"Persoalannya adalah ketika seorang incumbent calon kepala daerah tapi dia masih menjabat sebagai kepala daerah atau menjadi penyelenggara negara. Ketika dia menerima di luar aturan yang sudah ada maka itu bisa menjadi suap atau gratifikasi," ungkap Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (23/1/2018).
Febri menambahkan, calon kepala daerah juga harus menghindari praktik politik balas budi. Contohnya, yang dilakukan tersangka suap dan gratifikasi proyek pengadaan barang dan jasa yang anggarannya diperoleh dari APBD Kabupaten Kebumen tahun 2016, Mohammad Yahya Fuad.
"Sudah ada aturan tentang sumbangan dana kampanye. Yang menjadi persoalan adalah, kalau kemudian bantuan-bantuan dana kampanye kemudian mengikat calon ketika sudah menjadi kepala daerah. Sehingga ada penyimpangan atau korupsi yang kemudian dilakukan," lanjut Febri.
Politik balas budi, kata Febri, kerap berkaitan dengan mahalnya biaya politik. Febri pun menyinggung kasus dugaan mahar yang diminta Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebesar Rp40 miliar kepada La Nyalla Mahmud Mattaliti agar nama mantan Ketua PSSI itu diusung pada Pilkada Jawa Timur 2018.
Namun, saat itu, La Nyalla mengaku tidak sanggup. Dia hanya bisa menyetorkan Rp5,9 miliar yang digelontorkan ke Partai Gerinda melalui Fauka. Pernyataan mahar yang diungkapkan La Nyalla itu mengungkapkan perlunya biaya besar untuk maju dalam Pilkada 2018.
"Ada banyak unsur dari biaya pilkada. Yang heboh sekarang terkait tentang pembayaran mahar atau biaya lainnya yang dilaporkan. Biaya politik mahal ini menjadi salah satu faktor yang kemudian mengakibatkan korupsi,” tutup Febri.