Cerita Kaoem Depok, Keturunan Bekas Budak yang Dituduh Kaki Tangan Belanda

| 22 May 2024 19:25
Cerita Kaoem Depok, Keturunan Bekas Budak yang Dituduh Kaki Tangan Belanda
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Apa yang kamu ingat jika mendengar kata Depok hari ini? Kehebohan babi ngepet? Nyanyian sumbang Wali Kota Depok yang diperdendangkan di lampu merah untuk menghibur warga? Atau kasus pertama Covid-19 tercatat di Indonesia? Depok memang punya segudang cerita untuk diwariskan. Salah satunya berasal dari zaman kompeni, dan masih bisa kita saksikan hingga hari ini: Belanda Depok dan 12 marga Kristiani.

Kisah ini bermula empat abad silam, ketika seorang tuan tanah Belanda membeli tanah di sekitar Batavia dan Buitenzorg (kini Bogor) yang kelak dikenal sebagai Depok. Namanya Cornelis Chastelein, seorang Protestan taat yang memegang teguh semboyan er is geen leven zonder liefde ‘tiada kehidupan tanpa kasih sayang’. 

Ia pun membawa ratusan budak pribumi dari penjuru Tanah Air untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan miliknya di Depok. Kebanyakan berasal dari Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Makassar, hingga Maluku. 

“Pada waktu itu Depok satu desa yang sangat sejuk, asri,” cerita Boy Loen kepada Era.id, Rabu (15/5/2024). Ia salah seorang keturunan budak yang dimerdekakan Chastelein dan kini menjabat sebagai Ketua Bidang Sejarah Kepengurusan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC).

Leluhur Chastelein adalah orang Prancis. Namun, sang ayah terpaksa hijrah ke Belanda setelah pecah konflik antara kaum Katolik dan Protestan di kampungnya. Pada usia 17 tahun, Chastelein muda mulai meniti hidup di Hindia dan membangun karier di VOC.  

Ia sanggup membeli tanah di Depok berkat posisinya di VOC kala itu. Mulanya ia digaji 65 gulden sebagai Opperkoopman atau Saudagar Utama VOC. Ketika menjabat anggota dewan, gajinya tembus hingga 350 gulden.

Menurut salah satu keturunan budak Chastelein yang menulis buku Depok Tempo Doeloe, Yano Jonathans, sang saudagar mulai membeli tanah pada 1693 untuk perkebunan tebu di Weltevreden yang kini meliputi kawasan Gambir, Pejambon, hingga Pasar Senen. Perlahan-lahan Chastelein mulai memperluas pengaruhnya dan menguasai tanah yang membentang sepanjang Sungai Ciliwung-Pesanggrahan. 

“Ketika pindah ke Depok, selain keluarganya, dia membawa 200-an budak. Chastelein dengan para budaknya ini bukan kayak hubungan antara majikan dan budak,” cerita pegiat sejarah Mazzini kepada Era.id, Kamis (16/5/2024).

“Jadi Chastelein ini memperlakukan budak-budaknya kayak bapak angkat dengan anak angkat. Chastelein ini membawa misi yang lumayan maju waktu itu. Jadi, ketika nanti dia wafat, budaknya itu bisa dibebaskan,” lanjutnya.

Beberapa bulan sebelum kematiannya, Chastelein menulis wasiat bagi keluarga dan para budaknya. Terjemahan surat wasiat itu, disadur dari buku Depok Tempo Doeloe, kira-kira sebagai berikut: 

“Aku memerdekakan semua budak-budakku, Kristen laki-laki dan perempuan beserta anak-anak dan cucu-cucunya yang sekarang sudah ada dan juga yang nanti diperanakkan. Orang-orang Kristen itu, kurang lebih sekarang ada 150.”

Setelah Chastelein wafat pada 1714, pemuka agama di Depok membentuk 12 marga: Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel, dan Zadokh. 

Mereka diwariskan tiga persil tanah mencakup Depok, Mampang, dan Karanganyar (kini Cinere) dan dua persil lain. Sesuai wasiat Chastelein yang mengatakan seluruh tanah senilai 700 ringgit saat itu “akan dipunyai dan dipakai oleh budak-budakku merdeka yang tersebut di atas beserta dengan keturunannya sampai selama-lamanya”.

Namun, ia juga berpesan agar tanah-tanah itu tidak dijual atau dipindahkan haknya ke orang lain, sembari mewanti-wanti para mardjikers (bekas budak) agar tanah warisannya jangan dipakai berjudi, madat, dan berbuat cabul. 

Kelak, para keturunan mardjikers tersebut sering dipanggil sebagai Belanda Depok. Meskipun, menurut Mazzini, penyebutan tadi sebetulnya kurang tepat. “Sebutan yang benar itu sebenarnya Kaoem Depok,” ujarnya. 

Lalu, dari mana asal panggilan Belanda Depok? Boy Loen menceritakan itu mulanya adalah olok-olok dari warga luar Depok karena mereka kerap berbahasa Belanda saat ngobrol dalam perjalanan pulang-pergi kerja ke Batavia. 

“Penumpang di kereta kelas 3 itu, mereka yang berbicara bahasa Sunda, sampai di Depok, kalau kereta mau masuk Depok, mereka mengucapkan, ‘Kita sudah sampai di Amsterdam, Belanda Depok naik.’,” cerita Boy.

Boy Loen: Kami pribumi asli yang fasih bahasa Belanda

Boy Loen menunjuk kulit dan matanya saat kami bertanya seputar Belanda Depok. Ia mengatakan mereka tak ada bedanya dengan pribumi lain. Berkulit sawo matang, bola mata hitam. Jauh dari kesan bule atau blasteran yang mungkin bersarang di benak banyak orang saat mendengar kata Belanda Depok.

“Memang ada yang kawin campur. Itu terjadi karena pada waktu itu Depok satu desa yang sangat sejuk, asri. Orang-orang Belanda banyak kemudian yang bangun vila… lalu ya peristiwa tersebut mengakibatkan terjadinya kawin campur,” tuturnya.

Ada juga keturunan bekas budak Chastelein yang bekerja di Batavia dan berjodoh dengan orang Belanda. 

“Misalnya dari pihak keluarga saya itu ketika sekitar tahun 1948, ada kira-kira 23 kepala keluarga yang masih kerabat saya itu yang pergi ke Holland. Karena ada yang istrinya Belanda, ada yang suaminya Belanda,” ungkap Boy. 

“Makanya kami sampai sekarang memang punya hubungan yang dekat dengan saudara-saudara kami di Belanda,” lanjutnya.

Menurut Boy, yang membedakan Kaoem Depok dengan kebanyakan warga pribumi lain hanya kefasihan dalam bahasa Belanda dan 12 marga yang mereka warisi.

Kakak-kakak Boy belajar bahasa Belanda di sekolah sebagai pengantar. Sementara Boy dan adik-adiknya, meski tak mempelajarinya di sekolah, tetap mahir berbahasa Belanda karena di rumah mereka aktif menggunakan dua bahasa. 

“Kita menggunakan dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Jadi kami anak-anak yang tidak bersekolah di sekolah Belanda, karena waktu saya sekolah kan saya sekolah rakyat awalnya. Kita paham bahasa Belanda karena percakapan di rumah,” cerita Boy.

Dan sebagai keturunan bekas budak Chastelein yang mendapat tanah warisan, Boy juga dibesarkan dengan etiket Protestan. Semisal di rumahnya, waktu makan takkan dimulai jika anggota keluarga belum lengkap berkumpul di meja makan.

“Biasanya di paling ujung meja itu kepala keluarga, ayah. Kemudian sebelahnya ada ibu. Kemudian berturut-turut anak-anak yang tertua terus sampai yang paling muda. Kemudian kita tidak akan datang ke meja makan sebelum meja makan itu ditata,” ujar Boy.

Dalam bahasa Belanda, penataan meja makan disebut tafel dekken. Masing-masing anggota keluarga mendapat jadwal untuk menata meja makan baik pada pagi, siang, maupun malam hari. 

“Selesai makan, biasanya ayah atau ibu, papa atau mama itu menanyakan keadaan kita hari ini. Bagaimana apa yang kamu lakukan di sekolah. Seperti itu,” ujar Boy. “Kemudian kalau pagi hari, sarapan akan diawali dengan pembacaan kitab. Ayah yang membaca itu, beberapa ayat.”

Meski bersyukur lahir sebagai Kaoem Depok dan dibesarkan dalam budaya Protestan, Boy tak memungkiri keturunan bekas budak Chastelein pernah merasakan diskriminasi karena dianggap berbeda dan eksklusif. Puncaknya, saat peristiwa berdarah Gedoran Depok yang ikut menimpa kedua orang tua dan kakak-kakaknya.

Gedoran Depok: Sejarah kelam penjarahan Kaoem Depok

Pegiat sejarah Mazzini menceritakan Kaoem Depok pernah menelan pil pahit semasa kemerdekaan. Diawali sentimen orang-orang terhadap segala hal berbau kolonialisme, termasuk Kaoem Depok yang biasa dipanggil Belanda Depok. Ditambah fakta bahwa tanah mereka sempat dijadikan basis militer tentara Inggris dan Belanda.

“Beberapa tentara ataupun laskar-laskar pemuda melakukan serangan ke Depok dengan alasan mengambil alih wilayah partikulir yang pernah dibentuk oleh Cornelis Chastelein waktu itu,” ujar Mazzini. 

“Karena waktu itu kan gini mindset-nya, kita baru lepas dari penjajahan Belanda. Jadi, segala sesuatu yang berbau dengan kolonialisme akan ditumpas habis, termasuk suku-suku atau orang-orang yang identik dengan penjajahan Belanda, atau pernah makmur, atau diuntungkan di zaman pemerintahan Belanda,” lanjutnya.

Boy bercerita pada waktu itu Kaoem Depok memang relatif hidup lebih makmur ketimbang yang lain. Fasilitas di desa lebih lengkap, listrik sudah masuk, termasuk saluran telepon.

“Sementara kalau malam hari di sekitar kami gelap, tapi Depok ini terang. Kami memiliki anggaran listrik, dan terus terang, memang pada waktu itu kehidupan kami lebih sejahtera daripada di sekitar kami. Nah itu ada social gap,” ujar Boy.

“Kemudian itulah yang menyebabkan terjadi peristiwa itu. Karena kami Kaoem Depok banyak bekerja di Batavia. Itu sebabnya timbul stigma bahwa kita itu kaki tangan Belanda,” lanjutnya.

Pada Oktober 1945, Boy berkisah mamanya sempat menulis surat kepada kakaknya yang sudah ada di Belanda.

“Oleh sepupu saya di Belanda itu diberikan kepada saya. Dia bilang, ‘Boy, saya kasih kamu hadiah ini, tapi kamu jangan baca waktu kamu di sini liburan. Kamu bacanya kalau sudah pulang ke Depok.’,” kenang Boy.

Sepulangnya ke Depok, ia membaca surat sang mama yang menceritakan betapa mencekamnya peristiwa Gedoran Depok saat itu. Suatu malam di bulan Oktober 1945, suasana terasa hening seperti keheningan sebelum badai. Menjelang tengah malam, tiba-tiba ada teriakan “Bersiap! Serbu!”

Seruan dari luar itu mendobrak masuk hingga sudut-sudut kamar. Orang-orang asing lalu menggedor pintu rumah mereka dan menyerbu masuk dengan senjata tajam di tangan. Merasa ancaman kian dekat, kedua orang tua Boy beserta tiga kakak tertuanya lantas kabur dari pintu belakang dan bersembunyi di lembah.

“Tadi saya katakan mereka punya halaman luas ya. Mereka sembunyi, lari sampai ke tempat yang tidak terjangkau oleh mereka yang melakukan gedoran itu,” Boy bercerita. “Jadi kebetulan di dekat rumah saya ada lembah. Lembah itu ada sawah, ada air, ada mata air. Mereka sembunyi di situ. Nah mereka akan kembali ke rumah ketika menjelang magrib.”

Sang mama nekat pulang hanya untuk memasak dan membawanya ke tempat persembunyian. Semuanya harus selesai sebelum subuh. Karena begitu terbit fajar, rumah mereka akan mulai digedor lagi.

“Paginya ya digedor, dirampok lah. Mereka mencari harta benda, apa yang dimiliki. Bahkan dulu kita punya kasur itu dirobek. Mereka mencari ada apa yang sembunyikan. Karena kan zaman dulu orang bilang ada yang simpan uang di bawah bantal gitu,” ujar Boy. “Pada waktu itu, di Depok itu kapuk bertebaran. Makanya peristiwa itu juga disebut Peristiwa Kapuk.” 

Setelah beberapa hari bersembunyi, keluarga Boy tertangkap juga dan digiring ke sebuah rumah. Para wanita dan anak-anak dikumpulkan jadi satu. Sementara para lelaki digelandang ke Stasiun Depok Lama dengan pakaian dilucuti. Mereka dinaikkan ke kereta binatang dan dibawa menuju Stasiun Bogor.

“Kemudian mereka digelandang, dipecut, dimasukin ke Penjara Paledang di Bogor. Mama saya cerita di sini, lima hari mereka ditahan tidak dikasih makan, tidak dikasih minum,” ungkap Boy.

Walhasil, para tahanan wanita terpaksa menyimpan air kencing mereka dan membiarkannya mengendap hingga bagian atasnya dipakai minum. 

Pada hari kelima ketika mereka siap-siap mau dibakar hidup-hidup, seorang wartawan perang dari BBC London, Fabricius mengontak tentara sekutu yang dalam perjalanan dari Batavia menuju Bogor.

Ia berpesan, “Kamu jangan langsung ke Bogor, tapi mampir ke Depok. Masuk dari Simpangan Depok, karena di sini ada wanita dan anak wartawan akan dibakar hidup-hidup.”

Pasukan sekutu masuk ke tempat penahanan di Depok tepat ketika api ingin disulut. 

“Mereka tiba dan mereka menembak. Laskar pemuda itu mereka melarikan diri, dikejar. Sampai ya tentu terjadi peristiwa tembak-menembak,” ujar Boy.

Para tahanan wanita dan anak-anak lantas diungsikan ke Kota Paris Bogor dan Kedung Halang Bogor. Baru pada tahun 1947 mama Boy dan ketiga kakaknya bisa dipertemukan dengan sang papa. Setahun setelahnya, mereka baru berangsur-angsur pulang ke Depok, ke tanah warisan Chastelein yang digarap leluhur mereka berabad-abad silam.

Rekomendasi