ERA.id - Puasa hari kedua tahun ini jatuh pada Jumat (24/3/2023) dan kami memilih untuk Jumatan di salah satu masjid tertua di Jakarta, Masjid Al-Atiq. Bangunan yang tampak jelas sudah mengalami beberapa renovasi itu dikepung rumah-rumah warga di Kampung Melayu. Tanpa papan nama berkarat di depan yang bertuliskan “berdiri tahun 1632 M/1053 H”, kami takkan mengiranya setua itu dan sejarahnya mungkin bakal lewat begitu saja.
Sisa-sisa napas tua Masjid Al-Atiq sejatinya bisa dilihat dari atap berbentuk limas yang menunjuk empat mata angin alih-alih berbentuk kubah. Namun, atap itu sukar disaksikan dari jalanan di luar dan mungkin hanya tampak bagi mata burung-burung dara dan gereja yang kerap mondar-mandir di atas sana.
Jam menunjuk angka 11, masjid masih lengang dan baru diisi beberapa jamaah yang memilih tempat di pinggiran; bersandar tiang dan dinding menunggu azan. Gerbang tangga menuju lantai dua masih digembok dengan poster peringatan di tembok: Anak-Anak Dilarang Ngobrol Selama Kutbah Jum’at.
Bersebelahan dengan masjid ada pekuburan seluas 300 meter persegi. Di bawahnya bersemayam jasad keluarga leluhur pendiri Masjid Al-Atiq dan marbot-marbot masjid. Seorang warga setempat yang juga jamaah masjid mendekati kami dan bilang tak boleh sembarang masuk ke sana kalau mau ziarah. “Baca salam, harus suci, kalau enggak nanti pulangnya bisa sakit.”
Di samping pintu masjid, ada empat selembaran fotokopian yang menerangkan sejarah singkat Masjid Al-Atiq berikut nama-nama yang dipasrahi mengurus masjid itu dari masa ke masa. Sejak tahun 1970 M, pengurus masjid dipegang oleh keluarga H. Rachman Saferin. Dan pada hari Jumat lalu, kami berkesempatan bertemu dengan salah seorang keturunannya, Fahri, yang mengajak kami berkeliling melihat sisa-sisa masa lalu yang masih terekam di sana.
Setengah jam sebelum azan berkumandang, orang-orang mulai berdatangan dari ketiga pintu masuk. Tak lama setelah azan, khatib naik ke atas mimbar dan berkhutbah tentang keutamaan memberi makan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa. Selepas salat Jumat, orang-orang membubarkan barisan dan sebagian memilih merebahkan diri di pelataran masjid, menunggu azan Magrib yang masih lima jam lagi.
Masjid para pelarian dan musafir
“Saya pernah dengar dari cerita-cerita orang tua kita dulu, bahwa masjid ini didirikan oleh para wali dalam waktu sehari semalam. Memang tidak seperti masjid sekarang ini. Itu berupa surau kecil,” cerita Fahri. Di belakangnya empat pengurus lain sedang menghitung isi kotak amal.
Menurut cerita lisan turun-temurun warga sekitar, masjid itu dibangun sekelompok muslim yang hijrah ke sana dari daerah kekuasaan VOC yang merebut Jayakarta pada 1619 M. Pembangunannya dipimpin oleh seorang tokoh ulama bernama Abdul Majid yang mewakafkan tanahnya di Kampung Melayu.
Sejak saat itu, menurut Fahri, Masjid Al-Atiq yang dulunya masih bernama Masjid Jami’ Kampung Melayu punya peran vital dalam penyebaran ajaran Islam di Jakarta. “Masjid kita ini dulu kan dia terletak di pinggiran Kali Ciliwung. Kalau Anda lihat di sebelah sana itu Kali Ciliwung, jadi tempat hilir mudiknya rakit,” ucap Fahri.
“Jadi memang tempat persinggahan orang-orang yang lalu-lalang di pinggiran Kali Ciliwung. Karena dulu kan yang namanya angkutan itu berupa rakit atau getek,” lanjutnya. “Dampaknya untuk penyebaran agama Islam tentu saja sangat signifikan. Karena memang masyarakat saat itu memerlukan tempat ibadah.”
Menjelang akhir tahun 1949 M, barulah masjid itu diberi nama Masjid Al-Atiq, diambil dari bahasa Arab yang artinya ‘kuno’ karena umurnya menembus ratusan tahun. Al-Atiq juga bisa berarti ‘bebas’, sebab pada tahun yang sama Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Sebelumnya, warga setempat juga sempat menyebutnya Masjid Kandang Kuda sebab lokasinya saat itu dekat dengan lokasi perkampungan tukang-tukang sado atau transportasi menggunakan kereta kuda. Pada tahun 1970-an, Gubernur Ali Sadikin meresmikan nama Masjid Jami Al-Atiq hingga sekarang.
Lebih dari 400 tahun sejarahnya, wajah masjid itu sudah banyak yang berubah dan dipermak lebih modern. Hampir-hampir kami tak mengenalinya sebagai masjid berusia empat abad andai kata tak mendengar cerita dari Fahri dan dikasih tunjuk sisa-sisa bangunan lamanya: atap limas bertingkat, mosaik kaca bertuliskan kaligrafi Arab di atas mimbar, dan empat tiang utama penyokong masjid.
"Ini saksinya yang sampai sekarang kita bisa lihat empat tiang ini. Jadi kalau kita kupas ini betonnya di dalamnya ada tiang bulat dari kayu itu," Fahri menunjuk empat tiang beton di tengah masjid, lalu berjalan ke mimbar dan mengambil sebilah tongkat kayu yang tampak sudah berumur.
Tongkat itu juga katanya peninggalan dari masa lalu. Bagian bawahnya seperti pensil yang dikerik. Konon, menurut Fahri, serpihan tongkat tadi dahulu digunakan mereka yang ingin ngalap berkah kesembuhan dari berbagai penyakit.
"Memang masjid ini mengalami beberapa kali renovasi. Kalau saya yang ingat waktu di zaman saya itu sudah empat kali, sejak tahun 1975," ucap Fahri. "Sekarang kan bertingkat, dulu enggak bertingkat. Dulu juga hanya berapa kali berapa meter, sekarang ini kan luarnya 1.400 meter kurang lebih."
Menjelang Asar kami pamit pulang lantaran Fahri juga ada janji lain yang harus dipenuhi. Sebelum pergi dari sana, kami naik ke lantai dua, mencoba mencari tahu berapa banyak lagi bekas-bekas sejarah yang bisa kami temukan. Namun, hanya lantai berdebu dan ruang-ruang kosong dengan pintu terkunci yang kami temui.
Seperti orang tua yang ditinggalkan menua hingga jadi debu di panti jompo, sejarah masjid 400 tahun itu rasanya kini tinggal cerita yang diwariskan dari mulut ke mulut. Kami meninggalkannya tanpa menoleh ke belakang lagi dan berdoa semoga ia terus berumur panjang.