Period Poverty: Ketika Pembalut Jadi Barang Mewah

| 14 Oct 2023 21:10
Period Poverty: Ketika Pembalut Jadi Barang Mewah
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Perempuan itu bernama Maryam, ia asli Madura. Di kampungnya dulu, semasa kecil ia masih sering mandi bersama teman-temannya yang lebih tua di sungai. Saat itulah ia mengetahui kalau salah seorang temannya hanya memakai sebuah pembalut selama satu periode menstruasi. Pembalut itu dicucinya di sungai tiap kali mandi, dikeringkan, lalu dipakai lagi hingga tamu bulanannya pamit. 

"Ya karena sanggupnya beli segitu," cerita Maryam di media sosialnya. "Beberapa pakai bekas sewek (kain batik) yang dipotong kalau gak ada uang. Beberapa dari mereka ini baru sanggup beli pembalut setelah menikah, karena di keluarganya kebutuhan sanitasi anak perempuan memang sering dikesampingkan."

Ketika ia dewasa, ia baru sadar kalau ternyata perempuan mestinya bisa berganti pembalut hingga lima kali sehari. 

Apa yang dialami Maryam bukan satu-satunya cerita perjuangan para perempuan mengakali menstruasi. Banyak kisah serupa dapat kita temui di pinggiran Indonesia. Dalam laporan Antara pada 2013, perempuan di pelosok Sulawesi Barat masih banyak yang menggunakan koran bekas sebagai pembalut.

Bagi sebagian orang, membeli pembalut adalah perkara remeh, tapi tidak bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dan di sini, sayangnya jumlah mereka tidak sedikit.

Tata, perempuan asal Yogyakarta, semasa mondok di pesantren juga berteman dengan banyak perempuan yang berasal dari keluarga kurang mampu. Rata-rata mereka menyumbat darah menstruasi dengan handuk kecil yang dicuci bolak-balik atau hanya memakai satu pembalut dalam sehari. Padahal, pembalut disarankan harus diganti setiap 3-4 jam sekali untuk mencegah timbulnya penyakit.

Untuk melihat gambaran yang lebih jelas lagi betapa masih banyak perempuan Indonesia yang kesulitan membeli pembalut adalah dengan melihat larisnya penjualan pembalut repack yang tak lolos quality control di e-commerce. Di beberapa lapak penjual, pembalut repack laku hingga ribuan paket.

Kurangnya akses perempuan ke produk menstruasi itu biasa disebut dengan period poverty. Menurut United Nations Population Fund, period poverty adalah kondisi di mana perempuan berpenghasilan rendah berjuang membeli produk menstruasi seperti pembalut. Dan kenyataan ini ikut menjerat sebagian perempuan Indonesia.

Menimbang opsi selain pembalut sekali pakai

Dalam sekali periode menstruasi, penggunaan pembalut yang standar akan merogoh kocek sekitar Rp28 ribu. Itu dengan perhitungan durasi menstruasi berlangsung selama tujuh hari; penggantian pembalut hingga empat kali sehari; dan harga satu pembalut di kisaran Rp1.000.

Angka tadi bisa naik tergantung dari seberapa lama perempuan datang bulan; merek pembalut apa yang dipakainya; dan seberapa sering ia mengganti pembalut. Dan dalam suatu rumah tangga, jika jumlah perempuannya lebih dari satu, maka biaya yang dikeluarkan bisa berlipat-lipat lagi.

Pengeluaran itu bagi sebagian orang tampak murah, tetapi bagi yang lain cukup berdampak pada penghidupan mereka, terutama bagi masyarakat golongan miskin, rentan, dan menuju kelas menengah yang pengeluaran bulanan mereka tak lebih dari Rp1,2 juta seperti yang disaksikan oleh Maryam dan Tata.

Jika bukan karena terpaksa, tentu saja perempuan-perempuan itu tidak akan bertahan menggunakan satu pembalut seharian bahkan mencuci ulang pembalutnya untuk dipakai lagi. Karena itu juga masih ada yang memilih membeli pembalut repack. Mereka mengesampingkan kebersihannya karena harganya berbanding jauh ketimbang pembalut biasa.

Rata-rata satu paket pembalut repack berisi 100 potong dijual dengan harga Rp30 ribu (Rp300 per pembalut). Padahal rata-rata sepotong pembalut biasa dihargai kurang lebih Rp1.000.

Lalu pertanyaannya, mengapa tidak memilih alternatif yang lebih murah di luar pembalut sekali pakai? Opsi itu sebetulnya sudah diterapkan oleh orang tua-orang tua kita yang terbiasa menggunakan pembalut kain. Dan di zaman sekarang, ada juga menstrual cup yang bisa dipakai berkali-kali setelah dicuci bersih.

Namun, masalahnya, penggunaan produk menstruasi yang bisa digunakan berulang kali juga membutuhkan sanitasi dan ketersediaan air bersih. Sementara di Indonesia, belum semua masyarakat menjangkau dua kebutuhan tadi.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, ada 19,08 persen rumah tangga yang tidak memiliki akses sanitasi layak di seluruh Indonesia. Ditambah lagi ada 8,95 persen rumah tangga yang tidak punya sumber air minum layak.

Dengan kondisi sanitasi dan air yang buruk, penggunaan produk menstruasi berulang seperti menstrual cup justru bisa berdampak pada kesehatan perempuan yang memakainya.

Menunggu peran pemerintah

Kementerian Ketenagakerjaan mengatur soal Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yaitu standar kebutuhan seorang pekerja untuk dapat hidup layak secara fisik dalam sebulan. KHL ini yang menjadi acuan dasar dalam penetapan upah minimum. Sebelumnya, pembalut termasuk komponen KHL sebagai sarana kesehatan. Namun, itu dihapus pada tahun 2020.

Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 18 Tahun 2020, pembalut digantikan dengan korek kuping (cotton bud). Peraturan itu ditandatangani Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang juga seorang perempuan. Di tengah kesulitan sebagian golongan mengakses pembalut, hari ini pemerintah tak lagi menganggapnya sebagai salah satu kebutuhan masyarakat. 

Isu kebutuhan pembalut tampak kurang diperhatikan pemerintah, hal ini terlihat dari kurangnya program-program yang mendukung kemudahan terhadap akses pembalut.

Misalnya, Kementerian Kesehatan dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) punya banyak program sosialisasi seputar kontrasepsi hingga pencegahan stunting, di mana mereka turut membagi-bagikan kue untuk ibu hamil dan bayi. Namun, masih jarang terdengar ada program pembagian pembalut gratis.

Padahal, beberapa negara lain sudah melangsungkan program pembalut gratis kepada warganya. Di Skotlandia, Undang-Undang Period Product Bill disahkan pada November 2020 lalu. Aturan tersebut memastikan bahwa produk kewanitaan seperti pembalut tersedia secara gratis untuk siapa pun yang membutuhkan.

Pemerintah Selandia Baru juga menyediakan pembalut gratis bagi siswi perempuan di seluruh negerinya sejak 2021. Beberapa negara bagian di Australia juga menerapkannya di sekolah-sekolah negeri sejak 2019. 

Untuk ke arah sana, mungkin belum banyak politikus dan pejabat-pejabat Indonesia yang terlalu peduli soal ketersediaan pembalut. Selain kurang populer, kebijakan tersebut tampaknya masih terlalu jauh dari bayangan orang-orang di pucuk kekuasaan yang tak pernah menghitung pengeluaran pembalut tiap bulan. 

Namun, kalau menyediakan pembalut gratis masih dirasa berat, setidaknya kita berharap menteri selanjutnya bisa mengembalikan pembalut menjadi salah satu komponen kebutuhan hidup layak. 

Rekomendasi