ERA.id - Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Akbar Himawan Buchari memuji Menteri ESDM Bahlil Lahadalia setinggi langit dalam turunnya tarif Amerika Serikat untuk Indonesia menjadi 19 persen.
"Upaya Pemerintah sudah maksimal sehingga menurunkan tarif dari semula 32 persen menjadi 19 persen," kata Akbar, Rabu kemarin.
Menurut Akbar hampir semua menteri bekerja keras dalam lobi tarif ini, seperti Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.
Bahlil pun dianggap berani karena bisa mengancam Amerika Serikat bahwa dia akan membatalkan rencana impor minyak dan gas dari Negeri Paman Sam jika tarif tidak turun.
"Saya baru berbincang dengan Bang Bahlil. Beliau bercerita, ternyata ancaman itu didengar pihak Amerika. Sehingga mereka melunak, dan menurunkan tarifnya jadi 19 persen," tutur Akbar.
Kata Akbar, defisit perdagangan Amerika dengan Indonesia hanya 19 miliar dolar AS. Sementara, Pemerintah akan mengimpor energi dan produk agrikultur dari Amerika Serikat (AS) senilai 34 miliar dollar AS. Langkah itu menjadi bagian dari negosiasi tarif resiprokal dengan AS.
"Seharusnya, itu sudah membalikkan neraca perdagangan Amerika, yang sebelumnya defisit akan menjadi surplus," ungkapnya.
Dia berharap, tarif masih bisa diturunkan. Sebab, tarif yang tinggi akan menekan industri padat karya. Terlebih pada tekstil, alas kaki, dan perikanan yang cenderung bergantung pada pasar Amerika.
Ia menyebut ekspor pakaian ke Amerika dengan persentase tembus 60 persen, furniture 59 persen, produk olahan ikan 56 persen, dan alas kaki 33 persen.
"Bila tarif tinggi tetap diberlakukan, risiko penurunan permintaan akan mengguncang kinerja ekspor dan kelangsungan usaha," ucap Akbar.
Lebih lanjut dia mengatakan, ketidakpastian global masih terjadi, begitu juga dengan indeks manufaktur (PMI). Data terbaru menunjukkan PMI Manufaktur Indonesia turun ke 46,9 pada Juni 2025 dari 47,4 pada Mei 2025.
Hal itu menandakan kontraksi tiga bulan beruntun, melanjutkan kontraksi bulan April 2025 yang merupakan kontraksi paling tajam sejak Agustus 2021.
Selain itu, beban biaya produksi meningkat, mulai dari harga energi, bahan baku impor yang masih rentan fluktuasi nilai tukar, hingga kenaikan upah minimum yang belum diimbangi dengan perbaikan productivity gains.
"Hal ini membuat pelaku usaha wait and see, dan lebih kepada efisiensi," kata Akbar.