Menagih Tunggakan Iuran Peserta BPJS Kesehatan

| 23 Oct 2018 16:33
Menagih Tunggakan Iuran Peserta BPJS Kesehatan
Ilustrasi Foto (FOTO: Bagaskara Isdiansyah)
Jakarta, era.id - Saban tahun, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan selalu mengalami defisit keuangan. Kacaunya, dari tahun ke tahun, nilai defisit itu terus meningkat. Dan jika sudah begini, pemerintah akan menambal defisit keuangan BPJS Kesehatan dengan memberi dana talangan yang bersumber dari dana cadangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain buruknya sistem manajemen dalam tubuh BPJS Kesehatan, tunggakan iuran kita para peserta BPJS Kesehatan juga jadi beban yang amat mengganggu laju Program Jaminan Kesehatan (JKN).

Hari ini, media sosial diramaikan oleh debat panas segelintir pihak yang mengampanyekan gerakan tolak bayar iuran BPJS. Menurut segelintir orang itu, BPJS mengandung unsur riba, enggak sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun, gelombang netizen lainnya melawan gerakan tersebut dengan sejumlah kisah dan pengalaman, bagaimana BPJS --khususnya BPJS Kesehatan-- telah membantu begitu banyak orang menghadapi masalah kesehatan mereka.

Memang, BPJS enggak sepenuhnya menganut sistem yang berlandaskan ajaran agama Islam. Pada tahun 2015 lalu, lewat Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa bahwa BPJS mengandung unsur gharar (penipuan), maisir (perjudian), serta riba. MUI pun mengeluarkan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah, yang pada intinya mendesak pemerintah membenahi proses transaksi BPJS yang sesuai dengan syariah Islam, terutama berbagai persoalan yang terkait dengan akad antar-para pihak.

Fatwa MUI ini sejatinya memang sempat memunculkan keresahan di tengah masyarakat. Bahkan, di tahun 2017, seorang dokter dikabarkan menolak pasien BPJS karena enggan terlibat dalam praktik riba. Soal peristiwa itu, MUI dan Kementerian Agama (Kemenag) langsung menengahi. Ketua Dakwah MUI, Cholil Nafis ketika itu mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan menyerahkan pembenahan sistem BPJS kepada pemerintah. Menurutnya, sejak fatwa MUI diterbitkan, pemerintah telah melalui sejumlah pembicaraan dengan MUI dan berkomitmen membenahi sistem BPJS agar lebih sesuai dengan syariah Islam.

"Yang perlu dibenarin proses transaksi BPJS sebagaimana rekomendasi MUI. Operatornya menggunakan akad sesuai syariah, artinya ini menjadi evaluasi kepada pemegang kebijakan BPJS dan pemerintah ... BPJS perlu diberi alternatif yang mau dengan syariah. Sebagaimana dengan asuransi dan bank," kata Cholil sebagaimana ditulis Detik kala itu.

Soal komitmen membenahi sistem BPJS agar sesuai syariah Islam, Ma'ruf Amin pada Mei 2018 sempat menegaskan bahwa progres mewujudkan komitmen itu telah dijalani. Bahkan, Ma'ruf yang saat itu masih Ketua MUI mengatakan, BPJS Kesehatan telah siap menjalankan operasionalisasi program yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana ditelurkan Ijtima Ulama 2015. Ma'ruf saat itu bilang, progres penerapan BPJS yang lebih syar'i itu telah sampai pada tahap menyiapkan formulir, perjanjian kerja sama, serta hal-hal lain terkait instrumen investasi yang terus dibenahi secara bertahap.

"Ijtima Ulama juga merekomendasikan agar pemerintah membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah dan melakukan pelayanan prima ... Akhirnya dua hari yang lalu saya langsung memimpin rapat penetapan kesimpulan kerja tim, yang intinya BPJS Kesehatan siap menjalankan operasionalnya sesuai prinsip syariah," kata Ma'ruf, ditulis Tempo.

Jika masalah tunggakan adalah BPJS yang kurang syar'i, segala pemaparan di atas seharusnya bisa jadi pencerahan buat masyarakat, bahwa progres yang mengarah pada BPJS syariah telah berjalan. Dan masyarakat rasanya hanya perlu menunggu BPJS syariah betul-betul diterapkan. Atau, mendorong pemerintah untuk memastikan kapan BPJS syariah betul-betul diterapkan, bukannya menghasut masyarakat lain untuk setop membayar iuran BPJS.

 

Beban tunggakan BPJS

Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa saban tahun BPJS Kesehatan konsisten mengalami defisit keuangan. Dan seretnya iuran kita para peserta BPJS jadi salah satu faktor utama. Bayangkan, di tahun pertama BPJS Kesehatan beroperasi, defisitnya mencapai Rp3,3 triliun, di mana iuran dari 133,423 juta peserta hanya terkumpul Rp40,72 triliun. Padahal, tahun itu, total klaim yang harus ditanggung BPJS Kesehatan kepada rumah sakit mitra mencapai Rp42,66 triliun.

Tahun selanjutnya, tunggakan BPJS Kesehatan meningkat sampai Rp5,7 triliun. Saat itu, iuran 156.790 juta peserta hanya mampu menutupi Rp52,78 triliun dari total klaim Rp57,08 triliun yang harus dibayar BPJS. Saat itu pemerintah terpaksa menyuntikkan Rp5 triliun kepada BPJS. Di 2016, utang BPJS Kesehatan membengkak hingga Rp9,7 triliun. Dan lewat metode yang sama, pemerintah terpaksa mengucurkan dana Rp6,8 triliun untuk menutupi defisit tersebut.

Melaju ke tahun 2017, pemerintah lagi-lagi harus menyuntikkan dana cadangan Rp6,8 triliun untuk menutupi utang BPJS. Kali ini, Rp3,6 triliun dikucurkan untuk menutupi defisit sebesar Rp9,8 triliun. Di tahun tersebut, iuran premi 187.982 peserta BPJS Kesehatan hanya terkumpul Rp74,07 triliun, jauh dari klaim Rp84,45 triliun yang harus dibayar BPJS.

Untuk tahun ini, utang BPJS diprediksi mencapai angka Rp12,4 triliun, di mana Rp4,4 triliun di antaranya adalah utang tahun 2017 yang belum dilunasi. Kacau memang kacau. Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam pidatonya di Pembukaan Kongres XIV Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Rabu (17/10) lalu menyampaikan rasa geregetannya. Jokowi nampak mulai habis kesabaran.

"Saya tahu problem yang kemarin urusan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), urusan pembayaran rumah sakit, sehingga mungkin sebulan atau lima minggu yang lalu, tapi ini sebetulnya urusannya Dirut BPJS tidak sampai Presiden, harus kita putus tambah Rp4,9 triliun," tutur Jokowi saat itu.

"Lha kok enak banget ini, kalau kurang minta, kalau kurang minta. Mestinya ada manajemen sistem yang jelas sehingga rumah sakit kepastian pembayaran itu jelas ... Artinya, kan Dirut BPJS ngurus berapa ribu rumah sakit tetapi sekali lagi kalau membangun sistemnya benar ini gampang. Selalu saya tekankan sistem, selalu saya tekankan manajemen, ya karena memang itu," tambahnya.

Soal ini, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar memberikan pandangannya. Kata Timboel, memang ada hal yang enggak berjalan dengan baik dalam sistem iuran BPJS. Misalnya, soal penundaan kenaikan iuran premi. Menurut Timboel, iuran BPJS Kesehatan sebesar Rp23.000 per bulan saat ini masih jauh dari hitungan adademisi soal nilai aktuaria (risiko keuangan) yang harusnya mencapai kisarah Rp36.000. Selain itu, hal paling mendasar menurut Timboel adalah enggak adanya sistem yang dapat memaksa para peserta BPJS Kesehatan --terutama yang mandiri-- untuk membayar tunggakan iurannya. 

"Sebetulnya Presiden harus melihat secara umum, karena persoalan ini dikontribusikan juga oleh pemerintah pusat. Iuran yang tak naik di tahun 2018. Padahal amanat Perpres 111/2013 mengatakan paling lambat dua tahun iuran harus dievaluasi ... Dan poin ketiga, BPJS Kesehatan tidak mampu menciptakan sebuah sistem yang bisa memaksa peserta mandiri membayar tunggakan iurannya. Teknis, tapi strategis dalam meningkatkan keuangan," kata Timboel kepada BBC.

Tags : bpjs
Rekomendasi