ERA.id - Sejumlah pakar hukum dari Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa (LKBH-PPS) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) menyoroti sejumlah kejanggalan putusan Mahkamah Agung (MA) dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan Mardani Maming.
Dalam sebuah pendapat hukum yang mereka susun, para ahli hukum ini mengkritik tajam proses peradilan yang telah dilalui oleh mantan Bupati Tanah Bumbu tersebut.
Pendapat hukum yang ditandatangani oleh Aristo Pangaribuan, S.H., LL.M., Ph.D., Abdul Toni, S.H., M.H., Ir. Ludwig Kriekhoff, S.H., M.Kn., Puspa Pasaribu, S.H., M.Kn., dan Maria Dianita Prosperiani, S.H., menggarisbawahi beberapa poin penting.
Di antaranya adalah ketidakjelasan pertimbangan hakim terkait unsur “menerima hadiah”, penggunaan bukti yang tidak sah, serta penerapan standar pembuktian yang dinilai terlalu rendah.
Para pakar mencatat, bahwa hakim mengabaikan fakta-fakta hukum yang menguntungkan terdakwa dan lebih mempertimbangkan hal-hal yang menguntungkan Penuntut Umum, yang berpotensi menghasilkan putusan yang keliru.
“Hakim seakan-akan terlalu mengandalkan kesimpulan jaksa penuntut umum tanpa melakukan analisis yang mendalam terhadap seluruh bukti yang ada,” ujar Aristo Pangaribuan selaku pimpinan LKBH-PPS FH UI.
Para ahli hukum ini juga menyoroti adanya fakta-fakta yang menguntungkan Mardani Maming yang justru diabaikan oleh majelis hakim. Hal ini, menurut mereka, mengindikasikan adanya ketidakadilan dalam proses peradilan.
Tujuan peninjauan kembali
Dengan adanya temuan-temuan tersebut, para ahli hukum ini mendukung upaya peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Mardani. Tujuan utama dari PK ini adalah untuk mendapatkan keadilan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan hukum yang terjadi dalam putusan sebelumnya.
“Kami berharap MA dapat mengabulkan permohonan PK ini dan melakukan pemeriksaan ulang terhadap perkara ini secara menyeluruh,” kata Abdul Toni.
Implikasi lebih luas
Kasus Mardani bukan hanya menyangkut nasib seorang individu, tetapi juga menyangkut kualitas peradilan di Indonesia. Kritik yang disampaikan oleh para ahli hukum UI ini menjadi sorotan penting bagi penegakan hukum di tanah air.
Publik berharap agar MA dapat memberikan respons yang bijaksana terhadap permohonan PK ini dan memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan.
Sebelumnya, aktivis senior hak asasi manusia, Todung Mulya Lubis, menyorot miscarriage of justice (peradilan sesat) dalam penanganan perkara korupsi Mardani Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan periode 2010-2015 dan 2016-2018.
Menurutnya, penjatuhan pidana terhadap Maming merupakan hal yang dipaksakan karena tidak didasarkan pada alat bukti yang memadai.