Jalan panjang PDIP menjadi oposisi membuahkan hasil di lima tahun belakangan ini. Kini, mereka jadi partai penguasa, setelah sepuluh tahun menjadi partai yang berada di luar kekuasaan.
Kepada era.id, Politisi PDIP Aria Bima mengatakan, menjadi oposisi adalah hal yang serius. Bahkan, keputusan itu ditetapkan pada Kongres PDIP pada 2005.
Arya merupakan anggota DPR periode 2004-2009, 2009-2014, serta 2014-2019. Dia maju di daerah pemilihan Jawa Tengah V, meliputi Kota Surakarta, Sukoharjo, Boyolali dan Klaten.
"Jadi waktu itu secara eksplisit, PDIP berada di luar pemerintahan dari keputusan kongres 2005 dan itu merupakan keputusan yang tegas, formal, serta terbuka," kata Aria saat dihubungi, Rabu (3/7/2019).
Ada alasan mengapa PDIP saat itu menjadi oposisi. Di antaranya, partai besutan Megawati Soekarnoputri harus menegaskan platformnya. Tujuannya, untuk memudahkan pertanggungjawaban kepada rakyat, meski saat itu Megawati yang maju bersama Hamzah Haz di Pilpres 2004 dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.
"Kalah menang itu kan hanya di kontestasi buat memperjuangkan rakyat kan tidak ada kalah menang. Kita di luar pemerintahan pun langgeng, yang di luar pemerintahan dan di dalam pemerintahan sama mulia. Keyakinan ini kemudian jadi permanen selama 10 tahun dengan ketegasan bukan hanya lip-service saja," ungkapnya.
Ilustrasi Ilham/era.id
Kata Aria, saat itu oposisi memang belum dikenal oleh masyarakat luas. Apalagi, Indonesia baru menjalankan pemilihan umum dengan penunjukan presiden secara langsung.
Tapi, buatnya, menjadi oposisi punya peran yang besar sebagai check and balance atas keputusan yang diambil oleh pemerintahan. Ini pula yang kadang dianggap masyarakat bahwa PDIP menganggu SBY, atau menjadi partai perongrong pemerintahan.
"Saya bangga sekali menjadi oposisi karena keputusan yang diambil saat itu terkontrol betul oleh kita," ujarnya.
Aria mengatakan, PDIP tidak setengah-setengah jadi oposisi. Partai ini melawan kebijakan pemerintah yang tidak dianggap pro rakyat, namun tetap menyumbangkan solusi terbaik.
"Karena jadi oposisi itu kan harus bijak," tegasnya.
Meski kalah suara, karena suara oposisi di parlemen tak begitu besar, tapi Aria menganggap itu adalah bentuk pertanggungjawabannya kepada rakyat dan pemilih.
Arya menceritakan, salah satu bentuk kritik oposisi dari PDIP kepada pemerintahan SBY adalah tentang konversi minyak tanah ke gas elpigi 3 kg. Kebijakan ini dianggap PDIP tidak bisa dilakukan secara mendadak.
Sebab kebutuhan minyak tanah saat itu bukan sekadar untuk kebutuhan masak saja. Apalagi, saat konversi awal-awal, banyak tabung gas yang meledak dan menimbulkan kerugian.
"Akhirnya konversi dilakukan secara bertahap. Per wilayah, misalnya perkotaan dulu. Itulah misalnya. Kebijakannya bagus, tapi implementasinya bagaimana," kata dia.
"Waktu banyak yang njebluk (meledak) itu saya kejar interpelasi, hak angket. Ini target oriented kok yang dikorbankan rakyat," imbuhnya.
Meski berlawanan dengan SBY, PDIP punya aturan yang ketat tentang batas kritik. Partai ini akan tetap menghormati SBY sebagai kepala negara. Bahkan, Aria pernah ditegur Megawati karena kritiknya terlalu keras kepada SBY.
"Saya pernah ditegur Bu Mega karena terlalu keras (berbicara sebagai oposisi), pernah. Bu Mega memberikan guidance kepada kita untuk tidak menjadi oposisi yang asal bicara," tutupnya.