Faisal Basri: Jika Indonesia Resesi, Pemerintah Cuma Punya Solusi yakni Berutang

| 21 Jul 2020 09:40
Faisal Basri: Jika Indonesia Resesi, Pemerintah Cuma Punya Solusi yakni Berutang
Faisal Basri (Katadata)

ERA.id - Indonesia harus bersiap menghadapi resesi ekonomi jika pertumbuhan ekonomi nasional di triwulan III 2020, negatif atau terkontraksi akibat pandemi COVID-19. Solusi untuk bertahan adalah pemerintah mesti berutang.

Ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri yang menyimpulkannya. Faisal mengatakan, jika selama ini masyarakat bisa menabung, maka negara tidak perlu banyak membantu ketika resesi terjadi.

Namun sayangnya, masih sangat banyak masyarakat Indonesia yang hidupnya kekurangan. Sehingga pemerintah perlu banyak berkontribusi memberikan jaminan sosial untuk menggerakan roda ekonomi.

"Mau tidak mau, negara harus di depan," ujar Faisal yang dikutip dari video di Narasi Newsroom, Senin (20/7/2020).

Dia lantas mencontohkan, stimulus ekonomi yang bisa diberikan pemerintah bagi masyarakat salah satunya adalah memberikan bantuan kepada UMKM dengan cara meringankan kredit.

Opsinya, kredit yang dimiliki oleh pelaku UMKM tidak perlu dibayarkan selama enam bulan, atau seluruh bunga kredit ditanggung negara.

Untuk itu, kata Faisal, negara harus punya uang yang dihasilkan dari pajak. Namun, untuk saat ini pemeritah tak bisa banyak berharap, sebab penerimaan negara dari perpajakan terus menurun dari tahun ke tahun.

Karena itu, jalan satu-satunya untuk mendapatkan uang adalah dengan berutang. "Dari mana negara dapat uang, ya dari pajak. Nah, di kita pajaknya turun terus. Oleh karena itu, solusinya cuma satu, negara harus utang," ujar Faisal Basri.

Faisal sendiri memprediksi pertumbuhan ekonomi dalam negeri akan minus di triwulan II akibat penyebaran Covid-19 yang masih tinggi.

Ia melanjutkan, jika dalam dua triwulan berturut-turut, yaitu triwulan II dan triwulan III, pertumbuhan ekonomi terkontraksi, maka sudah dapat dipastikan Indonesia masuk dalam masa resesi.

Akibat dari resesi yang paling terasa, kata Faisal, adalah banyaknya perusahaan yang mengalami kebangkrutan dan berefek domino pada berkurangnya tenaga kerja akibat pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Akibat pengangguran melonjak, maka daya beli menurun. Ini menyebabkan ekonomi lesu, karena barang tidak terjual, tidak terserap," ucapnya.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) Kementerian Keuangan memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan II akan tumbuh negatif. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu mengestimasikan pertumbuhan ekonomi akan anjlok minus 4,3 persen.

Jika prediksi dari BKF benar, maka pada triwulan II 2020, ekonomi Indonesia akan anjlok dalam. Sebab pada triwulan II 2019, ekonomi Indonesia masih berada di angka 5,05 persen.

Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan II 2020, berkisar minus 5,1 persen hingga minus 3,5 persen, dengan titik tengah minus 4,3 persen.

Sri Mulyani mengatakan kontraksi pada triwulan II terjadi karena penurunan yang cukup tajam di berbagai sektor, mulai dari manufaktur, perdagangan, pertambangan dan juga transportasi. 

Sri Mulyani berujar, tekanan perekonomian pada April dan Mei sangat dalam terjadi akibat COVID-19. Sementara, dampak dari kenormal baru di bulan Juli juga masih sangat sedikit.

Rekomendasi