Kisah sensor yang menimpa film karya sutradara film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI tersebut mencerminkan betapa ketatnya sensor di masa Orde Baru berkuasa, seperti dituturkan Ketua Lakpesdam PWNU Jabar yang juga Wakil Rektor IAILM Suryalaya Asep Salahudin, dalam diskusi buku “Sensor Kontemporer: Pandangan Pada Perkembangan Sensor Film Indonesia” karya M Sudama Dipawikarta alias Dipa Galuh Purba, di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut, Bandung, akhir pekan kemarin.
Menurut Asep, saat ini Lembaga Sensor Film (LSF) bersifat independen. Konon, hingga kini tidak ada yang bisa mengintervensi badan sensor ini. Namun di zaman Orde Baru, lembaga ini di bawah Menteri Penerangan yang banyak melakukan sensor pada film maupun karya seni lainnya seperti buku, termasuk pers, dan lain-lain.
Saking ketatnya pemerintah Orde Baru memberlakukan sensor, Asep bercerita tentang humor mendiang Presiden Abdurrachman Wahid (Gus Dur), soal kisah kyai yang mencari televisi ke sebuah pusat perdagangan elektronik. Setelah mondar-mandir tapi tak satu pun televisi yang ia beli, kyai tersebut akhirnya ditanya sama seorang pemilik toko. “’Pak kyai cari merek televisi apa?’, Gus Dur menjawab, ’Saya cari TV yang tidak ada Harmokonya’, ” cerita Asep.
Dari humor Gus Dur itu dapat dilihat bahwa intervensi negara terhadap rakyatnya tidak hanya ke soal kenaikan harga cabai, melainkan juga mencengkeram film atau televisi. Untuk diketahui, Harmoko merupakan Menteri Penerangan era Orde Baru.
Film lainnya yang kena sensor rezim Orde Baru ialah Max Havelaar yang menggambarkan kekejaman Adipati Lebak terhadap rakyatnya. Film yang dinilai menjelek-jelekkan penguasa pribumi itu kini sudah banyak beredar, termasuk di Youtube.
Namun bicara sensor sebenarnya tidak didominasi rezim otiriter Orde Baru. Sejak zaman penjajahan Belanda pun telah berlaku sensor film. Asep menuturkan, LSF sendiri sudah berusia 100 tahun, lebih tua usianya dari republik.
Di masa penjajahan Belanda, sensor film yang dilakukan badan sensor film Belanda berlaku di tiga wilayah, yakni Sulawesi, Medan, dan Semarang. Sedangkan Bandung tidak termasuk kawasan yang kena sensor. Bahkan pada 1926, Bupati Bandung, Wiranatakusumah menginisiasi pembuatan film lokal, yakni bercerita tentang kehidupan Raja dan Ratu Belanda. Film ini menjadi alat propaganda Belanda untuk mengukuhkan kekuasaannya di nusantara. Wiranatakusumah waktu itu juga membuat film Lutung Kasarung.
Kini, kata Asep, sensor tidak sepenuhnya hilang di negeri ini. Lembaga sensornya pun masih ada, meski tidak sepolitis ketika zaman Orde Baru. Pascareformasi, sensor justru bisa datang dari kelompok masyarakat atau kelompok agama, seperti yang dialami film Buruan Cium Gue (2004).
“Film Buruan Cium Gue juga diprotes karena katanya cium mendekati zinah. Meski kalau judulnya diganti jadi Buruan Zinah Gue, sebenarnya maknanya jauh sekali,” kata Asep.
Menurutnya, persoalan film bukan soal sensor-menyensor, melainkan terkait kesadaran. Kesadaran ini hanya bisa dibangun lewat budaya literasi di masyarakat. Namun jalan literasi ini perlu menempuh waktu yang panjang dan kesabaran. Jika masyarakat sudah melek literasi, LSF dan lembaga sensor sejenisnya tak lagi diperlukan.
Hawe Setiawan, narasumber lainnya dalam bedah bukut tersebut, mengaku tidak suka dengan adanya sensor yang dilakukan negara melalui badan sensor atau LSF. Sebagai “alumnus” Orde Baru, ia memaknai sensor sebagai sesuatu yang membatasi ekspresi dan kreativitas.
Dalam buku Sensor Kontemporer, tutur Hawe, Dipa mengupas selfcensorship atau sensor mandiri. Menurut Hawe, selfcensorship bisa dilakukan oleh sineas sendiri dalam menghasilkan karya filmnya. Atau bisa juga masyarakat meningkatkan literasi sehingga bisa memilah mana tontonan yang perlu dan yang tidak.
“Kalau sudah ada sensor mandiri, lalu buat apa lagi ada LSF? Jadi kapan bubarnya?” katanya.
Dengan adanya sensor mandiri yang bisa dilakukan secara kreatif oleh insan film, menurutnya tidak perlu lagi lembaga negara yang mengurusi sensor.
Pendapat Hawe dan Asep justru diamini anggota LSF yang juga menjadi narasumber diskusi, Ni Luh Putu Elly P Erawati. Menurutnya, zaman milenial ini memang LSF sudah tidak cocok lagi. Namun LSF sebaiknya tidak bubar begitu saja, melainkan perlu diganti lembaga dengan nama baru yang bertugas membuat klasifikasi terhadap film.
Saat ini, LSF mengeluarkan klasifikasi film berdasarkan umur, yakni 13 tahun ke atas, 17 tahun ke atas, 21 tahun ke atas, dan semua umur. Menurutnya, LSF dengan nama baru nantinya harus fokus pada klasifikasi tersebut.
“Di zaman milenial ini, LSF mungkin tidak cocok melakukan sensor, ganti nama jadi lembaga klasifikasi usia itu lebih tepat. Saat ini tempat pertujukan makin banyak seperti Netflix, bahkan di media sosial pun bisa nonton. Sementara aturan LSF saat ini mengacu pada Undang-undang Perfilman 2009 yang sudah tidak bisa menjawab perkembangan zaman. Saya rasa dibubarkan dan ganti nama itu sepakat,” kata Ni Luh Putu Elly P Erawati.
Mengenai sensor mandiri, ia berharap ada peran masyarakat dalam memilah film yang akan mereka tonton. Konten film sangat beragam, sehingga perlu dilakukan pemilahan. Masyarakat tidak bisa melihat semua jenis film bersama anak-anak. Jadi masyarakat harus melek literasi, sehingga paham film mana yang penuh dengan adegan yang tidak layak ditonton anak, dan seterusnya.