"Karena kebijakan itu bertabrakan dengan peraturan perundang-perundangan," kata pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah kepada era.id, Jumat (22/12/2017).
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum misalnya. Di Pasal 25 ayat (2), tertulis Setiap orang atau badan dilarang berdagang, berusaha di bagian jalan/trotoar, halte, jembatan penyeberangan orang dan tempat-tempat untuk kepentingan umum lainnya di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
"Gubernur menunjuk/menetapkan bagian-bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat kepentingan umum lainnya sebagai tempat usaha pedagang kaki lima," demikian bunyi ayat 1.
Infografis (Yuswandi/era.id)
Selain Perda 8/2007, kebijakan yang diwacanakan Anies juga berpotensi melanggar Peraturan Presiden 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Pada pasal 2 ayat (1) telah diatur, lokasi pendirian pasar tradisional wajib mengacu pada rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota, rencana detail tata ruang Kabupaten/Kota, termasuk peraturan zonasinya.
Pasal 2 ayat (2) dalam regulasi yang sama, termaktub syarat yang harus dipenuhi dalam mendirikan pasar tradisional, di antaranya:
1. Memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan keberadaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern serta usaha kecil, termasuk koperasi yang ada di wilayah yang bersangkutan.
2. Menyediakan areal parkir paling sedikit seluas kebutuhan parkir 1 (satu) buah kendaraan roda empat untuk setiap 100 meter per segi luas lantai penjualan pasar tradisional.
3. Menyediakan fasilitas yang menjamin pasar tradisional yang bersih, sehat (higienis), aman, tertib dan ruang publik yang nyaman.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga mengatakan, penutupan badan jalan untuk kegiatan usaha hanya dapat dilakukan pada momen tertentu. Jika penutupan bersifat permanen dan dilakukan setiap hari, kebijakan tersebut melanggar Peraturan Pemerintah (PP) 34/2006 tentang Jalan.
"Kalau penutupan badan jalan untuk sementara, secara berkala (setiap hari) bukan insidental (darurat) apalagi untuk kegiatan komersil, maka menyalahi PP 34/2006 tentang Jalan, UU 22/2009 tentang lalin dan angkutan jalan, dan Perda 8/2007 tentang ketertiban umum di wilayah DKI juga harus jadi pertimbangan hukum," tutur Nirwono kepada era.id, Jumat (22/12/2017).
Selain itu, kebijakan yang diwacanakan Anies juga berpotensi melanggar Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 28 ayat (1) menyebutkan, setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi jalan.
Sementara, Pasal 28 ayat (2) menyebutkan, setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)."
Serupa
Agustus 2017 lalu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut menerapkan kebijakan serupa. Sejumlah pedagang dari trotoar dipindahkan ke ruas Jalan Dewi Sartika, Jalan Siliwangi hingga Jalan Cikurai. Pemkab berdalih, pedagang yang direlokasi bukanlah kaki lima, melainkan pedagang kreatif lapangan. Dana bantuan APBD pun dikucurkan untuk mendukung laju kebijakan itu, termasuk pengadaan roda dagang yang menghabiskan total dana hingga Rp800 juta lebih.
Kala itu, kebijakan pemkab dikritik keras lantaran melanggar Perda Garut 2/1988 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan yang secara tegas melarang pemanfaatan trotoar dan jalan sebagai area dagang, meski belakangan diubah menjadi Perda 12/2015 yang tak lagi memuat larangan tersebut.
Perubahan perda kemudian menimbulkan kekosongan regulasi, dimana tidak ada regulasi khusus yang mengatur peruntukan sejumlah ruas jalan dan trotoar bagi kegiatan usaha. Selain itu, Keputusan Bupati (Kepbup) Garut 551/Kep.76-Dishub/2005 tentang Penetapan Ruas/Penggal Jalan sebagai Kawasan Tertib Lalu Lintas KTL) di Kabupaten Garut pun nyatanya belum pernah dicabut.