ERA.id - Dari patung Amunhotep, Putra Nebiry, di era 1426 SM hingga patung pejabat Mesir yang dibuat di era 380-342 SM ada sesuatu hal yang tampak berulang, yaitu bagian hidung patung tersebut terlihat rusak.
Pertanyaannya, mengapa bisa seperti itu dan mengapa bagian hidung saja yang rusak?
Jawaban singkatnya adalah bahwa hidung patung tersebut memang sengaja dirusak oleh orang Mesir kala itu, atau oleh orang dengan kepercayaan lain di masa setelahnya. Hal ini, menurut ahli arkeologi, dilakukan dengan tujuan melemahkan kekuatan seorang dewa, roh anggota kerajaan, atau orang tertentu.
Tak Sembarang Patung
Perlu diketahui, peradaban Mesir memiliki kepercayaan bahwa patung-patung merupakan tempat bersemayam roh atau dewa tertentu. Rakyat Mesir kala itu akan melakukan sejumlah ritual untuk 'mengaktifkan' kekuatan para dewa atau roh ini.
Patung dianggap sebagai manifestasi tiga dimensi dari roh dan dewa yang berkekuatan supranatural itu. Maka, ketika sebuah patung rusak atau patah, kekuatan dewa atau roh di dalamnya juga akan terganggu.
Contoh-contohnya bisa dilihat di sebuah koleksi patung Brooklyn Museum. Dalam pameran berjudul 'Striking Power: Iconoclasm in Ancient Egypt', kurator menampilkan patung-patung hingga relief yang dibuat dari era abad ke-25 SM hingga abad ke-1 M.
Gambar di atas menampilkan patung Ratu Hatshepsut. Singkatnya, Hapshetsut naik tahta di tahun 1478 SM menggantikan suaminya, Raja Thutmose II, yang meninggal dunia. Sang ratu lantas memerintah Mesir Kuno bersama anak tirinya Thutmose III.
Waktu berlalu dan sang ratu mangkat, digantikan oleh Thutmose III. Dan di sinilah permasalahan terjadi. Ia pada akhirnya ingin mengangkat anaknya, Amunhotep II, sebagai putra mahkota . Sayangnya hal ini tak bisa dilakukan karena si anak ini tidak memiliki hubungan darah dengan Ratu Hatshepsut.
Barangkali karena ambisi sudah sampai di ubun-ubun, Thutmose III melakukan segala cara untuk melegitimasi rencananya. Ia menghapus nama sang ratu, Hatshepsut, dari semua monumennya dan mengganti silsilah raja-raja dari garis keturunan laki-laki via ayahnya.
Thutmose III juga merusak monumen dan patung Hathsepsut, dan gambar di atas bisa menjadi bukti pengrusakan tersebut.
Kenapa Hidung?
Kurator koleksi patung di Brooklyn Museum, Edward Bleiberg, meyakini bahwa "bagian tubuh yang dirusak akan gagal melakukan tugasnya." Dengan tidak adanya hidung, maka roh di dalam patung itu pun tak dapat bernafaas dan pada saatnya akan 'mati'.
Analogi yang sama berlaku di bagian tubuh lain. Merusak telinga patung sebuah dewa akan membuat dewa itu tak mampu mendengar doa-doa. Di patung-patung yang beradegan seorang manusia sedang menghantarkan persembahan pada dewa, lengan kiri patung itu - bagian tubuh yang biasa digunakan dalam menyerahkan sesembahan - dipotong, sehingga patung itu tak mampu menjalankan fungsinya.
Tradisi perusakan patung ini sekarang dikenal dengan istilah iconoclasm. Para pakar kebudayaan Mesir Kuno meyakini kebiasaan ini sudah muncul sejak awal kerajaan Mesir. Dan tak hanya patung saja yang dirusak: para arkeolog melihat perusakan secara sengaja pada relief, patung, hingga mumi.
Perusakan citra seseorang, dalam kultur Mesir Kuno, pun dilihat sebagai penyerangan kepada orang yang diwakili suatu patung atau relief. Tak heran, sejumlah teks yang ditemukan para arkeolog menjabarkan seseorang akan gelisah jika patung yang didedikasikan untuknya dirusak.
Para pharaoh Mesir bahkan membuat sejumlah dekrit yang akan menghukum dengan berat siapapun yang ketahuan merusak patung-patung mereka.