ERA.id - Isu joki skripsi kembali mengudara setelah co-founder What Is Up, Indonesia (WIUI), Abigail Limuria mengunggah video viral seputar normalisasi perjokian di kampus. Ia mengaku kaget karena banyak sekali yang mengandalkan jasa joki skripsi. Ia lebih heran lagi masih banyak orang yang tidak tahu bagaimana problematiknya joki skripsi.
“Joki itu kan lu ngasih service untuk lu ngerjain tugas untuk orang lain, yang di mana orang lain itu akan ngaku itu tuh kerjaan dia,” ujar Abigail lewat akun X @abigailimuriaa, Sabtu (20/7/2024). “Itu kan bohong, penipuan.”
Joki 🫦 pic.twitter.com/BmFRyOHBC9
— Abigail (@abigailimuriaa) July 20, 2024
Video itu ditonton lebih dari tiga juta orang dan menjadi trending topic selama dua hari. Namun, ada saja yang membela mati-matian praktek joki skripsi, terutama mereka yang membuka jasa tersebut. Para joki tidak rela ladang penghasilan mereka dibilang haram. Mereka dengan percaya diri menyebut pekerjaan itu profesional. Bahkan, ada yang menyamakan joki skripsi dengan jasa titip (jastip) souvenir, di mana itu merupakan hal yang wajar.
Joki skripsi bukan barang baru. Pada tahun 2005, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang (Unnes), Nugroho dalam harian Suara Merdeka pernah bilang bahwa bisnis ini menjadi marak karena tiga faktor, yaitu rendahnya kultur akademik, adanya joki skripsi, dan regulasi yang tak jelas. Apalagi setelah banyak perguruan tinggi membuka program kuliah ekstensi.
Memasuki era media sosial, para joki skripsi tak malu-malu lagi menawarkan jasa mereka ke publik. Cukup dengan mengetik kata kunci “joki skripsi” di kolom pencarian, kita akan menemukan seabrek pilihan yang ditawarkan. Dan lebih banyak lagi pilihan yang bertebaran di mesin pencari. Beberapa berkedok bimbingan skripsi online macam situs dosbing.id.
Dari hasil penelusuran Era.id, harga yang ditawarkan beragam, tergantung paket dan topik. Untuk paket pengerjaan lengkap, kisaran harganya mulai dari Rp3 juta-Rp6 juta. Beberapa bahkan menawarkan harga hingga Rp12 juta untuk pengerjaan skripsi yang agak rumit, seperti informatika dan sistem informasi.
Lebih gilanya lagi, ada juga jasa joki skripsi yang sudah berbadan hukum dan terdaftar di Direktorat Jenderal (Ditjen) Administrasi Hukum Umum (AHU), seperti Kijoki di bawah naungan PT Prosperous Kingdom Indonesia. Di halaman website-nya, perusahaan tersebut punya dua divisi, yaitu divisi pengetikan dan divisi food and beverages (FnB). Divisi pengetikan diisi dengan tiga usaha yaitu Kijoki, Tugas Ninja, dan Tugas Pro.
Belum ada riset khusus yang menghitung prevalensi penggunaan jasa joki di kampus-kampus Indonesia. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa hal itu lumrah terjadi di lingkungan akademis kita. Bukan hanya di kalangan mahasiswa, tetapi juga dosen-dosen.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Guru Besar Sistem Informasi di Universitas Indonesia (UI), Prof. Achmad Nizar Hidayanto mengatakan salah satu akar masalahnya ada pada budaya riset di Indonesia yang tergolong rendah. Hal ini diperparah dengan maraknya dosen pembimbing yang lepas tangan terhadap mahasiswa bimbingannya.
“Mahasiswa kan datang ke dosen dengan pikiran yang polos. Saya bilang begitu karena dia orang nggak pernah riset, nggak pernah diajarin kultur riset, tiba-tiba disuruh bikin skripsi,” ujar Nizar kepada Era.id, Senin (22/7/2024).
“Karena masih polos, belum tahu apa itu riset, atau ekspektasinya sebuah skripsi jadi sekian bulan, kadang-kadang kan dia pasti akan panik. Sementara dosennya enggak semua helpful. Ada yang dosennya cuman marah-marah aja, tidak mengarahkan, ya itu yang membuat akhirnya mereka cari jalan lain,” lanjutnya.
Kontribusi dosen pembimbing menyuburkan perjokian
Nizar mengaku belum pernah mendapati mahasiswa bimbingannya memakai jasa joki skripsi. Namun, ia pernah menemukan salah satunya melakukan plagiarisme. Hal itu terjadi ketika ia melepasnya untuk mencari topik dan bahan sendiri tanpa pendampingan rutin.
“Dulu pernah aku ngelepas, ‘Terserah kamu topiknya apa aja.’ Pas dia aku tanya-tanya kok enggak bisa, enggak menguasai. Tiba-tiba setelah sekian bulan ketemu, datang langsung nyerahin sudah jadi. Ternyata pas aku cari-cari dia plagiat punya orang,” cerita Nizar.
Dari situ Nizar menyadari masalah joki skripsi atau plagiarisme bukan datang dari mahasiswa saja. Dosen juga ikut menyemarakkan budaya tersebut dengan mengabaikan perannya sebagai pembimbing.
“Ketika ada mahasiswa datang ke dosen, lalu dosen mengarahkan mencari topik, sebenarnya potensi untuk itu (joki dan plagiat) enggak akan ada. Karena apa? Ya kan dosen sudah tahu apa yang dia mau. Jadi kalau ada yang mau plagiat atau ngejoki kan enggak bisa,” ujar Nizar.
Sayangnya, masih banyak dosen yang kurang serius dan benar membimbing mahasiswanya. Karena usaha yang dibutuhkan untuk itu lumayan besar. Misalnya, untuk memastikan tak ada unsur plagiarisme, tak cukup hanya mengandalkan aplikasi macam Turnitin.
“Ada kalanya kan data itu lokal milik perguruan tinggi yang tidak di-share ke mana-mana. Jadi untuk mencari kan butuh waktu,” ujar Nizar.
Selain itu, ia juga mengungkapkan tidak semua dosen punya kemampuan riset yang baik. Karena mereka juga dibesarkan dalam kultur pendidikan yang minim riset. “Bayangkan kalau dia enggak bisa, gimana mau bimbing mahasiswa? Orang enggak bisa riset disuruh bimbing bisa enggak? Enggak bisa. Nah itu yang terjadi sebenarnya. Jadi kultur riset dosen itu masih rendah,” ungkapnya.
Minimnya kemampuan riset para dosen ini akhirnya membuat mereka sering salah menilai kebutuhan mahasiswa di tiap jenjang. Misalnya, Nizar acap kali menemukan koleganya yang mematok terlalu tinggi standar skripsi mahasiswa S1.
“Kadang-kadang ada anak S1 gitu yang kemudian dijawab seperti anak S3, ditanya di mana kontribusi atau novelty-nya. Itu kan nggak cocok pada S1, karena mereka levelnya bukan untuk mencari kebaruan. S1 itu kan kalau di dalam KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) itu di level 6, hanya menerapkan prosedur. Artinya sekadar hal-hal yang standar, enggak harus punya kontribusi ke tema tertentu,” ujar Nizar.
“Nah itu yang kayak gitu juga antar dosen masih tidak sama persepsinya. Karena kultur risetnya tidak ada, mereka ketika diminta bimbing kan bingung juga nyari topik, akhirnya mau enggak mau ya udah mengandalkan mahasiswa,” lanjutnya.
Akhirnya, untuk memberantas perjokian skripsi, menurut Nizar tidak cukup hanya dengan pelatihan-pelatihan menulis. Namun, harus dimulai dari membangun budaya riset di lingkungan perguruan tinggi. Tanpa itu, dunia akademik Indonesia hanya akan berjalan di tempat dan memproduksi akademisi-akademisi karbitan.
Calon guru besar juga banyak yang pakai joki
Pada Februari 2023 silam, dunia akademik Indonesia geger karena kasus dugaan perjokian di kalangan calon guru besar. Waktu itu, ramai pemberitaan para calon guru besar di Universitas Negeri Padang (UNP) dan Universitas Brawijaya (UB) diduga memakai jasa joki untuk memuluskan jalan mereka menjadi profesor.
Di UNP, disebutkan ada Tim Percepatan Guru Besar yang bertugas mengerjakan riset, analisis data, hingga membuat manuskrip untuk calon-calon guru besar. Sementara di UB, calon guru besar berinisial AW diduga memakai tim yang terdiri dari dosen muda dan mahasiswa untuk menerbitkan artikel di jurnal internasional.
Nizar pun tak menampik maraknya praktek perjokian di kalangan calon guru besar. Biasanya, mereka memakai jasa joki untuk memenuhi persyaratan publikasi di jurnal internasional. Harganya mulai dari Rp40 juta hingga ratusan juta.
“Pertama, kan ada namanya sistem pemeringkatan, IKU (Indikator Kinerja Utama). Itu termasuk jumlah doktor, jumlah guru besar, dan seterusnya. Jadi untuk mencapai itu kan pasti butuh komitmen dari semua stafnya untuk kemudian bisa ngegolin itu bolak-balik,” ujar Nizar.
Sistem pemeringkatan ini yang menurut Nizar menjadi biang kerok maraknya praktek perjokian di kalangan dosen. Sebab, semakin banyak guru besar di suatu perguruan tinggi maka peringkatnya semakin naik, berikut anggaran dan dukungan sumber daya dari pemerintah.
“Nah itu yang pertama. Sistem ranking itu buatku ada baiknya juga buruknya. Karena kemudian ada praktek-praktek yang digunakan orang untuk bisa mengejar kenaikan, banyak melanggar etika,” ungkap Nizar.
Kedua, ia menilai persyaratan menjadi profesor di Indonesia terlalu mudah. Calon guru besar, misalnya, hanya perlu mempublikasikan satu jurnal internasional bereputasi sebagai pengarang pertama (first author). Sementara sisanya bebas menulis di mana saja dan tak harus sebagai first author.
“Buatku itu semua terlalu mudah gitu. Karena untuk hanya publish satu di jurnal internasional bukan perkara yang susah. Jadi karena syaratnya seperti itu, orang akhirnya juga ngejoki gampang,” ujar Nizar.
“Kalau cuma satu kan gampang. Ya sudahlah misalkan dia harus keluar Rp40 juta, nanti dapat tunjangan guru besar tertutupi. Guru besar kan kira-kira dapat tambahan dua kali gaji pokok. Itu ya paling dalam waktu 4-5 bulan sudah selesai, sudah tertutup kok sebenarnya,” lanjutnya.