Terlepas dari salah persepsi tersebut, kata Imlek berasal dari dialek Hokkian atau bahasa Mandarin-nya Yin Li yang berarti kalender bulan. Kalender imlek menganut perhitungan penanggalan berdasarkan peredaran bulan, berbeda dengan kalender masehi yang menyesuaikan dengan peredaran matahari. Perayaan Imlek memiliki tujuan guna pengucapan syukur, doa dan harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, sebagai media silaturahmi antar keluarga dan kerabat, serta untuk menjamu leluhur.
Dalam perkembangan sejarah perayaan Imlek di Indonesia, rupanya memiliki cerita tersendiri di setiap masanya. Sejak saat Soekarno menjabat sebagai Presiden hingga kini Jokowi. Pada era Soekarno, Imlek diberikan tempat khusus dalam perayaannya. Terlihat dengan dikeluarkannya Ketetapan Pemerintah tentang Hari Raya Umat Beragama Nomor 2/OEM Tahun 1946. Pada butir Pasal 4 dipaparkan bahwa Tahun Baru Imlek, Ceng Beng serta hari lahir dan wafat Khonghucu sebagai hari libur. Hal tersebut dibentuk Soekarno sedemikian rupa guna membangun persahabatan dengan pemerintah Cina.
Situasi berbeda akan ditemukan jika menelisik era Orde Baru. Etnis Tionghoa seperti dikekang oleh pemerintahan Soeharto kala itu. Terlihat dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tiongkok. Isi inpres mentapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Hal ini sama dengan menandakan segala bentuk perayaan yang dilakukan oleh orang Tionghoa akan tiada di hadapan publik.
Selain hal tersebut, pemerintah menetapkan pula Surat Edaran Presidium Kabinat Ampera Nomor 06 Tahun 1967 serta Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang isinya memberikan anjuran terhadap WNI keturunan Tionghoa yang masih menggunakan nama Tionghoa agar segera menggantinya dengan nama Indonesia. Mereka juga dianjurkan untuk menikah dengan orang pribumi asli serta meninggalkan bahasa, agama, dan budaya Tionghoa yang selama ini mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kekhawatiran berlebih pemerintah menimbulkan sentimen anti Cina dalam masyarakat. Puncaknya terasa saat tragedi 1998, banyak keturunan Tionghoa yang mati dibunuh dengan tidak manusiawi dan mengalami pelecehan seksual.
Beruntungnya, era Gusdur menjabat sebagai presiden. Orang Tionghoa dapat dikatakan mulai bisa merasakan angin bebas. Keputusan Presiden Nomor 19/2001 menetapkan bahwa Imlek menjadi hari libur bagi mereka yang merayakan.
Era Megawati menggantikan Gusdur, Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional yang terlampir dalam Keputusan Presiden Nomor 19/2002. Hingga kini, keturunan Tionghoa tak lagi harus secara tertutup untuk merayakan kebudayaannya.