Pantaskah Pembantaian Buaya di Sorong Disebut Konflik?

| 16 Jul 2018 06:30
Pantaskah Pembantaian Buaya di Sorong Disebut Konflik?
Seorang pria dengan gagahnya berdiri di antara ratusan buaya yang dibantai (Sumber: Facebook/Saputra Arif)
Sorong, era.id - Kematian Sugito, transmigran asal Pulau Jawa yang tewas oleh serangan buaya di penangkaran buaya SP Satu, Sorong, Papua Barat berbuntut panjang. Satu hari pascakematian Sugito, warga melampiaskan kemarahan dan membantai 292 buaya yang berada di dalam penangkaran.

Sulit menempatkan diri dalam situasi ini. Di satu sisi, kematian Sugito jelas merupakan duka mendalam bagi keluarga dan kerabatnya. Tapi, tepatkah kemarahan itu dilampiaskan kepada buaya-buaya di dalam penangkaran SP Satu?

Yanu, seorang warga sekitar yang turut dalam aksi pembantaian mengatakan kepada Antara, aksi itu dilakukan bukan hanya untuk melampiaskan kemarahan kepada pengelola penangkaran yang mereka nilai lalai menjaga kawasan penangkaran hingga Sugito tewas, tapi juga untuk mencegah hal serupa terjadi di kemudian hari.

"Karena kesal terhadap pihak penangkaran yang tidak memperhatikan buaya hingga menelan korban jiwa, serta pemiliknya dikabarkan melarikan diri, sehingga warga langsung spontan mendatangi lokasi penangkaran guna membunuh ratusan buaya tersebut," ujar Yanu.

Soal itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagaimana ditulis Detik telah mengonfirmasi, enggak ada kesalahan yang dilakukan pihak pengelola penangkaran. Saat peristiwa terjadi, Sugito sendiri lah yang dikabarkan memasuki kawasan penangkaran tanpa izin.

Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno menyebut kabar tersebut ia terima langsung dari Kepala BKSDA Papua Barat, Basar Manullang. "Menurut pengakuan salah satu pegawai CV MLA, korban masuk tanpa izin. Di sekitar dan di dalam kolam tumbuh rumput dan kangkung," terang Wiratno.

Izin penangkaran

Selain pengelola yang dianggap lalai menjaga kawasan penangkaran, warga SP Satu juga mempertanyakan izin pendirian penangkaran tersebut. Mereka menilai, penangkaran enggak selayaknya ditempatkan di wilayah mereka lantaran banyaknya warga yang tinggal di sekitar penangkaran yang menggantungkan hidup mereka pada hewan ternak.

Buat mereka, keberadaan buaya di sekitar jelas mengancam, bukan hanya keselamatan mereka, tapi juga keberadaan hewan ternak yang mereka miliki. "Harusnya hewan seperti ini dipelihara di tempat yang jauh dari warga seperti ini. Apalagi, di sini kan banyak warga yang bertani dan beternak," tutur Yanu.

Terkait itu, Wiratno menjelaskan, CV MLA sebagai pengelola penangkaran telah mendapat izin pengelolaan penangkaran buaya dari pemerintah. Wiratno bahkan bilang, seluruh buaya yang dipelihara di penangkaran tersebut merupakan satwa liar yang status hukumnya merupakan milik pemerintah. Karenanya, anggapan bahwa penangkaran ini dikelola secara ilegal jelas terbantahkan.

"Itu yang punya izin penangkaran buaya. Buayanya semuanya status hukumnya milik pemerintah ... Status hukum satwa liar itu milik pemerintah. Pihak perusahaan itu dapat izin dari pemerintah, dalam hal ini izin penangkaran pembesaran buaya," tutur Wiratno.

Konflik manusia dan satwa

Tragedi pembantaian ratusan buaya ini kembali membuka mata kita soal konflik antara manusia dan satwa. Tapi, apa pantas menyebut pembantaian ratusan buaya di dalam penangkaran sebagai konflik? Ada baiknya kita samakan persepsi dulu.

Jika merujuk penjelasan World Wide Fund for Nature (WWF), jelas kita enggak bisa asal menyebut seluruh persinggungan antara manusia dan satwa sebagai konflik. Sebab, konflik manusia dan satwa ini memiliki dimensi yang amat luas. Seenggaknya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam persinggungan antara manusia dan satwa. Jika hal-hal ini terpenuhi, bolehlah kita sebut persinggungan tersebut sebagai konflik.

Hal pertama adalah dimensi latar belakang. Begini, ketika kita melihat seekor satwa liar di sebuah wilayah permukiman warga, penting buat kita untuk melihat penyebab kemunculan satwa liar itu. Sebab, yang paling sering terjadi, turunnya satwa ke wilayah permukiman seringkali disebabkan oleh rusaknya habitat satwa liar tersebut yang biasanya disebabkan oleh ulah manusia sendiri.

Ketika hal itu terjadi (turunnya satwa liar yang kehilangan habitat alami), maka bolehlah kita menyebut persinggungan itu sebagai konflik. Dan jangan kaget jika kamu yang tinggal di dekat wilayah hutan tiba-tiba menemukan seekor harimau sedang memakan ayam peliharaanmu di kandang, atau seekor gajah yang menjelajahi perkebunan dan enggak sengaja merusak ladang di tengah usahanya mencari makan.

Nah, hal kedua yang penting untuk diperhatikan dalam persinggungan antara manusia dan satwa adalah dampak yang ditimbulkan. Sebuah konflik biasanya menimbulkan kerugian, baik secara material atau pun mental, atau bahkan kerugian nyawa.

Kehadiran seekor gajah di wilayah perkebunan misalnya yang biasanya mengakibatkan rusaknya komoditas perkebunan tadi. Atau ketika harimau memakan domba, kambing, atau ayam ternakmu. Hal-hal itu tentu menimbulkan kerugian yang kebanyakan begitu sulit untuk diperhitungkan. Selain itu, kecemasan yang dirasakan manusia akibat gangguan satwa liar juga jadi hal yang enggak mungkin diabaikan. 

Terus, gimana dong harusnya?

Sebelum menentukan sikap, baiknya kita pahami dulu bahwa satwa liar enggak mungkin sampai ke wilayah permukimanmu jika habitatnya terjaga dengan baik. Kita ambil contoh konflik manusia dan gajah di Sumatera, deh. Menurut data WWF, Provinsi Riau adalah salah satu pusat sebaran gajah terbesar di Sumatera Utara. Di sana, terdapat sembilan kantong habitat gajah, termasuk tiga yang utama: Tesso Nilo, Balairaja-Giam Siak Kecil, dan Serangge.

Meski nampak menggembirakan, faktanya dalam 25 tahun terakhir, provinsi terbesar di Sumatera itu juga mengalami laju penyusutan wilayah hutan yang sangat cepat. Akibatnya, tentu saja memburuk. Mongabay Indonesia pernah menulis, sekitar 70 persen populasi gajah kehilangan habitat sejak tahun 1985. Sebanyak 23 kantong populasi gajah pun mengalami kepunahan lokal dalam periode tersebut.

Ancaman itu berbuntut pada konflik manusia dengan gajah yang terjadi kemudian. Penyebabnya tentu saja penyempitan areal jelajah gajah yang berubah menjadi lahan hutan tanaman, perkebunan, dan permukiman yang berujung pada meningkatnya intensitas konflik antara manusia dan gajah yang hidup di kawasan yang bersinggungan.

Dilihat dari kacamata gajah, jelas enggak ada kesalahan yang mereka lakukan. Lokasi-lokasi perkebunan dan permukiman yang ditempati manusia sejatinya adalah areal yang telah menjadi wilayah jelajah mereka secara turun temurun.

Nah, jika dilihat dari kacamata manusia, membuka lahan perkebunan dan mendirikan permukiman di wilayah-wilayah tersebut pun kadang terpaksa mereka lakukan sebagai upaya meningkatkan daya ekonomi mereka. Sayangnya, dalam proses pembukaan lahan itu, jarang banget ada masyarakat yang memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi dan fungsi dari kawasan atau lahan yang akan mereka berdayakan itu.

Karenanya, pesan WWF sangat sederhana. Barangkali kita harus mengingat bahwa dunia ini enggak cuma diciptakan buat kita-kita umat manusia. Meningkatkan kesadaran untuk menjaga habitat satwa-satwa liar pun jadi sangat penting.

Dengan begitu, enggak akan lagi ada pertanyaan, "kok, gajah bisa masuk kota?" atau "kok, ada harimau di kampung ini?" Padahal kenyataannya, manusia yang masuk hutan.

Jangan sampai gajah dan harimau membalas pertanyaan kita dengan: Sebenarnya kita (satwa) yang masuk kota dan perkampungan atau kalian (manusia) yang masuk hutan?!