Hikayat Perjuangan Kemerdekaan dari Dapur Umum Atas Nama Erna Djayadiningrat

| 05 Nov 2019 20:00
Hikayat Perjuangan Kemerdekaan dari Dapur Umum Atas Nama Erna Djayadiningrat
Ilustrasi (Ilham/era.id)
Jakarta, era.id - Dari sekian banyak pejuang kemerdekaan, nama Erna Djayadiningrat mungkin masih terdengar asing. Padahal, ia adalah salah satu pejuang wanita yang berperan penting dalam menyuplai logistik di masa revolusi fisik. Saking berjasanya, Erna menjadi perempuan pertama di Indonesia yang menerima penghargaan Bintang Gerilya.

Sejak kecil, jauh sebelum menjajaki kiprah dalam perjuangan kemerdekaan, Erna sudah dikenal merakyat. Jiwa nasionalisme yang tumbuh dalam dirinya bisa dibilang warisan dari ayahnya, Pangeran Aria Djayadiningrat. Ia merupakan salah satu pejuang pergerakan rakyat di Banten pada masa kemerdekaan.

Pendidikan layak menjadi salah satu faktor yang membentuk jiwa kepemimpinan Erna kelak. Erna mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Europeesche Lagere School. Ia kemudian melanjutkan sekolah menengah di Hogere Burger School, dan Middelbare Huishouds School. Selesai mengenyam pendidikan, ia diminta oleh sang ayah untuk menjadi guru di Van Deventer School di Solo, Jawa Tengah.

Misi mencerdaskan kehidupan bangsa Erna jalani dari kota ke kota. Hampir seluruh pulau Jawa ia sambangi untuk membagikan ilmunya. Selain mengajar, ia juga aktif berorganisasi. Salah satunya, ia dikenal sebagai pendiri Wanita Indonesia (WANI) pada 1945.

Berjuang di Dapur

Saat revolusi fisik terjadi pada awal kemerdekaan Indonesia, peperangan meletus di berbagai daerah di Pulau Jawa. Hampir semua elemen masyarakat terlibat dalam peperangan, tak terkecuali wanita.

Dalam peperangan masa kemerdekaan, kita semua sepakat bahwa persediaan makanan menjadi salah satu faktor penting untuk menyokong jalannya pertempuran. Oleh karenanya dalam masa revolusi fisik, Presiden Sukarno seperti diriwayatkan Ohorella dkk dalam Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pergerakan Nasional (1992) meminta para wanita untuk membentuk dapur umum.

Orang yang dipercaya untuk memprakarsai pembentukan itu tak lain adalah Erna Djayadiningrat. Sejak mengemban tugas tersebut, Erna lalu menghibahkan rumahnya di Jalan Mampang nomor 47, Jakarta Selatan untuk dijadikan dapur umum. Lalu, ia mengerahkan anggota keluarga dan wanita di sekitarnya untuk memasak bagi para pejuang.

Sementara itu, untuk bahan makanan, Erna mendapatkannya dari banyak pihak. Untuk pasokan beras, misalnya. Erna mendapat beras dari orang kaya asal Klender Jakarta bernama Haji Darip. Lalu, untuk pasokan ikan ia dapat dari para pedagang pasar ikan Tanjung Priok. Sementara, buah-buahan diperoleh dari pedagang Pasar Minggu.

Kelancaran pasokan bahan makanan juga didukung oleh Gubernur Jakarta pada saat itu, Suwiryo. Ia turut menyediakan truk dan sopir untuk mengangkut bahan makanan dari berbagai wilayah Jakarta ke dapur umum. "Dapur umum menyediakan makanan nasi bungkus untuk beratus-ratus orang dari Badan Keamanan Rakyat, Polisi Umum, dan Jawatan Kereta Api,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia.

Bersitegang dengan NICA

Pengoperasian dapur umum tak selamanya berjalan mulus. Tentara belanda NICA mulai mengendus "aroma tak sedap" dari rumah Erna. Beberapa kali tentara NICA mendatangi rumah Erna dan memperingatkan bahwa aktivitas mereka hanya dibatasi pada masak-memasak. Tak boleh lebih. Apalagi membentuk perkumpulan atau aktivitas berbau politik.

Kendati diancam, Erna tak gentar. Sampai suatu saat NICA menggeledah seluruh isi rumah beserta dapur umum, kemudian menembaki dan mengobrak-abrik dapur umum itu dan menurunkan bendera merah putih yang berkibar disekitaran rumah Erna. Mendapat perlakuan itu Erna melayangkan protes terhadap Van Hoogstraten selaku atasan tentara NICA di wilayah Jakarta atas apa yang telah diperbuat anak buahnya.

Ditambah dengan aksi penurunan sang saka merah putih yang menurutnya merupakan tindakan penghinaan kepada bangsa Indonesa yang sudah merdeka. Kabar insiden perusakan dapur umum sampai kepada Suwiryo. Gubernur Jakarta itu lantas menyarankan agar dapur umum dibangun kembali dan dipindahkan ke Jalan Pegangsaan Timur nomor 17 (sekarang menjadi Hotel Bintang Lima). Di tempat ini Erna berserta kawan-kawan wanita lainnya mulai memasak lagi dengan cara sembunyi-sembunyi.

Agar tak terendus lagi oleh NICA, Erna sudah menyiapkan strategi. Untuk mengelabui NICA, dapur umum baru itu diatur seolah-olah hanya rumah biasa, adapun dengan banyaknya wanita di sana, apabila ada yang bertanya Erna mengaku mereka hanya asisten rumah tangga biasa. Keadaan itu terus berlangsung hingga dapur umum yang Erna pimpin harus tutup akibat memanasnya Agresi Militer Belanda pertama.

Setelah dapur umumnya bubar Erna melanjutkan perjuangannya dalam ranah pembebasan tahanan politik. Ia bersama Mariah Ulfa (Menteri Sosial RI tahun 1947-1962) membangun organisasi Panitia Sosial Korban Politik (PSKP). Mereka mengadvokasi untuk membebaskan para pejuang dan masyarakat yang ditahan tentara NICA selama agresi militer Belanda.

Dari sekian banyak orang yang dibebaskan Erna, salah satunya adalah sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang masuk penjara Bukit Duri Jakarta tahun 1947. Hal ini ditulis oleh Pram dalam bukunya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. “Aku sendiri tercantum sebagai sersan mayor. Pada 12 Desember 1949 kami bersembilan dibebaskan sebagai orang-orang terakhir. Kebebasan kami dijemput oleh Panitia Korban Politik yang diketuai oleh Erna Djajadiningrat,” kata Pram.

Atas jasa-jasanya itu pada 5 Oktober 1949 Erna menjadi perempuan pertama di Indonesia yang menerima penghargaan Bintang Gerilya. Penghargaan itu diserahkan di Markas Divisi Siliwangi, Bandung, oleh Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin. Masih, ditahun yang sama, saat penandatanganan penyerahan kedaulatan di Jakarta pada 27 Desember 1949, Erna bersama Maria Ulfah dan Ibu Yamin turut hadir menjadi anggota delegasi terkait penyerahan kedaulatan oleh Belanda, yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono IX.

Dipenghujung karirnya Erna sempat menjadi anggota DPRDS Jawa Barat, serta menjadi kepala urusan pendidikan wanita pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sampai akhirnya ia mengembuskan nafasnya yang terakhir di Rumah Sakit Setia Mitra Jakarta, 8 November 1984 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Rekomendasi