ERA.id - Sabtu kemarin (18/11/2023), akun media sosial Polresta Yogyakarta mengunggah poster soal ajakan golput sambil berkomentar: Menurut UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu khususnya Pasal 515, ternyata golput bisa dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah loh Sobat Polri.
Unggahan tersebut tak ayal dinilai netizen sebagai cara menakut-nakuti yang keliru. Kemudian timbul pertanyaan, apakah benar golput terancam hukuman pidana? Sebelum melangkah ke sana, ada baiknya kita mengenal lebih dekat gerakan yang sudah berlangsung di Indonesia sejak 1970-an ini.
Menurut UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu khususnya Pasal 515, ternyata golput bisa dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah loh Sobat Polri.
@divisihumaspolri pic.twitter.com/8aeDmQIAMl
— POLRESTA YOGYAKARTA (@polresjogja) November 18, 2023
Istilah golongan putih (golput) pertama kali dikemukakan oleh aktivis dari Universitas Indonesia (UI), Imam Waluyo pada pemilihan umum (pemilu) pertama era Orde Baru tahun 1971. Waktu itu, peserta pemilu hanya 10, menyusut jauh dari 172 partai politik (parpol) pada Pemilu 1955.
Gerakan golput dimotori oleh angkatan muda Indonesia yang tidak puas dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Pemilu. Mereka menganggapnya tidak demokratis karena mematikan kekuatan-kekuatan politik baru selain parpol yang ada dan Golongan Karya (Golkar).
Selain intervensi pemerintah terhadap peserta pemilu, aktivis golput menganggap ada banyak upaya pemaksaan kepada rakyat untuk memilih Golkar. Misalnya, pegawai negeri dan keluarganya dipaksa masuk Golkar bila tak ingin dipecat.
Pemilihan kata “putih” disebabkan anjuran mereka untuk mencoblos bagian putih pada surat suara di luar gampar parpol peserta pemilu. Hal tersebut merupakan bentuk penolakan dan perlawanan terhadap rezim Soeharto.
Ajakan golput terus menguat tiap penyelenggaraan pemilu semasa Orba, terutama di kalangan aktivis muda dan mahasiswa. Bagi mereka, pemilu hanya ajang legitimasi penguasa dan hasil pemilu tidak akan berpengaruh terhadap kondisi politik nasional. Sebab, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dihasilkan pemilu hanya sebesar 40 persen, sementara sisanya diangkat penguasa.
Arief Budiman, salah satu aktivis penggerak golput, baru mulai melonggarkan sikapnya pasca reformasi. Menjelang Pemilu 2004, ia berpendapat golput hukumnya tidak wajib seperti dulu.
Akan tetapi, dalam tulisannya di Kompas edisi 11 Desember 2003, ia menambahkan “jikalau memang materi yang akan dipilih dianggap ada di bawah standar, maka golput tetap halal dilakukan”.
Itu tadi merupakan pengantar singkat mengenai gerakan golput di Indonesia. Hari ini, sudah seperempat abad sejak Orba tumbang. Tahun depan, rakyat kembali mendapatkan kesempatan memilih perwakilan dan pemimpinnya. Ajakan golput kembali terdengar. Lalu, bagaimana sebetulnya posisi golput di mata hukum? Apakah kita bisa dipenjara karena “memilih untuk tidak memilih” seperti yang disinggung admin Polresta Yogyakarta?
Ajakan golput dalam UU Pemilu
Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan dengan tegas menyatakan bahwa masyarakat yang memilih golput tidak bisa dipidana.
“Golput adalah hak, sekalipun itu bukan hal yang baik. Jadi tidak bisa dipidana,” ujarnya kepada ERA, Senin (20/11/2023).
Istilah golput sendiri tak terdapat dalam undang-undang. Namun, UU Pemilu memakai istilah “tidak menggunakan hak pilih” yang disebutkan dalam Pasal 284; Pasal 515 seperti dikutip Polresta Yogyakarta sebagai dalih larangan golput; dan Pasal 523 ayat (3).
Jika mencermati bunyi pasal-pasal tersebut, kita tidak akan menemukan pidana golput. Pasal 284 memang menyinggung larangan mempengaruhi pemilih agar “tidak menggunakan hak pilihnya”, tapi itu terbatas kepada mereka yang memberikan imbalan berupa uang atau materi lain.
Sementara Pasal 515 lengkapnya berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Dan Pasal 523 ayat (3) berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
“Pasal tersebut intinya pada politik uang,” tegas Agustinus.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut ancaman pidana ajakan golput tidak bisa dijatuhkan sembarangan. Berdasarkan pasal-pasal sebelumnya, ajakan golput hanya bisa dipidana jika:
- dilakukan pada saat hari pemungutan suara;
- dilakukan dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya.
“Penggunaan pasal ini bagi mereka yang golput atau melakukan ekspresi politiknya dengan berkampanye golput adalah pelanggaran serius bagi hak konstitusi warga negara,” tulis keterangan ICJR dalam laman resminya.
Memilih untuk tidak memilih
Angka golput pada Pemilu 2019 relatif lebih rendah ketimbang pemilu-pemilu sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ada sekitar 34,75 juta orang memilih golput pada 2019 atau sekitar 18,02 persen dari total pemilih terdaftar. Pada 2014, jumlahnya lebih besar lagi, sebanyak 58,61 juta atau 30,22 persen.
Tahun depan, berdasarkan data BPS tahun 2022, lebih dari 116,5 juta atau 56% suara Pemilu 2024 berasal dari golongan muda berusia di bawah 44 tahun. Sementara generasi tua yang lahir sebelum 1981 jumlahnya hanya 44%, tak sampai 90 juta pemilih. Menurut hasil survei Centre for Strategic and International (CSIS), sebanyak 11,8 persen responden memilih untuk golput.
Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Dr. Mudzakkir menjelaskan bahwa “memilih” dan “dipilih” adalah hak warga negara. Karena itu merupakan hak, maka itu bisa digunakan atau tidak digunakan. Otomatis, masyarakat bebas menentukan akan golput atau tidak tanpa perlu takut ancaman pidana.
Hal tersebut juga sejalan dengan Pasal 23 ayat (1) UU Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjamin “kebebasan seseorang untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Sementara golput sendiri merupakan ekspresi politik seseorang dan bentuk abstain atau mekanisme yang tersedia dalam pengambilan keputusan demokratis.
Berdasarkan pemaparan di atas, kita tidak dapat melarang atau menghalangi siapa pun yang hendak golput pada Pemilu 2024. Kita pun bebas memilih akan mencoblos pasangan capres-cawapres tertentu atau memilih tidak menyumbang suara kepada salah satunya dengan pertimbangan masing-masing.
Menurut politikus Golkar Indra J. Piliang, paling tidak ada tiga pertimbangan seseorang memilih golput, yaitu alasan ideologis, pragmatis, dan politis.
Yang pertama adalah penolakan terhadap sistem ketatanegaraan atau semacam gerakan anti-state, ketika pemerintahan dianggap bagian korporatis dari sejumlah elite seperti marak terjadi di era 1970-an.
Kedua, yaitu memilih untuk tidak memilih karena alasan pragmatis berdasarkan kalkulasi rasional bahwa mau ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan berdampak pada kehidupan si pemilih. Para golput jenis ini memandang pemilu antara percaya dan tidak percaya apakah akan membawa perubahan.
Terakhir, golput yang dilakukan karena pilihan-pilihan politis. Golongan ini masih percaya kepada negara dan pemilu, tetapi memilih untuk tidak memilih karena preferensi politiknya berubah atau pilihan yang ada dianggap di bawah standar mereka.