ERA.id - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dengan demikian, calon terpilih anggota DPR, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota tidak bisa mengundurkan diri untuk mengikuti pemilihan umum lain.
Pemohon merupakan tiga mahasiswa Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Sayyid Ali Rahmatullah, Tulungagung, Jawa Timur, yakni Adam Imam Hamdana, Wianda Julita Maharani, dan Adinia Ulva Maharani.
MK menyatakan Pasal 426 ayat (1) huruf b UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum".
Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan bahwa implikasi dari putusan MK tersebut adalah calon terpilih tidak boleh sembarangan mengundurkan diri dengan alasan maju di pemilihan kepala daerah (pilkada).
"Menggunakan logika Putusan ini, maka partai juga tidak boleh sembarangan memecat caleg terpilih dari keanggotaan partai dan menggantinya dengan caleg lainnya (favorit elite) karena alasan yang tidak beralasan secara hukum atau sewenang-wenang," tulis Titi di akun X-nya @titianggraini, Jumat (21/3/2025).
Menurut MK, relasi antara parpol dan caleg bersifat simbiosis mutualistis yang tidak seharusnya mengorbankan suara pemilih semata-mata untuk kepentingan caleg terpilih maupun kepentingan parpol.
"Untuk itulah, sejak awal penjaringan caleg yang diikuti dengan penyusunan daftar calon sementara, kemudian penyusunan daftar calon tetap, partai politik seyogianya memiliki strategi politik yang menghitung dan mempertimbangkan penghargaan terhadap suara rakyat yang menjadi pemilih," kata Hakim Konstitusi Arsul Sani.
MK menyatakan bahwa parpol perlu memilah dan memilih kader, figur, atau tokoh yang dianggap cocok menduduki jabatan legislatif maupun jabatan eksekutif di tingkat daerah. Dengan begitu, mereka yang dipersiapkan sebagai caleg seharusnya berbeda dengan yang dipersiapkan sebagai calon kepala/wakil kepala daerah.
"Kader atau figur yang sebetulnya berkeinginan menjadi calon kepala daerah, tetapi tetap diajukan sebagai caleg hanya akan menggunakan partai politik atau gabungan partai politik sebagai kendaraan politik untuk mewujudkan cita-cita menjadi calon kepala daerah tanpa mempedulikan suara pemilih," ucap Arsul.