ERA.id - Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki mengatakan Indonesia harus segera membuat regulasi yang mengatur perdagangan digital sebelum banyak pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang mengalami kebangkrutan.
Teten menyampaikan, perkembangan teknologi dengan cepat mengubah pola belanja konsumen dari e-commerce ke social commerce. Hal ini sangat berdampak pada penjualan UMKM lokal karena harga yang ditawarkan sangat murah.
"Banyak pengalaman di India, Inggris dan negara lain, kalau kita terlambat membuat regulasinya, pasar digital kita akan dikuasai oleh produk dari luar terutama dari China," ujar Teten usai menghadiri pembukaan Karya Kreatif Indonesia di Jakarta dikutip dari Antara, Kamis (27/7/2023).
Salah satu contoh social commerce yang menjual harga dengan sangat murah adalah TikTok Shop. Menurut Teten, penjualan produk pada platform tersebut sudah mengarah pada predatory pricing atau praktik menjual barang di bawah harga modal.
"Mereka bisa memproduksi barang yang begitu murah sehingga yang terjadi di sini adalah predatory pricing bukan dumping lagi, sudah tidak masuk akal harganya," kata Teten.
Teten mengatakan, untuk melindungi UMKM pemerintah harus mengatur tiga hal yakni pelarangan cross border commerce dari luar Indonesia. Ritel online yang berasal dari luar Indonesia tidak diperbolehkan untuk menjual produknya secara langsung kepada konsumen.
Produk dari luar harus masuk Indonesia sesuai dengan mekanisme impor yang sudah berlaku. Setelah itu, produk baru bisa dipasarkan melalui e-commerce maupun social commerce.
"Karena kalau langsung gitu, enggak bisa bersaing dengan UMKM kita. Karena UMKM kita harus ngurus izin edar, SNI, harus ngurus sertifikat halal dan sebagainya, sedangkan mereka enggak perlu ngurus," ujar Teten.
Lebih lanjut, platform digital luar negeri tidak diperbolehkan untuk menjual produk yang berasal dari afiliasi bisnisnya. Sebab, dengan teknologi algoritma yang dimiliki oleh sosial media, maka akan lebih mudah untuk menarik konsumen membeli produk yang terafiliasi dengan bisnisnya.
Ketiga, penetapan harga batas minimum 100 dolar AS untuk barang impor. Selain itu, tidak boleh lagi mengimpor barang-barang yang bisa diproduksi dalam negeri.
"Kalau barang-barang yang diimpor ke sini jualannya peniti gitu kan ngapain, di dalam negeri juga bisa biar menumbuhkan produksi di dalam negeri," kata Teten.
Menurut Teten, solusi tersebut sudah tercantum dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020. Saat ini, Permendag tersebut sudah dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM dan diharapkan dapat segera disahkan.