ERA.id - Sejak Pemerintah Myanmar menerbitkan Undang-Undang Kewarganegaraan pada tahun 1982 yang mengeluarkan etnis Rohingya dari "ras nasional", jutaan populasi mereka seketika kehilangan kewarganegaraan (stateless) dan hidup sebagai minoritas tanpa hak-hak dasar di negara bagian termiskin Myanmar, Rakhine. Setelah beberapa insiden pelanggaran HAM bersakala besar yang berpuncak pada tahun 2017, mayoritas warga Rohingya terpaksa mengungsi dari rumahnya dan sebagian kecil melarikan diri ke Indonesia.
Berdasarkan laporan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), lebih dari 960 ribu pengungsi Rohingya tercatat di Bangladesh, 107 ribu lebih pengungsi di Malaysia, dan 22 ribu lebih pengungsi di India. Sementara itu, kondisi keamanan di kamp-kamp Bangladesh dilaporkan semakin memburuk beberapa waktu terakhir, menyebabkan banyak keluarga pengungsi Rohingya berlayar hingga ke Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia saat ini mencapai 1.478 orang. Menurutnya, keterbukaan Indonesia terhadap pengungsi Rohingya semata-mata atas dasar kemanusiaan, sebab negara ini sebenarnya tidak terikat dengan Konvensi Pengungsi 1951.
Sayangnya, beberapa negara yang terikat perjanjian tersebut seperti Malaysia, Singapura, hingga Australia, sudah mulai menutup pintu bagi pengungsi Rohingya.
"Malaysia menutup, Australia menutup, semuanya menutup. Singapura apalagi enggak mau menerima. Mereka larinya ke Indonesia. Maksudnya mau transit, tapi lama-lama jadi tempat tujuan pengungsian," kata Mahfud di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (5/12/2023).
Mahfud sendiri ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo untuk menangani masalah pengungsi Rohingya bersama pemerintah daerah setempat dan UNHCR usai banyak penolakan dari warga Aceh terhadap kedatangan pengungsi Rohingya.
November kemarin, masyarakat Bireuen dan Aceh Utara di Provinsi Aceh menolak ratusan pengungsi Rohingya yang berlabuh di wilayah mereka. Setelah memberikan bantuan makanan dan pakaian, warga lokal memaksa kapal pengungsi kembali melaut. Sebelumnya, ratusan pengungsi juga mendarat di pesisir pantai Kabupaten Pidie.
Polisi menjelaskan jika masyarakat menolak mereka karena tidak ada tempat penampungan dan kesan buruk dari pengungsi Rohingya sebelumnya yang dianggap tidak mengikuti norma setempat.
Belakangan, penolakan dan sentimen negatif terhadap pengungsi Rohingya turut merambat ke media sosial. Banyak warganet menarasikan mereka sebagai “tamu tidak tahu terima kasih”, “tidak tahu diri”, hingga menyamakan pengungsi Rohingya dengan Israel yang mencaplok tanah Palestina setelah disambut dengan tangan terbuka.
"Palestina menjadi orang asing di rumahnya sendiri karena pernah membantu Israel. Malaysia didemo warga Rohingya karena meminta hak milik tanah padahal mereka bukanlah pribumi asli. Kami warga Indonesia tidak mau hal itu terjadi," tulis akun @Mooncalfdung di X, Rabu (6/12/2023).
UNHCR ini keterlaluan ya. Keterlaluan banget. Dengan entengnya minta 1 pulau kosong buat orang Rohingya?
Sorry ya, Israel dulu awalnya jg minta satu tempat akhirnya ngejajah Palestine. Terus skrg Rohingya mau dikasih pulau tapi yang minta UNHCR? boro boro pak. Kita aja mau… pic.twitter.com/HU3TtnWpys
— Pau || FREE 🇵🇸 (@Mooncalfdung) December 6, 2023
Sebelum terjadi gelombang penolakan di Indonesia, banyak warga Malaysia lebih dulu menolak kehadiran pengungsi Rohingya di negara mereka, puncaknya saat pandemi Covid-19 lalu, lebih-lebih usai beredar luas video yang menampilkan seorang warga Rohingya menuntut kewarganegaraan dan hak-hak lain bagi etnis Rohingya di Malaysia.
Menanggapi kegaduhan itu, dilansir dari BenarNews, 17 kelompok Rohingya di Malaysia mengeluarkan pernyataan bersama untuk meminta maaf dan membantah narasi yang beredar. Sementara pria yang terekam dalam video menyebut video tersebut palsu.
Sementara itu, merespon isu liar yang beredar di Indonesia, UNHCR menyebut pengungsi Rohingya tidak datang ke Indonesia untuk mengeksploitasi keramahan masyarakat setempat. Sebaliknya, mereka disebut sebagai orang-orang tangguh yang jika diberdayakan akan berkontribusi besar kepada masyarakat.
Nasib pengungsi Rohingya di Indonesia
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Lalu Muhamad Iqbal menegaskan bahwa Indonesia tidak punya kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi, apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi karena tidak tergabung dalam Konvensi Pengungsi 1951.
“Penampungan yang selama ini diberikan semata-mata karena alasan kemanusiaan. Ironisnya, banyak negara pihak pada konvensi justru menutup pintu dan bahkan menerapkan kebijakan push back terhadap para pengungsi itu,” kata Iqbal melalui pesan singkatnya dikutip dari Antara pada Kamis (16/11/2023).
Oleh karena itu, banyak pengungsi Rohingya di Indonesia diurus oleh komisi PBB untuk penanganan pengungsi UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).
Selama ini, di samping Aceh, sebagian pengungsi Rohingya juga direlokasi ke provinsi lain seperti Riau. Pada bulan April lalu misalnya, 190 pengungsi Rohingya dipindahkan dari penampungan sementara di Pidie ke Pekanbaru, Riau, oleh IOM bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah.
Sebelumnya, pada Mei 2022, IOM sudah memfasiltiasi lebih dulu perpindahan 119 pengungsi Rohingya dari Aceh ke Pekanbaru.
Selain itu, belasan warga Rohingya disebutkan menempati pengungsian rumah susun Puspa Agro di Sidoarjo, Jawa Timur, selama bertahun-tahun. Pada tahun 2017, dari 140 warga asing yang ada di sana, 13 di antaranya merupakan pengungsi Rohingya yang mendapatkan bantuan dana dari IOM.
Adapun pemerintah Indonesia sendiri memberi beberapa bantuan dana kepada pengungsi Rohingya. Pada 2015 lalu misalnya, pemerintah memberikan bantuan sejumlah Rp2,3 miliar melalui Direktorat Perlindungan Sosial korban Bencana Sosial.
Pada bulan Maret lalu, IOM yang ikut menyediakan tempat tinggal, bantuan barang, perlindungan, dan dukungan kesehatan mental pengungsi Rohingya di Aceh menyatakan mulai kekurangan dana untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibatnya, penyediaan layanan air dan sanitasi terpaksa dikurangi.
“Kami keterbatasan dana untuk sektor ini,” ujar Koordinator Program Disaster Climate Resilience di IOM Indonesia Stefano Bresaola dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (4/3/2023).
Sementara pendanaan berkurang, pengungsi Rohingya masih berdatangan dan penolakan masyarakat kian kuat. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Prof. Hikmahanto Juwana menegaskan pemerintah harus segera turun tangan sebelum konflik di masyarakat semakin liar.
“Jangan sampai kekesalan dan kemarahan masyarakat Aceh membuat mereka harus main hakim sendiri. Bila ini terjadi maka sejatinya pemerintahlah yang patut disalahkan,” ungkap Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya, Kamis (7/12/2023).
Meluruskan framing negatif pengungsi Rohingya
Belakangan semakin banyak framing negatif bertebaran di media sosial terkait pengungsi Rohingya. Berawal dari berita-berita penolakan masyarakat Aceh terhadap mereka, bola bergulir semakin liar dengan dua narasi besar: Etnis Rohingya tidak beradab dan ancaman pengambilalihan tanah negara.
Banyak influencer dengan ratusan ribu pengikut di media sosial menyuarakan nada kebencian terhadap pengungsi Rohingya, di antaranya founder Halal Corner Aisha Maharani lewat akun Instagram @aishamaharaniquote.
"Kalau ROHINGYA ini engga salah kenapa pada kabur dari Myanmar? Kalau dulu ratusan tahun bisa hidup di Myanmar lalu di tahun 2000 an kenapa tiba tiba diusir?" ungkap Aisha dalam salah satu unggahannya, Kamis (7/12/2023).
Beberapa sikap pengungsi Rohingya yang disoroti antara lain soal buang-buang makanan, membuang bantuan ke laut, hingga kasus perkosaan. Sentimen masyarakat Malaysia yang lebih dulu menolak mereka juga menjadi salah satu pemicu ketakutan dan rasa iri warga lokal terhadap pengungsi Rohingya.
Seorang warga Aceh bernama Jannah misalnya mengungkapkan, "Kami menolak karena sudah lihat berita Rohingya di mana-mana terutama yang di Malaysia... dengar berita mau dikasih tanah di Pulau Galang kok enak kali, kenapa enggak penduduk asli Indonesia ini yang belum punya tanah untuk buat rumah dikasih tanah?"
Menanggapi semakin maraknya framing negatif terhadap pengungsi Rohingya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Dr. Adli Abdullah menyerukan agar masyarakat melakukan verifikasi terhadap semua berita. Apalagi masalah Rohingya menurutnya adalah masalah kemanusiaan.
"Saya kira kita tetap membangun simpati terhadap masyarakat Rohingya yang terzalimi," ucap Adli seperti dilansir dari Dinas Syariat Islam Aceh, Jumat (1/12/2023). “Kita harus mencari cara, agar berita yang disampaikan terverifikasi dan terus mendorong adanya perdamaian untuk etnis Rohingya di Myanmar."
Senada dengan itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Abu Faisal Ali juga mengingatkan agar masyarakat tidak terbawa arus pemberitaan negatif terkait pengungsi Rohingya.
"Jangan sampai, karena banyaknya pemberitaan negatif yang menggambarkan kekurangan-kekurangan mereka, seolah menepis dan menihilkan kewajiban kita sesama muslim ataupun sekadar selaku manusia," ujar Faisal.
Etnis Rohingya, menurutnya, adalah korban kezaliman yang harus ditolong, sebagaimana hewan yang terancam mati di depan mata berhak mendapatkan pertolongan walau setetes air.
Bom waktu pengungsi Rohingya dan langkah pemerintah selanjutnya
Menurut Prof. Hikmahanto, dasar hukum bantuan yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia terhadap pengungsi Rohingya adalah Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (Perpres 125). Namun, karena bukan peserta Konvensi Pengungsi 1951, menurutnya Indonesia hanya bisa membantu sedapatnya.
“Bila etnis Rohingya hendak diperlakukan sebagai pengungsi maka ini merupakan urusan UNHCR dan Indonesia hanya membantu sedapatnya mengingat para etnis Rohingya saat ini berada di Indonesia,” tulis Hikmahanto.
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani itu menambahkan bahwa pemerintah harus mengambil tindakan tegas terhadap gelombang pengungsi Rohingya. Pertama-tama dengan memastikan screening atau seleksi telah dilakukan oleh UNHCR terhadap mereka.
“Apakah mereka sudah mendapatkan status pencari suaka atau status pengungsi dari UNHCR? Bila belum melalui proses screening ini maka tidak ada keharusan bagi pemerintah untuk memperlakukan etnis Rohingya sebagai pengungsi luar negeri,” tegasnya.
Ia khawatir apabila pemerintah terlambat mengambil kebijakan, maka urusan pengungsi luar negeri ini menjadi “pekerjaan rumah yang sulit untuk diselesaikan di kemudian hari”.
Salah satu permasalahan yang mengiringi gelombang pengungsi Rohingya masuk ke Indonesia adalah perdagangan orang. Menurut Kemenlu, dari pengalaman Indonesia menangani para pengungsi Rohingya, teridentifikasi banyak jaringan penyelundup manusia memanfaatkan kesempatan itu.
Jaringan penjahat itu mencari keuntungan finansial dari para pengungsi tanpa peduli risiko tinggi yang dihadapi oleh para pengungsi Rohingya, khususnya kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak, ujar Jubir Kemenlu Lalu Muhamad Iqbal. “Bahkan, banyak di antara mereka teridentifikasi korban tindak pidana perdagangan orang."
Terkait penolakan sebagian masyarakat Aceh terhadap pengungsi Rohingya, sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Dr. Tantan Hermansyah menilai banyak kompleksitas yang terjadi, mulai dari masalah sosial, budaya, politik, hingga ekonomi.
"Pertama, mungkin masyarakat Aceh akhirnya menyadari bahwa ada model budaya yang berbeda antara mereka dengan pengungsi. Dan setelah sekian lama, tingkat adaptasi pengungsi yang rendah terhadap sistem budaya Aceh menyebabkan masyarakat merasa terganggu dengan kehadiran mereka," ujar Tantan kepada ERA, Jumat (8/12/2023).
Mempertemukan dua entitas yang berbeda dalam satu ruang, menurutnya, tidak bisa disandarkan begitu saja kepada sistem pasar atau mekanisme alam, tetapi harus melalui social engineering.
"Misalnya keterlibatan pihak negara tidak hanya sekadar menerima, tapi juga mendesain bagaimana agar para pengungsi ini memiliki skill, pemahaman budaya dan sebagainya," lanjutnya.
Tantan menyarankan agar pemerintah mendesak UNHCR untuk merespon dengan adil dan terbuka mengenai kehadiran pengungsi di kawasan Indonesia, bukan hanya di Aceh, tapi di seluruh Indonesia.
"Selama ini sepertinya UNHCR juga mengabaikan realitas bahwa terjadi gesekan yang berpotensi menjadi konflik pada wilayah yang ada pengungsi tersebut," tutup Tantan.
Sementara itu, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan sejauh ini pihaknya fokus pada pencegahan pengungsi masuk dan pemindahan warga Rohingya yang sudah mengungsi ke tempat lain.
Beberapa upaya yang sudah dilakukan seperti berkoordinasi dengan UNHCR hingga memerintahkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk berkoordinasi dengan kepada daerah Aceh, Sumatera Utara, dan Riau guna membahas alternatif tempat pengungsian Rohingya.
Mahfud memastikan dalam waktu dekat akan menempatkan pengungsi Rohingya di lokasi baru demi menghindari penumpukan warga. Ia juga menekankan upaya tersebut semata-mata atas dasar rasa kemanusiaan.
"Jadi, Rohingya itu pada prinsipnya kami menganut diplomasi kemanusiaan karena sifatnya kemanusiaan, kami sedang mencari jalan," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Rabu (6/12/2023).