Dalam analisis Nomura, delapan negara tersebut memperoleh skor nol terkait risiko krisis moneter. Artinya, negara-negara itu memiliki risiko yang sangat kecil untuk mengalami krisis.
Supaya kalian tahu, analisis Nomura Holdings Inc mengembangkan sebuah sistem deteksi dini risiko krisis yang diberi nama Damocles. Semakin tinggi skor Damocles sebuah negara, semakin rentan pula indikasi negara tersebut mengalami krisis.
Damocles dibangun untuk mengidentifikasi krisis mata uang di 30 negara berkembang dengan mempelajari beberapa faktor, termasuk cadangan devisa, tingkat utang, suku bunga, dan impor.
Model Damocles pun mampu memprediksi 2/3 dari 54 krisis nilai tukar di negara berkembang sejak 1996 hingga 12 bulan ke depan. Dari situ muncul skor, dimulai dari 0 sampai 200. Jika skor sebuah negara lebih dari 100, dalam waktu 12 bulan ke depan akan berisiko mengalami krisis nilai tukar.
Sebagai contoh, Pakistan, Turki, Sri Lanka, Afrika Selatan, Argentina, Mesir dan Ukraina yang saat ini tengah mengalami krisis mata uang, memiliki skor Damocles lebih dari 100, sehingga dianggap paling berisiko terpapar krisis.
"Dari tujuh negara ini, pada definisi kami, Argentina dan Turki mengalami krisis mata uang. Sementara Argentina, Mesir, Sri Lanka dan Ukraina telah memutuskan untuk mengambil bantuan IMF sebagai cara untuk keluar dari krisis," bunyi riset tersebut yang dikutip era.id, Rabu (12/9/2018).
Menurut Nomura, Indonesia dipandang masih cukup resiliensi dalam menghadapi kondisi tersebut. Dengan cadangan devisa yang tercatat 117 miliar dolar AS dan rendahnya rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), Indonesia masih cukup kuat dalam menahan pelemahan nilai tukar.
Hal itu juga berlaku sama dengan tujuh negara lainnya dengan risiko krisis terendah adalah Brasil, Bulgaria, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia dan Thailand.
"Ini adalah hasil yang penting, karena investor lebih fokus pada risiko EM, penting untuk tidak menyatukan semua EM sebagai satu kelompok yang homogen; Damocles menyoroti daftar panjang negara-negara dengan risiko sangat rendah dari krisis besar," kata analis kepala ekonomi pasar negara berkembang, Robert Subbaraman seperti dikutip dari Bloomberg.