Kata Komnas HAM, Debat Keempat Belum Ada Narasi HAM

| 01 Apr 2019 17:23
Kata Komnas HAM, Debat Keempat Belum Ada Narasi HAM
Konferensi pers di Komnas HAM tentang debat pilpres 2019 (Diah/era.id)
Jakarta, era.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, paparan kedua calon presiden dalam debat keempat Pemilu 2019, baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto, belum mengedepankan narasi HAM pada debat yang bertema ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional. 

Ketua Tim Pemantau Pemilu Komnas HAM, Hariansyah memandang isu HAM selalu dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari isu-isu lain. Kandidat capres-cawapres, katanya, mungkin menganggap hal tersebut sudah selesai setelah pembahasan HAM pada debat pertama. 

"Ketika bicara mengenai pendidikan, mengenai pertahanan keamanan mereka tidak menyadari bahwa perspektif hak asasi manusia harusnya membingkai konsepsi mereka mengenai berbagai isu. Di negara-negara maju, hak asasi manusia itu menjadi bingkai perspektif seluruh dimensi pembangunan," kata Hairansyah di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Senin (1/4/2019). 

Saat dibedah tiap tema, pertama ideologi, kedua capres sepakat untuk mempertahankan idelogi Pancasila yang terbukti mampu mempersatukan bangsa indonesia yang meniliki ratusan kelompok etnis, ratusan suku, agama-agama besar. 

"Mereka berupaya menjadikan ideologi Pancasila sebagai jalan perjuangan dalam melaksanakan mandat konstitusi dan tujuan bernegara yang diatur dalam pembukaan UUD 1945," ujar Hariansyah. 

Lalu, yang berkaitan dengan tema pemerintahan, kedua pasangan capres relatif berbeda. Jokowi menekankan pentingnya penguasaan teknologi informasi dalam Menunjang pemerintahan, dan menggagas pemerintahan Dilan (digital melayani). 

Sementara Prabowo Subianto memberikan tanggapan pentingnya teknologi informasi (TI) sangat vital bagi pemerintahan dan akan memaksimalkan untuk transparansi adalah senjata yang efektif untuk meningkatkan rasio pajak. 

"Gagasan kedua capres masih sebatas pada aspek penguatan supra dan infrastruktur pemerintah, belum mengacu pada pembaruan-pembaruan melindungi, menegaskan dan menghormati HAM, terutama pada isu khusus sejenti kebebasan beragama, konflik agraria, intoleransi, dan pengungkapan pelanggaran HAM yang berat," kata dia. 

Sedangkan yang berkaitan dengan tema Pertahanan dan Keamanaan (Hankam) terkait persoalan alutsista dan alat material khusus (almatsus), Hariansyah melihat ada pandangan yang berbeda pada kedua calon. 

Jokowi meryatakan, anggeran pertahanan sudah mengalami peningkatan yaitu sebesar 107 triliun--yang merupakan anggaran terbesar kedua setelah Kementerian Pendidikan-- untuk pembangunan pangkalan TNI di berbagai tempat terutama titk luar perbatasan Indonesia. Sedangkan Prabowo Subianto menekankan alokasi yang dianggarkan untuk militer tidak proporsional karena hanya 5 persen dari APBN dan 0, 8 persen dari GDP. 

"Kedua pasangan calon justru belum melihat akar persoalan dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak asusi manusia mengenai relasi sipil dan militer," ungkap dia. 

Selanjutnya, yang berkaitan dengna tema Hubungan Internasional, Jokowi menekankan pentingnya diplomasi sebagai negara Muslim terbesar dan berupaya menjadi mediator dalam konflik kawasan Asia (Afganistan) dan Asean (Rakhine) serta melindungi WNI di luar negeri. Sedangkan Prabowo, menekankan kepentingan nasional dan keberhasilan diplomasi internasinnal salah satunya dipengaruhi aktor kekuaton negara Indonesia. 

"Para kandidat belum sepenuhnya mengadopsi konsepsi dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial yang dikenal bebas aktif," ucap Hariansyah. 

"Belum ada strategi yang cukup di antara keduanya kecuali menonjolkan potensi penduduk Muslim dan mediator, serta kepentingan nasional semata, padahal akarnya dalam prespektif HAM adalah terciptanya kemerdekaan dengan menekankan right to self determination, perdamaian dan keadilan struktual," tambahnya. 

Dalam gagasan kedua capres, Indonesia dituntut lebih berperan dalam penyelesaian konlik baik sebagai calon anggota Dewan HAM PBB, Dewan Keamanan PBB, serta negara berdaulat dalam keterlibatan konflik kawasan terutama Timur Tengah (Palestina), Rohingya (Myanmar) dan di berbagai tempat. 

"Padahal, secara faktual terdapat ribuan pencari suaka yang berada di Indonesia menuju negara-negara penenpatan. Hal terlupakan adalah soal perlindungan WNI terutama TKI yang bermasalah secara hukum di luar negeri juga luput dibahas," tandasnya. 

Rekomendasi