Deretan Kasus Viral Berujung Plot Twist: dari Audrey hingga Sekuriti Pukul Anjing

| 11 Jun 2024 19:30
Deretan Kasus Viral Berujung Plot Twist: dari Audrey hingga Sekuriti Pukul Anjing
Ilustrasi. (Era.id/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Baru-baru ini media sosial sempat dihebohkan aksi "brutal" seorang sekuriti memukuli anjing penjaga di Plaza Indonesia, Jakarta. Dalam potongan video yang beredar, terlihat sang sekuriti sedang memukul anjing menggunakan tali yang terikat di lehernya berulang kali.

"Di publik umum aja berani loh dia gebukin anjing ??? Gimana saat mereka hanya berdua ??? Mental si anjing udah kayak gimana sekarang ?? Ekor sampe melingker turun gitu??? Itu anjingnya udah ketakutan!!" demikian narasi akun X @moonchildfams yang dilihat Kamis (6/6/2024).

Kabar itu dengan cepat meluas hingga sampai ke kuping selebriti tanah air, Robby Purba. Ia murka dan memberi ultimatum kepada manajemen Plaza Indonesia.

"Sumpah, aku sakit hati banget ngelihat ini. Tolong management @plazaindonesia ditelusuri. Terima kasih," tulis sang aktor. "Saya gak akan take down video ini sampai ada penjelasan dan kelanjutan action secara terbuka kepada masyarakat yang diambil, following this disturbing scene."

Pihak Plaza Indonesia segera mengambil sikap dengan memecat sekuriti tadi. Mereka juga memutus kontrak dengan vendor keamanan. 

Manajemen mal menjelaskan anjing yang dipukuli itu bernama Fay dan berjenis Belgion Malinois. Fay berusia dua tahun dan menjadi bagian dari Plaza Indonesia sejak Januari 2024.

Tak lama kemudian, muncul video klarifikasi dari sekuriti mal, Nasarius yang memukul Fay. Sambil menangis ia menjelaskan jika dirinya memukul anjing penjaga itu karena Fay ingin memakan anak kucing.

"Saya pukul dia karena terpaksa, supaya dia berhenti terkam anak, anak kucing. Saya sayang dia (Fay), dia anjing saya," kata Nasarius dilihat di akun X @Heraloebss.

Video rekaman CCTV yang menunjukkan Fay menerkam anak kucing juga ditampilkan. Saat itu ada anak kucing yang mendekat ke anjing penjaga itu.

Tiba-tiba, Fay menoleh ke arah anak kucing tersebut dan menggigitnya. Nasarius yang sedang berjaga dengan menuntun Fay langsung mengambil tindakan dengan memukul anjing tersebut.

Setelah dipukul, Fay melepaskan gigitannya ke anak kucing tersebut. Hewan itu terkapar. Sekuriti lalu menarik tali tuntun agar Fay menjauh dari anak kucing tersebut.

Kebenaran terungkap, tetapi nasi sudah jadi bubur. Nasarius kehilangan pekerjaan, dan orang-orang yang sempat mengutuki sekuriti itu berbalik iba. Termasuk Robby Purba.

Infografis. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

Kasus yang berawal dari berita viral di media sosial dan berujung plot twist bukan sekali ini terjadi. Dan itu adalah salah satu bahaya jurnalisme warga tanpa campur tangan ahli yang pernah disampaikan profesor komunikasi digital dari Universitas Sydney, Terry Flew.  

Dalam bukunya New Media: An Introduction (2008) yang membahas soal perkembangan media baru dan dampaknya pada budaya, masyarakat, dan komunikasi, ia menjelaskan bahwa pada era internet, masyarakat dapat mendistribusikan informasi yang memiliki nilai berita lebih cepat ketimbang seorang jurnalis sekalipun.

Hal tersebut menyuburkan praktek jurnalisme warga yang, selain punya dampak positif, juga menyimpan beberapa sisi negatif. Pertama, ketidakakuratan dan informasi yang tak berimbang, sebab masyarakat non-profesional tidak menulis berita berdasarkan kode etik jurnalistik dan rentan menyebarkan informasi yang kurang valid dan akurat.

Kedua, kurangnya profesionalitas dan etika jurnalisme. Ketiga, kurangnya tanggung jawab terhadap berita yang disebar. Dan terakhir, tersebar luasnya pandangan yang bias dan sempit. 

Berikut ini beberapa kasus yang berawal dari heboh-heboh di media sosial, tetapi ujung-ujungnya berbanding terbalik dengan yang diberitakan pertama kali, mulai dari kasus penganiayaan Audrey hingga kasus inses di Bukittinggi.

Justice for Audrey

Nama Audrey sempat populer pada tahun 2019. Waktu itu ia masih pelajar SMP berusia 14 tahun di Pontianak, Kalimantan Barat. Tagar #JusticeforAudrey lalu viral di media sosial setelah ceritanya dikeroyok 12 siswi SMA tersebar massal. 

Kasus ini bermula dari laporan Audrey yang mengaku dianiaya para pelaku. Diduga penyebabnya karena masalah pria dan saling sindir di media sosial. Pelaku pun mengajak Audrey bertemu untuk menyelesaikan masalah mereka di tepi Sungai Kapuas.

Pihak keluarga Audrey pun menyebut anaknya mendapat perlakuan keji dari para pelaku berjumlah 12 orang. Narasi yang beredar menceritakan bagaimana para pelaku menyiram muka Audrey dengan air; menjambak rambutnya hingga ia tersungkur; menginjak perutnya; dan membenturkan kepalanya ke aspal. Alat vitalnya juga ditekan-tekan dengan jari oleh seorang pelaku.

Sang ibu mengungkapkan putrinya trauma dan depresi berat setelah kejadian itu. Kasus itu pun menjadi trending topic di media sosial.

Poster bergambarkan seorang anak perempuan muda berambut gelombang dengan raut sedih ditunjuk belasan jari ramai-ramai diunggah di media sosial dengan tagar #JusticeforAudrey. Tiga juta orang meneken petisi online agar kasus itu diusut tuntas Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. Artis-artis ibu kota memberi dukungan kepada Audrey, mulai dari Reza Arap hingga Atta Halilintar.

Terduga pelaku pun akhirnya ditangkap. Tak lupa media sosial mereka juga jadi bahan bulan-bulanan warganet.

Poster #JusticeForAudrey yang sempat ramai di Twitter pada 2019. (Istimewa)

Setelah ramai-ramai di media sosial, hasil visum Audrey dari RS Bhayangkara keluar pada 10 April 2019 yang bertolak belakang dengan narasi yang beredar sebelumnya. Audrey dinyatakan trauma psikis, tetapi kondisi fisiknya sehat. Tak ada tanda-tanda pengeroyokan atau trauma di kepala maupun alat vitalnya.

Kesaksian yang diungkap Audrey dianggap tak selaras dengan apa hasil pemeriksaan. Akhirnya, kasus tersebut terus diusut kepolisian dan disidangkan di pengadilan. Pengadilan Negeri (PN) Pontianak lalu memutuskan hukuman tiga bulan pelayanan masyarakat untuk ketiga pelaku sesuai tuntutan jaksa pada Selasa (3/9/2019).

Ibu Audrey mengaku menerima keputusan itu dan menegaskan kasus yang menimpa anaknya bukan hoaks.

Rusdi, korban bohong Tragedi Kanjuruhan

Seorang pemuda asal Probolinggo bernama Rusdi sempat viral karena diduga menginap berhari-hari di Stadion Kanjuruhan usai tragedi berdarah tahun lalu. Ia mengaku menonton laga Arema vs Persebaya pada Sabtu (1/10/2022) bersama ketiga temannya yang meninggal akibat kerusuhan pasca pertandingan. Ia pun enggan pulang ke rumahnya karena trauma.

Setelah pengakuan Rusdi menyebar di media sosial, banyak Aremania yang memberikan pertolongan hingga akhirnya Rusdi dievakuasi ke Pesantren Rejo Darul Musthofa, Gondanglegi, Kabupaten Malang.

M. Rusdi tidur di bangku taman Stadion Kanjuruhan. (istimewa)

Kisahnya menarik simpati banyak orang, termasuk pemain dan pelatih Arema. Kuncoro, salah satu asisten pelatih Arema, lalu mendatangi Rusdi bersama beberapa pemain seperti Johan Ahmat Farisi dan Jayus Hariono. Rusdi mendapatkan banyak hadiah dan sumbangan uang dari mereka.

“Ke depan, insyaAllah, kami akan terus bantu, enggak hari ini saja. Ia juga merupakan bagian keluarga kita,” ucap Kuncoro kepada awak media. “Ia bisa dibilang anak angkat. Ia kan enggak punya siapa-siapa. Sama-sama kita bantu.”

Selang beberapa hari, kebenaran terungkap. Ternyata kisah Rusdi hanya karangan belaka. Hal ini disampaikan oleh pendamping dari Pesantren Rejo Darul Musthofa, Fakih.

“Kami dapat informasi pertama dari Probolinggo, kemarin memang ada klarifikasi bahwa yang bersangkutan sering hilang dan bepergian kemana-mana. Tapi tujuan kami hanya menampung orang yang trauma,” ujar Fakih.

“Setelah ada kabar dari pihak Probolinggo bahwa Rusdi itu tipu-tipu, kita sudah serahkan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Lawang. Jadi teman-teman Aremania menjemput ke sini, dan membawanya ke RSJ Lawang,” tambahnya.

Koordinator Aremania Probolinggo Torik Nursatrio lalu memberikan keterangan kepada media di Jawa Timur bahwa Rusdi kabur dari rumahnya. “Dia tidak pulang karena sebelumnya mencuri handphone, kotak amal, ayam, burung. Di desanya, orang ini sikapnya kurang bagus. Jadi dia ke Malang untuk memanfaatkan momen saja.”

Plot twist pelecehan di toilet mal

Bulan Mei lalu, video seorang pria mengaku nyaris menjadi korban pelecehan seksual oleh pria asing di toilet Summarecon Mall Serpong (SMS), Tangerang Selatan, meledak di media sosial.

Dari video dan narasi yang dilihat di akun TikTok @Nicholasthunggal, kejadian itu terjadi pada Minggu (30/4/2023). Awalnya, pemilik akun bercerita bahwa temannya masuk ke toilet untuk buang air kecil. Ketika berdiri di urinoir, seorang pria masuk dan berdiri di samping temannya, lalu mencoba memegang kelaminnya.

“Pas ditanya mau ngapain, orang ini jawab 'tadi saya kira mau dibantuin keluar'," demikian narasi dalam video yang viral tadi.

Setelah itu, pria yang diduga melakukan pelecehan seksual itu dimarahi temannya di luar toilet. Ia lalu pergi meninggalkan mereka dengan wajah yang terekam jelas di video. Tak butuh waktu lama sebelum terduga pelaku menjadi bulan-bulanan warganet. Fotonya disebar ke mana-mana dan informasi pribadinya dicari-cari.

Selang beberapa hari, pria yang dituduh sebagai pelaku mengunggah video klarifikasi di media sosial. Ia lalu menceritakan kronologi kejadian versinya yang jauh berbeda dengan narasi yang viral sebelumnya.

Pada hari itu, pria tadi sedang membeli roti lalu mampir ke toilet di lantai ground sebelum pulang. "Karena keadaannya ramai, akhirnya saya pergi ke toilet di lantai 1," lanjutnya.

Menurutnya, saat itu kondisi toilet di lantai 1 sedang sepi dan ia memilih buang air kecil di urinoir pojok kiri. Beberapa saat kemudian masuk seorang pria dan berdiri di urinoir sebelahnya dan menunjukkan alat vitalnya. "Namun, saya abaikan, tetapi orang ini tetap menghadap ke saya memperlihatkan alat vitalnya," lanjutnya.

Karena menganggap kejadian itu aneh, pria itu lantas segera beranjak meninggalkan toilet. "Saya berniat menepuk pundak dia untuk berpamitan," lanjutnya. Namun, tiba-tiba ia diteriaki seakan-akan ingin melakukan pelecehan hingga di luar toilet.

"Saya mengatakan lebih baik untuk pergi ke pos satpam atau ke kantor polisi, jangan tinggal teriak-teriak doang. Namun, dia menolak dan tidak mau, akhirnya saya disuruh pulang, dengan kata-kata: Besok lu bakalan viral di TikTok," cerita terduga pelaku.

Akibat video yang viral tersebut, terduga pelaku mengaku dipecat dari kantornya dan namanya sudah tercemar. "Demi memulihkan nama baik saya dari fitnah, saya siap melanjutkan ke proses hukum sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku," tandasnya.

Kasus ini lalu menguap begitu saja, sementara video yang viral tadi dihapus dari akun yang pertama kali menyebarkannya.

Kasus inses Bukittinggi

Juni tahun lalu, warganet dihebohkan dengan berita hubungan seksual sedarah atau inses di Bukittinggi, Sumatera Barat, antara ibu dan anak kandungnya yang dikabarkan berlangsung selama belasan tahun. Berita mengejutkan itu awalnya disampaikan oleh Wali Kota Bukittinggi Erman Safar saat acara sosialisasi pencegahan pernikahan anak di rumah dinasnya.

“Anak kita, dari usia SMA. Dia dari SMA sampai usia 28 tahun berhubungan badan dengan ibu kandungnya. Dia sekarang sedang kami karantina, warga kita. Percaya? Itulah dunia, sudah tua. Kami sudah karantina,” ucapnya, Jumat (23/6/2023).

Sang anak berusia 28 tahun, ibunya 51 tahun, dan ayahnya 83 tahun. Mereka tinggal serumah dan tergolong keluarga yang relijius menurut Erman. Ibunya berkerudung besar dan adiknya penghafal Al-Qur’an.

Media sosial gempar. Berita tersebut segera menyebar dalam hitungan hari dengan berbagai keterangan bombastis. Salah satunya akun @unikinfoid yang sempat membagikan poster berjudul “Ada Ibu dan Anak Telah Bersetubuh di Bukittinggi Selama 11 Tahun, Anaknya Hafidz”. 

Belakangan, informasi terkait hubungan inses tersebut banyak diragukan. Pihak keluarga tertuduh membantah pernyataan Erman dan melaporkannya atas dasar pencemaran nama baik. 

“Kami terima dua pengaduan, laporan dari pihak keluarga yang tidak menerima disebut terlibat kasus inses antara anak inisial MA dengan ibunya, dilaporkan langsung oleh ibunya Elva Yulinda melalui kuasa hukumnya," kata Kasatreskim Polresta Bukittinggi, AKP Fetrizal, seperti dikutip dari Antara, Senin (26/6/2023). Sementara laporan kedua berasal dari masyarakat adat setempat.

Sang ibu mengungkapkan bahwa anaknya tidak waras dan sering berkhayal. “Saya keberatan dengan pernyataan Wali Kota yang sudah kami laporkan, ini merusak pribadi, pencemaran nama baik, agama, keluarga kami, dan ekonomi kami,” ujarnya. Ia juga menyayangkan sikap wali kota yang asal membeberkan informasi tanpa mengonfirmasi kebenarannya ke pihak keluarga.

Polisi juga menemukan kejanggalan saat memeriksa anak tadi karena kerap berhalusinasi dan keterangannya berubah-ubah. Ia juga mengaku berada di bawah pengaruh zat adiktif dan diduga kuat mengalami gangguan kejiwaan. 

“Jadi belum bisa dipertanggungjawabkan kebenaran dari ungkapan MA ini, sementara pihak keluarga juga dengan tegas membantah,” ucap AKP Fetrizal. 

Sebelum laporan terbaru rilis, warganet sudah ramai-ramai menghujat keluarga tersebut. Ada yang bilang mereka orang-orang munafik agamis, tidak punya otak, hingga menuduh sang ibu tak merasa puas dengan suaminya dan mencari pelampiasan. 

Kiat-kiat menghadapi berbagai informasi di media sosial

Menghadapi banyaknya serbuan informasi dan berita di media sosial kini, bertahun-tahun lalu Terry Flew dalam bukunya New Media: An Introduction memaparkan bagaimana kita sebagai pembaca harusnya bersikap.

Pertama-tama, ia menekankan pentingnya keterampilan literasi media, yaitu kecakapan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan memahami informasi yang ada di internet melalui verifikasi dan pemahaman konteks berita.

Lalu, pembaca juga harusnya tidak mengandalkan satu sumber informasi, tetapi mengomparasikannya dengan sumber-sumber lain yang punya beragam sudut pandang untuk mendapatkan gambaran yang utuh terhadap suatu berita.

Selain itu, pembaca harus terbiasa memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya, diawali dengan memeriksa kredibilitas informan, sehingga pembaca akan lebih merasa bertanggung jawab sebelum berbagi informasi di internet karena mengetahui dampak yang akan ditimbulkan. 

Kita juga harus menyadari adanya algoritma internet yang menyaring informasi berdasarkan preferensi individu. Hal ini akan membatasi kita untuk menerima informasi dari berbagai perspektif yang berbeda-beda. Dengan begitu, individu yang menyadari hal ini diharapkan akan aktif mencari tahu kemungkinan-kemungkinan informasi yang terlewat dari radarnya.

Terakhir, regulasi dan sosialisasi literasi digital kepada masyarakat. Menurut Flew, baik pemerintah, media, maupun pengguna internet perlu bekerja sama mengembangkan kerangka regulasi yang mempromosikan transparansi dan integritas dalam penyediaan informasi.

Rekomendasi