Jakarta, era.id - Zaman terus berkembang, pola komunikasi berubah, pepatah pun bertransformasi. "Mulutmu harimaumu" yang dulu begitu erat dengan nilai-nilai dalam kebebasan berpendapat kini berubah jadi "jempolmu harimaumu", gambaran betapa masyarakat lebih doyan update status ketimbang ngobrol semalaman di warung kopi. Enggak ada yang salah. Hanya jadi membingungkan ketika bersinggungan dengan isu kebebasan berpendapat.
Bertepatan dengan momen hari HAM Internasional yang ke 70 tahun ini, masalah kebebasan berpendapat masih sorotan di negeri ini. Hati-hati dan kebijaksanaan tentu diperlukan. Masih ingat kasus Prita Mulyasari, seorang ibu malang yang menyuarakan unek-unek soal pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang, Banten?
Pada 2008, Prita terpaksa berurusan dengan palu hakim lantaran Rumah Sakit Omni Internasional merasa dicemarkan nama baiknya setelah Prita mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional melalui email yang ia tulis untuk koleganya. Banyak banget kasus lain selain Prita. Tapi, kasus Prita adalah yang termahsyur dan tentu salah satu yang paling menggugah kesadaran soal biasnya kebebasan berpendapat di negeri ini.
Prita bukan satu-satunya orang yang terjerat kasus semacam ini. Merujuk data Ancaman Kebebasan Berekspresi di Media Sosial (2016), tercatat ada 80 aduan atas kasus pencemaran nama baik di Indonesia. Lebih dari 50 persen di antaranya merupakan aduan yang terjadi karena unggahan yang dilakukan di media sosial.
Kebebasan berpendapat merupakan hak yang melekat dalam diri setiap individu sejak ia dilahirkan. Hak tersebut dijamin oleh konstitusi dan negera. Dan Indonesia sebagai negara hukum dan demokratis berkewajiban mengatur dan melindungi hak ini. Kebebasan menyampaikan pendapat tanpa tekanan dari pihak manapun maupun kebebasan dalam berfikir diatur dalam perubahan ke empat UUD Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 E ayat 3, bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Seperti dijelaskan Fani Indriani (2016) dalam Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau, bahwa hak asasi manusia ialah suatu hak yang sifatnya mendasar. Hak-hak yang dimiliki setiap manusia berdasarkan kodratnya yang pada dasarnya tidak akan bisa dipisahkan sehingga bersifat suci.
Jika dilihat dari kacamata filosofis, konsep bebas berasal dari pemikiran Thomas Hobbes dan Jhone Locke, yang berarti kondisi yang memungkinkan seseorang --tanpa paksaan-- untuk melakukan satu perbuatan. Sedangkan konsep bebas yang berasal dari pemikiran Jean Jacques Rousseau dan GWF Hegel menggambarkan kebebasan sebagai kondisi yang memungkinkan seseorang berbuat seseuatu untuk mencapai apa yang diinginkannya. Makanya, hak kebebasan, biar bagaimanapun adalah hak dasar setiap manusia yang wajib dilindungi negara. Tapi, kenyataannya, ya kasus Prita itu.
Benarkah kebebasan pendapat terancam?
Di zaman perkembangan teknologi --termasuk media sosial, segala nilai soal kebebasan berpendapat makin buram. Tim Komunikasi Amnesty International Indonesia, Haeril Halim, punya pandangan menarik, membedah diskursus kebebasan berpendapat di media sosial yang digambarkan sebagai hal yang kompleks karena bercampur dengan bertebarannya berita palsu. Dan UU ITE ada di tengah-tengah itu semua.
Menurutnya, "Keberadaan UU ITE mengancam kebebasan berekspresi di media sosial," kata Haeril kepada era.id sore tadi, Senin (10/12/2018). Soal ini, Amnesty International berharap adanya revisi dari UU ITE "yang kami anggap mengancam kebebasan berpendapat, salah satunya pasal 27 itu," ujar Haeril.
Bahwa saat ini kita sedang berada dalam ancaman berita-berita palsu itu memang benar. Tapi, menurut Haeril, sedikit-sedikit memenjarakan orang yang berpendapat juga bukan pilihan bijak.
"Hal itu harus ditanggapi dengan tidak serta merta melakukan pendekatan kriminal, harus ada pendekatan persuasif dari aparat," katanya.
Memang, ada hal yang perlu diperhatikan juga dalam menyampaikan pendapat. Meski kebebasannya dijamin banget, pendapat kita tetap harus didasari oleh data dan fakta. Enggak sembarangan, ceunah.
"Jadi kalau kita beropini harus selalu berdasarkan data dan fakta," jelasnya.
Batasan-batasan dalam berpendapat
Meskipun kita memiliki hak kebebasan dalam mengeluarkan pikiran ataupun pendapat, akan tetapi kebebasan itu bukan merupakan kebebasan mutlak yang tanpa batas. Kebebasan yang kita jalani adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara karena hak kita enggak terlepas dari kewajiban yang kita miliki dan harus dipenuhi.
Merujuk kepada aturan yang lebih universal, secara luas, dunia memberikan pengakuan atas kebebasan untuk mencari, mengumpulkan, dan untuk menyebarluaskan informasi sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 19 Universal Declaration of Human Right, yang menyatakan: Setiap orang berhak untuk berpendapat dan berekspresi, hak ini termasuk kebebasan untuk berpendapat tanpa ada intervensi untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan ide melalui media apapun dan tetap memperhatikan batasan-batasan.
Kebebasan berpendapat, sebagaimana yang disuarakan dalam piagam PBB ini mengandung arti bahwa setiap orang bisa mengutarakan pendapat dan ekspresinya dalam bentuk apapun dan melalui media apapun, namun tetap ada batasan supaya enggak kebablasan. Batasan-batasan itu diatur lebih rinci pada Pasal 29.
Dalam pasal tersebut, dapat dilihat bahwa yang menjadi batasan pada kebebasan berpendapat di antaranya adalah: undang-undang setempat; moralitas; dan masyarakat; dan ketertiban sosial dan politik masyarakat demokratis.
Soal apakah saat ini kebebasan berpendapat sedang terancam atau tidak, Haeril memberikan tolok ukurnya. "Ukurannya simpel, ketika anda menyuarakan secara damai dengan data dan fakta yang ada anda tidak boleh dikriminalisasi," tuturnya.