Cepat atau lambat, pakaian yang menumpuk di lemari itu akan berpindah ke tempat sampah, kemudian menjadi limbah yang mencemari air dan tanah. Dan bumi kita yang sedang bergelut dengan sampah plastik pun semakin tercemar.
Kalaupun pakaian yang tak lagi kamu pakai tersebut tak langsung dibuang, bisa jadi mereka akan bergabung dengan pakaian-pakaian bekas yang dijual di pasar-pasar pakaian bekas. Di sana berbal-bal pakaian bekas, di antaranya berasal dari luar negeri, menggunung menunggu pembeli. Pakaian yang tidak laku nasibnya bisa dipastikan akan menjadi sampah atau limbah.
Lalu muncul pertanyaan, apakah tahun kita harus berhenti membeli baju? Pertanyaan ini muncul dalam diskusi “Afternoon Tea: Fashion is Changing, (Big) Problems are Coming” di Selasar Sunaryo Art Space, Bndung, Jumat kemarin. Diskusi ini menghadirkan pembicara Maradita Susantio, perupa sekaligus dosen di salah satu perguruan tinggi di Bandung, dipandu Mardohat B.B. Simanjuntak.
Maradita yang akrab disapa Dita mengawali paparannya dengan menyampaikan peristiwa penting yang terjadi 2017, yaitu Copenhagen Fashion Summit. Konferensi ini dihadiri 64 perusahaan fashion yang mewakili 143 brand fashion dari berbagai negara.
Konferensi Copenhagen mencetuskan Global Fashion Agenda yang memanggil seluruh pelaku industri fashion untuk ikut berkomitmen dalam aksi menciptakan kondisi Circular Fashion System (CFS).
Global Fashion Agenda mengajak perubahan atau transisi kerja linier menjadi silkular. Perlu diketahui, selama ini industri fashion menjalankan sistem kerja linier di mana produsen pakaian memproduksi pakaian, lalu setelah jadi potongan pakaian itu berpindah ke tangan konsumen, berakhir di lemarinya dan menumpuk, lalu dibuang, biasanya karena sudah bosan, bentuk pakaian berubah/luntur, atau sudah keluar model terbaru.
Nah, menurut Dita, pada sistem kerja silkular berfokus pada empat poin, yaitu menerapkan strategi desain yang dapat didaur ulang (cyclability) dalam sistem industri fashion, meningkatkan volume pengumpulan pakaian dan alas kaki bekas, meningkatkan pemanfaatan pakaian dan alas kaki bekas sehingga dapat diolah dan dijual kembali, dan terakhir meningkatkan penjualan dengan material bekas yang sudah diolah menjadi serat tekstil daur ulang (material terbarukan).
“Keempat poin tersebut penting, karena tidak terhindarkan lagi permasalahan utama dan terbesar dari industri adalah menyoal limbah yang bervolume sangat besar dan mencemari lingkungan. Sehingga, fokus agendanya adalah untuk mengolah pakaian dari material bekas,” papar Dita.
Dita menerangkan, limbah fashion berupa material solid, bubuk, dan lembaran seperti pakaian yang masih dalam kondisi relatif baik, sisa potongan kain hasil pemuatan pola pakaian, serta limbah berupa cairan seperti limbah cair kimia, residu dalam proses pembuatan kain, dan lain-lain.
“Hal seperti ini menyumbang permasalahan sangat serius dalam isu lingkungan terutama bagi air bumi,” kata seniman yang kerap menggunakan serat sebagai medium artistiknya.
Namun menurut Dita, jumlah perusahaan fashion yang berkomitmen dalam Konferensi Copenhagen masih sangat sedikit, yakni 7,5 persen dari jumlah total industri fashion global. Laporan hasil dari Global Fashion Agenda (2019) tentang empat poin seperti daur ulang pakaian dan lain-lainnya baru mencapai 45 dari 213 perusahaan (21 persen).
Disebutkan bahwa performa sustainable fashion saat ini melambat, dan penerapan solusi berkelanjutan tidak diterapkan dengan cukup cepat. Dita lantas mengutip ketua dari Sustainable Officer Global Fashion Agenda, Morten Lehmann bahwa diperlukan kolaborasi sebagai jalan tercepat melakukan perubahan sistemik.
Menurut Dita, kolaborasi tersebut bukan hanya berupa kolaborasi antara desainer dalam menciptkan produknya, tetapi kolaborasi aktif antar pra pelaku industri sampai konsumen. Konsumen harus terlibat dalam circular fashion system. Misalnya, di antara konsumen melakukan praktik sewa, berbagi, bertukar dan meminjam pakaian.
Circular fashion system menginginkan pakaian yang sudah dibeli tidak cepat berhenti di tempat pembuangan atau menumpuk di lemari yang ujung-ujungnya dibuang. Sistem ini ini diyakini akan mengurangi pencemaran lingkungan oleh limbah pakaian sekaligus melestarikan lingkungan sebagai sumber material mentah.
Sebab, bahan mentah pakaian bersumber dari alam. Semakin banyak produksi pakaian akan semakin banyak eksploitasi pada alam. Jadi, masih mau numpuk pakaian di 2020?