Cak Imin, Yenny Wahid, dan Luka Masa Silam PKB yang Kembali Menganga

| 24 Jun 2022 20:15
Cak Imin, Yenny Wahid, dan Luka Masa Silam PKB yang Kembali Menganga
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar di alun-alun Kota Tangerang, Banten, Minggu, 12 Juni 2022 (ANTARA)

ERA.id - Luka di internal PKB kembali menganga setelah Cak Imin dan anak Gus Dur, Yenny Wahid, berbalas komentar. Dimulai dari pernyataan Yenny usai hadiri acara di Kampus IPDN, Jatinangor, di hadapan khalayak media, ia berkata, “Saya PKB Gus Dur, bukan PKB Cak Imin.” 

Pernyataan itu mendapat respons Cak Imin di akun Twitter-nya, “Yenny itu bukan PKB, bikin partai sendiri aja gagal lolos, beberapa kali pemilu nyerang PKB enggak ngaruh, PKB malah naik terus suaranya, jadi ngapain ikut-ikut ngatur PKB, hidupin aja partaimu yang gagal itu. PKB sudah aman nyaman kok.”

Kemudian, Yenny pun kembali balas di akun Twitter-nya, “Hahaha inggih, Cak. Tapi, ndak usah baper to, Cak. Dan memang benar, saya bukan PKB Cak Imin. Saya kan PKB Gus Dur. Cak Imin juga belum tentu lho bisa bikin partai sendiri. Kan, bisanya mengambil partai punya orang lain.”

Stiker Partai Kebangkitan Bangsa (Wikimedia Commons)

Menengok sebentar luka internal PKB itu. Lily Wahid dalam suatu obrolan di kanal YouTube Dialetik TV (7/6/2019), menyebutkan bahwa Gus Dur tidak pernah memaafkan Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Pernah Cak Imin pengin ketemu, tetapi Gus Dur tidak mau.

Polemik paman dan keponakan tersebut diawali dari perebutan Cak Imin terhadap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Muktamar PKB di Semarang pada 2005, Cak Imin terpilih sebagai Ketua Umum dan Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syura. 

Akan tetapi, gelombang konstelasi politik menuju Pemilu 2009 membuat internal PKB retak. Cak Imin dipecat oleh Ketua Dewan Syura karena diduga “semakin dekat dengan penguasa”, yakni pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. 

Karena Cak Imin punya otak politisi, segala cara merebut kembali tahtanya pun dilakukan. Ia bersama pendukungnya melakukan pengajuan gugatan terhadap Gus Dur ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sasarannya jelas, yaitu Muktamar Luar Biasa (MLB) harus diselenggarakan. Itu berarti posisi mantan presiden Abdurrahman Wahid sedang digoyang. 

MLB pun diselenggarakan dengan masing-masing kubu. Pendukung Gus Dur bikin MLB di Parung, Bogor, Jawa Barat pada 30 April—1 Mei 2008, sedangkan kubu Cak Imin ber-MLB di Hotel Mercure Ancor, Jakarta. 

MLB versi Gus Dur diselimuti dengan kesederhanaan, memakai tenda, sempat tertunda beberapa kali karena dilanda hujan deras. Namun, peserta MLB versi Cak Imin dilanda dingin bukan karena angin hujan, melainkan hembusan AC.

Pasca MLB masing-masing kubu, pengadilan negeri memutuskan kubu Cak Imin-lah yang resmi diakui oleh negara. Mengapa kubu Cak Imin yang dibukakan pintu? Sebab, sekali lagi, karena Cak Imin dekat dengan penguasa saat itu. 

Kemudian, apa yang dilakukan Gus Dur selanjutnya? Ia memilih diam hingga akhir hayatnya. 

Cak Imin berada di aspal politik praktis

Budaya masyarakat Nahdlatul Ulama begitu kental dalam menghargai para sesepuh, wabilkhusus seorang kiai, pemilik pesantren, apalagi dalam ranah keluarga. Penghormataan kepada yang lebih tua adalah hal yang tidak bisa diganggu gugat.

Namun, dalam ranah lain, misal politik dan intelektual, tokoh muda punya cara untuk menggugat pakem yang telah lama berlangsung diyakini oleh masyarakat NU. 

Misal, dalam pergulatan pemikiran Islam di Indonesia. Di awal tahun 2000-an, sosok Jamaah Islam Liberal (JIL) yang diketuai oleh Ulil Abshar Abdalla, yang juga bagian dari Tokoh Muda NU, mengusik beberapa penafsiran Islam Indonesia. Yang mereka tekankan bahwa Islam mesti kontekstual—di mana dan kapan. 

Cak Imin dalam Buku Kenangan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 1999-2004 (Wikimedia Commons)

Perdebatan pemikiran Islam antara tokoh muda dan tokoh tua di kalangan NU bukanlah sebuah keanehan, bahkan antara mantu dan mertua pernah terjadi. Itu ketika Ulil Abshar Abdalla menulis esai “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” pada 4 November 2002 di Kompas. Satu minggu kemudian, A. Mustofa Bisri (mertua Ulil) membalas esai tersebut dengan “Menyegarkan Kembali Sikap Islam” edisi (4/12/2002) di koran yang sama.

Sebegitu keterbukaannya pemikiran di kalangan NU. Namun, lain hal dengan polemik Tokoh Muda seperti Cak Imin yang menggugat Gus Dur. Apa yang dilakukan Cak Imin akan menghantui sejarah PKB versi Cak Imin sekarang maupun akan datang. 

Gus Dur berjalan dalam politik etis, sedangkan Cak Imin berada di aspal politik praktis. Walau Cak Imin dan PKB sekarang punya poisisi tawar dalam politik nasional, publik tetap masih mengingat bahwa ada seorang guru (juga paman, bahkan orang tua) yang disakiti dengan cara yang tidak biasa. 

Sampai hayatnya tiada, Gus Dur konsisten bahwa ia tidak memaafkan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Mungkin saja wajah Cak Imin kerap cekikikan di layar teve, tetapi di belakang historinya menyimpan borok—walau ia tutupi menggunakan kain setebal mungkin, baunya tetap tercium. 

Rekomendasi