Jay mengajak membayangkan di dunia ini orang hidup bersama lebih dari tujuh miliar orang lainnya. Ruang dan sumber daya terbatas. Bagaimana manusia bisa menjamin ada cukup makanan, air, lahan, dan energi untuk saat ini dan mendayang?

“Yaitu, dengan tidak menggunakan sumber daya lebih daripada yang kita butuhkan,” jawab Jay.

Orang hidup di dunia tidaklah terpisah. Setiap tindakan orang di Indonesia, akan memiliki konsekuensi besar di belahan bumi lainnya. Misal, penggunaan AC dari dalam rumah. Hemat atau boros akan berdampak pada lingkungan bumi.

Kata Jay, kalau saja kita mengerti bagaimana gaya hidup kita berdampak pada banyak hal lain, mungkin kita semua akan bersedia hidup lebih hemat.

Tren hidup minimalis memang sedang gencar di masyarakat perkotaan dan kalangan menengah. Tidak saja perihal makanan, tetapi juga barang-barang di rumah atau di kamar. Barang apa saja yang masih digunakan, kalau sudah tidak dipakai dianjur untuk dijual. 

Ketika membeli pun begitu. Harus dipikir berkali-kali apabila membeli suatu barang, sebab bisa jadi barang itu tidak berguna dan menjadi sampah baru di kamar. 

Berpikir minimalis dan efesiensi tidak mudah, sebab godaan membeli barang atau makanan sungguh tinggi. Namun, mencontohi semangat Fransisco Rosarians dalam gaya hidup minamalis mungkin menjadi salah satu solusi. Dalam Majalah Tempo (14/5/2022), Fransisco mengatakan bahwa ketertarikan akan gaya hidup minimalis berawal dari kesadarannya tentang dampak sampah plastik dan tekstil bagi kerusakan alam.

Membaca saksama nasihat Francine Jay mungkin saja menjadi penyemangat yang sedang atau akan menjalani hidup minamalis, dan Jakarta tidak akan tenggelam karena sampah. 

“Saat mengurangi konsumsi untuk menyelamatkan dunia, rumah kita pun menjadi tetap bersih, menenangkan, dan bebas dari kesemrawutan.”

Mahatma Gandhi (Wikimedia Commons)
Rekomendasi