Empat Hakim MK Nyatakan Dissenting Opinion Dalam Sidang Putusan UU Cipta Kerja, Ini Alasannya

| 26 Nov 2021 13:50
Empat Hakim MK Nyatakan Dissenting Opinion Dalam Sidang Putusan UU Cipta Kerja, Ini Alasannya
Ilustrasi palu sidang (Wikimedia Commons)

ERA.id -  Empat hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap sidang putusan uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada Kamis (25/11).

Keempat hakim itu adalah Ketua MK Anwar Usman, Arief Hidayat, Manahan M.P Sitompul dan Daniel Yusmic P. Foekh. Berdasarkan Putusan Nomor 91/PUU-XVII/2020 yang dikutip pada Jumat (26/11/2021), Anwar Usman dan Arief Hidayat memiliki dissenting opinion yang sama.

Anwar dan Arief berpendapat, praktik omnibus law sudah menjadi hukum kebiasaan di sistem common law. Metode ini dipandang baik untuk diterapkan dalam sistem hukum Indonesia sebagai upaya penyederhanaan dan keterpaduan undang-undang yang saling berkaitan.

"Metode pendekatan omnibus law juga diharapkan dapat mengatasi permasalahan hyper regulation peraturan perundang-undangan mengatur hal yang sama dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan memberikan ketidakpastian hukum," bunyi dissenting opinion Anwar dan Usman dikutip dari Putusan Nomor 91/PUU-XVII/2020.

Kemudian, dalam konteks hukum progresif, pembentukan undang-undang melalui metode omnibus law tidak mempermasalahkan nilai baik dan buruk karena hal itu adalah metode yang bebas nilai.

Oleh karena itu metode pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law dapat diadopsi dan cocok diterapkan dalam konsepsi negara hukum Pancasila, sepanjang omnibus law itu dibuat sesuai dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip-prinsip yang termuat dalam UUD 1945.

Menurut Anwar dan Arief ejumlah undang-undang sebelumnya dinilai sudah menggunakan digunakan dalam pembentukan undang-undang di Indonesia. Antara lain yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 192 yang mencabut 15 peraturan perundang-undangan dan menyatakan tidak berlaku.

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Pasal 43 yang mencabut 17 undang-undang dan menyatakan tidak berlaku.

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 571 yang mencabut 3 undang-undang dan menyatakan tidak berlaku. Undang-Undang ini telah menggabungkan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan

Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

"Oleh karenanya tidak ada alasan untuk menolak penerapan metode omnibus law meskipun belum diatur secara eksplisit dalam undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebab, metode ini secara umum telah diimplementasikan dalam pembentukan beberapa undang-undang sebagaimana diuraikan di atas," kata Anwar dan Arief.

Mereka menilai, metode omnibus law dibutuhkan karena terdapat kebutuhan mendesak membuat undang-undang lintas sektoral. Jika tidak menggunakan omnibus law kurang lebih 78 undang-undang harus dibuat secara bersamaan.

Pembentukan UU Cipta Kerja dalam aspek filosofis, sosiologis maupun pertimbangan yuridis sudah sangat baik dan cermat untuk mewujudkan amanat pembukaan UUD 1945 yang merupakan arahan fundamental mengenai visi, misi dan tujuan nasional.

Anwar dan Usman menilai ada urgensi UU Cipta Kerja. Antara lain kebutuhan pembukaan lapangan kerja, ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global, kompleksitas dan obesitas regulasi, perlu kemudahan izin berusaha dan sebagainya.

"Diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta Kerja yang memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut perlu menyusun dan menetapkan Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan tujuan untuk menciptakan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia. Selain itu,penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan investasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan percepatanproyek strategis nasional paling sedikit memuat pengaturan mengenai: pelaksanaan investasi Pemerintah Pusat melalui pembentukan lembaga pengelola investasi dan penyediaan lahan dan perizinan untuk percepatan proyek strategis nasional."

Sementara Manahan M.P Sitompul dan Daniel Yusmic P. Foekh yang juga memiliki dissenting opinion menilai Ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak secara eksplisit menyebutkan metode tertentu yang harus digunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, menurut dua hakim MK itu metode lain dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, termasuk metode omnibus, dimungkinkan pengadopsiannya ke dalam sistem hukum nasional manakala dipandang lebih efektif dan efisien.

Oleh karena itu, Undang-Undang Cipta Kerja konstitusional karena UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) sama sekali tidak mengatur metode omnibus.

"Terhadap berbagai varian sebagaimana diuraikan di atas, kami berpendapat bahwa jangka waktu paling lambat 2 tahun telah cukup memadai untuk melakukan perubahan UU PPP. Hal ini diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dan kemanfaatan dalam penyusunan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus di masa mendatang," kata Manahan dan Daniel.

Untuk diketahui, lima dari sembilan hakim MK yaitu Saldi Isra, Wahiduddin Adam, Suhartoyo, Aswanto dan Enny Nurbaningsih memutuskan UU Cipta Kerja cacat formil sehingga harus dinyatakan inkostitusional bersyarat.

MK memerintahkan kepada para pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan oleh MK, dan apabila dalam tenggang waktu tersebut para pembentuk undang-undang tidak melakukan perbaikan, Undang-Undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

Rekomendasi