Menimbang Untung-Rugi Kelas Tunggal BPJS Kesehatan, Orang Miskin Jadi Tumbal?

| 20 May 2024 19:35
Menimbang Untung-Rugi Kelas Tunggal BPJS Kesehatan, Orang Miskin Jadi Tumbal?
Ilustrasi. (Era.id/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Pemerintah berencana melebur peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ke dalam satu kelas mulai 2025 mendatang. Jika berjalan sesuai rencana, kelak peserta BPJS Kesehatan tak lagi dibeda-bedakan. Baik kaya maupun miskin akan mendapatkan layanan yang sama lewat sistem kelas rawat inap standar (KRIS). Namun, rencana penyeragaman standar kelas ini menuai beragam kontroversi.

Rencana satu kelas BPJS Kesehatan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024. Disebutkan pemberlakuan KRIS akan mulai efektif pada 30 Juni 2025.

Dalam pasal 103A dan Pasal 104 dinyatakan, penerapan fasilitas ruang perawatan pada layanan rawat inap kelas standar, nantinya bisa diterapkan di seluruh fasilitas rumah sakit maupun sebagian fasilitas pasca KRIS berlaku.

Rencana ini menimbulkan rasa was-was kepada masyarakat, khususnya peserta BPJS Kesehatan kelas 3 dengan dana terbatas. Karena pemberlakuan KRIS nantinya otomatis akan menaikkan iuran yang dibebankan ke mereka.

Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah bilang sementara ini iuran dan pembagian kelas masih berlaku sesuai perpres sebelumnya tentang jaminan kesehatan.

"Iuran yang selama ini banyak ditanyakan, untuk iuran masih tetap, karena tidak ada penghapusan kelas. Otomatis untuk iuran masih mengacu kepada perpres yang masih berlaku," kata Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah dalam konferensi pers, Rabu (15/5/2024).

Namun, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memastikan iuran BPJS Kesehatan ke depan akan dijadikan satu tarif usai pemberlakuan KRIS dan dilakukan secara bertahap.

“Iurannya nanti akan kita sederhanakan, karena sekarang kan iurannya terlalu berjenjang, kita lihat yang kelas 3 ini mau kita standarkan, sehingga jangan terlalu dibedakan dong antara kelas 3, kelas 2, kelas 1 minimalnya. Ini kita mau standarkan,” ungkap Budi di Kompleks Parlemen Jakarta, Kamis (16/5/2024).

"Sekarang kita lagi pertimbangkan batas iurannya pakai kelas yang mana. Sebenarnya sebentar lagi sudah final, kok, dan itu yang dibicarakan juga dengan BPJS, dibicarakan juga dengan asosiasi rumah sakit," lanjutnya.

Dalam Pasal 103B ayat (8) Perpres 59/2024, disebutkan penetapan nilai iuran tunggal akan berlaku paling lambat pada 1 Juli 2025. 

Sebelum melangkah lebih jauh membahas untung-rugi penyeragaman kelas BPJS Kesehatan, ada baiknya kita memahami dulu apa itu KRIS dan urgensinya menghapus kelas-kelas yang selama ini berlaku.

Mengenal kelas-kelas BPJS dan KRIS yang bakal menggantikannya

Berdasarkan Perpres 59/2024, KRIS merupakan standar minimum pelayanan rawat inap yang diterima peserta BPJS Kesehatan. Sebagai bentuk penyeragaman, rumah sakit harus memenuhi 12 kriteria kamar rawat inap yang ditentukan pemerintah, yaitu: 

  1. Komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porosiritas yang tinggi;
  2. ventilasi udara memenuhi pertukaran udara pada ruang perawatan, minimal bisa enam kali pergantian udara;
  3. pencahayaan ruangan mengikuti kriteria standar 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk pencahayaan tidur;
  4. kelengkapan tempat tidur berupa adanya dua kotak kontak dan nurse call di setiap tempat tidur;
  5. nakes per tempat tidur;
  6. temperatur ruangan mulai dari 20 sampai 26 derajat celcius;
  7. ruangan terbagi atas jenis kelamin, usia, dan jenis penyakit (infeksi dan non infeksi);
  8. kepadatan ruang rawat inap maksimal 4 tempat tidur, dengan jarak antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter;
  9. tirai/partisi dengan rel dibenamkan menempel di plafon atau menggantung;
  10. kamar mandi dalam ruang rawat inap;
  11. kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas;
  12. dan outlet oksigen.

Sementara selama ini, peserta BPJS Kesehatan masih dibagi ke dalam tiga kelas dengan pelayanan rawat inap berbeda sesuai jumlah iuran mereka. 

Besaran iuran bulanan kelas 1 sejumlah Rp150 ribu; kelas 2 Rp100 ribu; dan kelas 3 Rp42 ribu. Khusus yang terakhir, ada subsidi dari pemerintah sebesar Rp7 ribu, sehingga peserta kelas 3 hanya membayar Rp35 ribu.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyebut pelayanan kelas 3 saat ini memang masih banyak yang di bawah standar.

"Kelas 3 memang ada yang delapan tempat tidur, dan ini kurang baik. Ada kelas 3 yang kamar mandinya di luar, ini juga kurang baik," ujarnya saat dihubungi Era.id, Senin (20/5/2024).

"Kan yang masalah selama ini kelas 3, makanya saya usul kelas 3-nya distandarkan saja jadi empat tempat tidur. Saya berharap KRIS itu berarti kelas 1 dua tempat tidur, kelas 2 tiga tempat tidur, dan kelas 3 empat tempat tidur," lanjutnya.

Namun, dari keterangan Menkes dan Perpres 59/2024, pemerintah tampaknya ingin menghapus semua kelas dan menyeragamkannya lewat KRIS. Menkes beralasan kebijakan ini guna meningkatkan standar minimum layanan medis di seluruh rumah sakit dan pelayanan peserta BPJS Kesehatan yang lebih adil.

"Ke depannya iuran ini harus arahnya jadi satu, tapi akan kita lakukan bertahap, karena yang namanya kelas-kelas itu bagusnya ditanggung oleh asuransi swasta, BPJS sebagai asuransi sosial itu harus menanggung seluruh 280 juta rakyat Indonesia tanpa kecuali. Jadi dengan layanan minimalnya berapa. Sehingga kalau ada dia mendadak sakit, siapa pun dia, kaya-miskin, di kepulauan atau di mana dia juga bisa terlayani," ujar Menkes Budi.

Ia pun tak memungkiri jika nantinya timbul perbedaan pendapat antara rumah sakit sebagai pemberi layanan dengan masyarakat. Namun, menurut dia, pemerintah lebih fokus pada peningkatan layanan rumah sakit demi kepentingan publik.

"Ini pasti ada perdebatan antara pemberi layanan, rumah sakit, dengan masyarakat. Nah, kita pemerintah side-nya ke 280 juta rakyat, bahwa kualitasnya harus lebih baik," ujar Budi.

Risiko mengintai di balik kelas tunggal

Menkes Budi optimistis sistem KRIS akan berjalan dengan baik. Ia mengaku sudah menguji cobanya selama satu tahun belakangan di berbagai rumah sakit. Kemenkes juga mengklaim tingkat kepuasan peserta BPJS Kesehatan selama masa uji coba sistem KRIS meningkat. 

"Kita juga sudah lakukan uji coba selama satu tahun lebih di rumah sakit-rumah sakit pemerintah daerah, rumah sakit swasta, dan rumah sakit pemerintah pusat. Jadi kita akan role out secara bertahap," ungkap Budi.

Namun, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar khawatir kalau penerapan KRIS yang terburu-buru tanpa memperbaiki sistem yang ada sebelumnya justru akan menuai banyak masalah.

“Menurut saya pelaksanaan KRIS nantinya akan menjadi masalah bagi peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dan menjadi kontraproduktif,” ujarnya.

Salah satunya, ia menyebut KRIS berpotensi menghambat akses peserta kepada ruang perawatan. Karena menurutnya penerapan KRIS akan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021, yang mana disebutkan rumah sakit swasta dapat mengalokasikan ruang perawatan KRIS minimal 40 persen dari total ruangan yang ada, sedangkan rumah sakit pemerintah minimal mengalokasikan 60 persen.

“Ini artinya terjadi pembatasan akses bagi peserta JKN ke ruang perawatan di RS. Saat ini saja, di mana ruang perawatan kelas 1, 2, dan 3 diabdikan semuanya untuk pasien JKN, masih terjadi kesulitan mengakses ruang perawatan, apalagi nanti dengan KRIS,” ujarnya.

Kedua, Timboel juga menyoal iuran peserta yang akan menjadi satu tarif. Menurutnya, itu juga berpotensi meningkatkan tunggakan iuran dan menurunkan penerimaan BPJS Kesehatan.

“Kisaran iuran tunggal KRIS bagi peserta mandiri antara iuran kelas 3 dan kelas 2 saat ini. Kemungkinan kisaran Rp70 ribu. Tapi nanti akan dihitung secara aktuaria. Bagi kelas 1 dan 2 akan membayar lebih rendah sehingga menurunkan potensi penerimaan iuran JKN, sementara kelas 3 yang naik akan berpotensi meningkatkan peserta yang menunggak,” ungkapnya.

Kelas tunggal tersebut juga sangat mungkin menyebabkan ketidakpuasan peserta kelas 1 dan 2 yang ruang perawatannya menurun. Sementara rumah sakit swasta akan mengalami kesulitan modal untuk renovasi ruang perawatan sesuai KRIS.

“Kalau RS pemerintah tinggal nunggu alokasi APBN atau APBD. Seharusnya Pemerintah memberikan pinjaman tanpa bunga bagi RS swasta untuk merenovasi ruang perawatannya,” ujar Timboel.

Ia menyayangkan pemerintah tidak melibatkan masyarakat dalam pembuatan regulasi KRIS. Padahal, pihaknya sudah berkali-kali meminta pemerintah mengkaji ulang KRIS dengan melakukan standarisasi ruang perawatan di setiap kelas, bukannya membuat KRIS menjadi standar ruang tunggal.

“Pemerintah tidak pernah melibatkan masyarakat untuk pembahasan Perpres 59/2024, apalagi soal KRIS. Tidak ada uji publik atas pembuatan regulasi KRIS. Seharusnya pemerintah menempatkan masyarakat sebagai subyek yang harus didengar masukannya,” ucapnya.

“Kalau pemerintah bilang untuk meningkatakan kualitas layanan ruang perawatan, saya setuju, dengan adanya 12 kriteria KRIS maka akan ditingkatkan kualitas ruang perawatan. Tapi kalau KRIS dengan satu ruang perawatan, maka akan berdampak negatif,” lanjutnya.

Senada dengan Timboel, peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda juga menyebut penerapan KRIS berisiko membuat rumah sakit kekurangan dana untuk renovasi dan sebagainya. 

“Penyetaraan layanan ini seharusnya bukan karena KRIS, tapi kewajiban dari dahulu. Ada atau tidaknya KRIS, layanan kesehatan untuk BPJS kelas mana pun wajib mendapatkan pelayanan optimal,” ujar Huda saat dihubungi Era.id, Senin (20/5/2024).

Ia mengingatkan agar jangan sampai penerapan KRIS ini justru membebani masyarakat yang ingin rawat inap di rumah sakit. 

“Kedua, yang kita awasi adalah kenaikan iuran yang harus menyesuaikan dengan tingkat availability to pay masyarakat serta tingkat pendapatan. Saat ini dengan biaya kurang lebih Rp1 ribu per hari nampaknya sudah sangat sesuai. Saya harap tidak ada biaya tambahan,” tandasnya.

Rekomendasi