Ada RUU Cipta Kerja, Bukan Berarti Gampang Cari Kerja Lho

| 06 Mar 2020 13:06
Ada RUU Cipta Kerja, Bukan Berarti Gampang Cari Kerja <i>Lho</i>
Penyerahan RUU Ciptaker (Dok. DPR)
Jakarta, era.id - Setelah pemerintah menyerahkan dokumen dan draf Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, RUU sapu jagat ini terus mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan, mulai dari buruh, pemerhati lingkungan, hingga mahasiswa. Hingga kini, RUU prioritas tersebut belum juga dibahas wakil rakyat.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang terdiri dari 79 pasal dan 11 kluster ini dinilai terlalu proinvestor ketimbang kesejahteraan pekerja.

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura mengatakan omnibus law RUU Cipta Kerja tidak memiliki pertimbangan keadilan dan kesejahteraan sosial.

"Ketika kita melihat bagian penjelasannya sangat ekonomisentris, bukan kesejahteraan. Jadi hanya bicara pertumbuhan ekonomi tanpa bicara keadilan sosial dan kesejahteraan," kata Charles di kantor Kode Inisiatif, Tebet, Jakarta, Kamis (5/3).

Dalam draf RUU Cipta Kerja ini lebih banyak mengatur tentang kemudahan para pemilik modal atau investor dalam membuka atau menjalankan bisnisnya. Meski bernama RUU Cipta Kerja, tapi menurutnya RUU tersebut hanya menyinggung sebagian kecil nasib pekerja atau pencari kerja. "Jadi bukan kita mudah mencari kerja," kata Charles.

Charles menjelaskan, hal tersebut tercermin dari aturan soal jam kerja, upah dan jaminan sosial. RUU Cipta Kerja menurutnya juga secara tersirat hanya mengatur tentang pekerjaan informal.

"Kayaknya akan menciptakan lapangan kerja dan ikatan kontrak kerja yang mengarah pada informalisasi dunia kerja. Tapi tidak ada kepastian gaji, jam kerja, tidak ada kepastian kesehatan, jaminan sosial. Relasi itu yang mau dibangun," katanya.

Sementara Sekjen Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ikhsan Raharjo menilai, keberadaan omnibus law RUU Cipta Kerja justru akan membawa Indonesia kembali ke zaman kolonial.

Ikhsan menbandingkan omnibus law RUU Cipta Kerja dengan Undang-Undang Koeli Ordonantie zaman Hindia Belanda. Demi memudahkan ekspor komoditas-komoditas perkebunan dan menarik banyak investor, pemerintah kolonial saat itu membuat undang-undang yang intinya memberikan jaminan kepada pemilik perkebunan akan tenaga kerja yang murah dan dengan perlindungan yang minim.

Hal ini, kata Ikhsan tak jauh berbeda dengan isi draf omnibus law RUU Cipta Kerja yang alih-alih ingin memudahkan masyrakat mencari pekerjaan, namun justru menciptakan perbudakan modern.

"Semangat perbudakan modern itu sangat kuat terasa dalam draf yang kita semua bisa baca hari ini," kata Ikhsan.

Ikhsan menyoroti sejumlah pasal dalam RUU Cipta Kerja yang akan merugikan para pekerja. Salah satunya, para pekerja dihadapkan dengan ketidakpastian karena status hubungan kerja kontrak tidak dibatasi. Menurutnya, RUU ini nanti justru akan melahirkan generasi pekerja muda yang rentan dan juga mudah dieksploitasi dalam kondisi kerja yang buruk.

"Ketika mereka masuk dalam dunia kerja, mereka akan dihadapkan dengan sebuah ketidakpastian dalam bentuk status hubungan kerja yang kontrak," pungkas Ikhsan.

Tags : omnibus law
Rekomendasi