Kritik YLBHI dalam 100 Hari Jokowi-Ma’ruf

| 31 Jan 2020 10:16
Kritik YLBHI dalam 100 Hari Jokowi-Ma’ruf
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati (Diah/era.id)
Jakarta, era.id - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memberi catatan kinerja 100 hari pertama pemerintahan Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin dalam hal hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Ketua Umum YLBHI Asfinawati memetakan beberapa kebijakan Jokowi-Ma'ruf Amin selama 100 hari pertama pemerintahan mereka. Total ada 9 poin yang dinilai bermasalah.

Pertama, masalah keamanan. YLBHI melihat adanya perluasan definisi radikalisme menjadi intoleransi selama 100 hari pertama Jokowi-Ma'ruf Amin. Hal ini ditandai dengan terbitnya surat keputusan bersama (SKB) 11 kementerian dan lembaga tentang penanganan radikalisme dalam rangka penguatan wawasan kebangsaan pada aparatur sipil negara (ASN)

Selain definisi yang tidak jelas sehingga berpotensi pelaksanaan yang sewenang-wenang, SKB ini memperluas definisi radikalisme sehingga intoleransi masuk didalamnya.

"Tentu kita tidak suka dengan intoleransi tetapi mengkategorikannya sewenang-wenang akan memunculkan penanganan yang salah dan tidak menyelesaikan masalah. Hal ini juga ditunjukkan dengan melibatkan TNI dalam persoalan keamanan," kata Asfinawati lewat keterangan tertulisnya, Rabu (30/1/2020).

Kedua, 100 hari kerja Jokowi-Ma'ruf Amin juga ditandai dengan semakin terbungkamnya kebebasan sipil. Hal tersebut terlihat saat Jokowi melemparkan pernyataan yang dinilai intimidatif dengan meminta BIN dan Polri "mendekati" Ormas yang menolak RUU Omnibus Law.

Padahal, menurut catatan LBH-YLBHI sebanyak 6.128 orang mengalami pelanggaran HAM saat menyampaikan pendapat di muka umum. "Data ini belum termasuk 21 orang yang ditangkap saat buruh melakukan aksi pada pidato Presiden 16 Agustus 2019," kata Asfinawati.

Bersamaan dengan itu, isu dwifungsi militer kembali terjadi. Belakangan, tidak sedikit unsur TNI dan kepolisian yang ditempatkan di berbagai jabatan kementerian dan lembaga.

Keempat, YLBHI menilai pemerintah kian melanggengkan impunitas penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Terbukti, hingga saat ini tidak adanya upaya penyidikan untuk menindaklanjuti dokumen peyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang sudah dikirimkan Komnas HAM kepada Jaksa Agung.

Terkait dengan HAM, YLBHI juga mengkritik di 100 hari pertama pemerintahan Jokowi- Ma'ruf Amin kian abai dengan masalah HAM.

"Konsisten dengan pidato awalnya, Jokowi-Ma’ruf tidak menjadikan HAM hal penting yang harus mewarnai seluruh kebijakannya," ujar Asfinawati.

Kekonsistenan itu terlihat dari pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD bahkan mencoba memelintir tentang apa yang disebut pelanggaran HAM dengan mengatakan tidak ada pelanggaran HAM di era Jokowi.

Bahkan belakangan Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. "Pernyataan kedua orang ini menggambarkan pilihan politik pemerintahan yang mengabaikan HAM," katanya.

Poin selanjutnya, pemerintahan Jokowi di awal periode keduanya ini dinilai merampok hak rakyat untuk segelintir orang dengan hadirnya sejumlah rancangan undang-undang Omnibus Law atau RUU sapu jagat. Hal ini karena Jokowi berencana menghapus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Amdal untuk mempermudah investasi.

Padahal, menurut Asfina, dengan IMB dan Amdal saja sudah banyak terjadi perampasan tanah, air, rumah rakyat dan kerusakan lingkungan yang menimbulkan bencana.

Ketujuh, Jokowi-Ma'ruf Amin dinilai mengabaikan dan menghambat partisipasi publik. Salah satu contohnya, 100 hari pemerintahannya diisi dengan rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.

Belum lagi, persoalan operasi militer ilegal di Papua. Asfina menyebut bahwa pemerintah tidak pernah mengakui melakukan operasi militer ilegal tetapi mengerahkan pasukan yang sangat banyak di Kabupaten Timika, Paniai, Puncak Papua, Puncak Jaya dan Intan Jaya.

"Akibat tidak adanya akuntabilitas untuk penurunan pasukan maka jatuh korban jiwa, pengungsi internal dan terganggunya aktivitas warga termasuk perayan Natal," katanya.

Terakhir, pemerintah dinilai tengah memperlemah upaya pemberantasan korupsi. Hal ini terbukti dari revisi UU KPK dan tak kunjung diterbitkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undanh KPK.

Belakangan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly melakukan tindakan melanggar etika sebagai menteri dan terindikasi terlibat dalam penghalang-halangan proses peradilan dalam kasus dugaan suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan Politisi PDI Perjuangan Harun Masiku.

"YLBHI-LBH berkesimpulan bahwa 100 hari Jokowi-Ma’ruf menunjukkan makin jelasnya perampasan hak-hak rakyat yang dapat mengarah pada kondisi ekstrem demi memfasilitasi segelintir orang untuk mengeruk sumber daya alam sebesar-besarnya, di atas pembangkangan hukum dan hak asasi manusia. Pencabutan hak rakyat dan Ddmokrasi di depan mata," pungkas Asfina.

Tags : jokowi
Rekomendasi