Ahli yang menjadi narasumber dalam rapat itu adalah Rektor Universitas Prasetya Mulya Prof. Djisman Simanjuntak, Kepala Desk Ekonomi CSIS Yose Rizal, dan Ketua Dewan Pengurus Daerah HPPI Jakarta Sarman Simanjorang.
Wakil Ketua Panja yang juga pimpinan rapat Willy Aditya mengatakan RDPU ini digelar untuk mendengar pandangan dari narasumber agar bisa memberikan masukan dan pandangan terhadap RUU Cipta Kerja.
Tiga narasumber tersebut diundang untuk memberikan pandangan terkait dengan latar belakang keilmuannya. Dari paparan dan pemikiran dari tiga narasumber tersebut, semuanya kompak bak paduan suara, agar RUU Cipta Kerja segera disahkan demi memulihkan kondisi ekonomi negara pascawabah virus korona atau COVID-19.
Peneliti CSIS Yose Rizal Damuri mengungkapkan meskipun RUU Cipta Kerja masih perlu dibenahi, namun dia menilai RUU sapu jagat itu bisa menjadi langkah awal reformasi ekonomi di Indonesia.
"Kita punya permasalahan di regulasi bisnis, itu jadi kunci untuk meningkatkan tenaga kerja adalah melalui investasi berkualitas dengan reformasi ekonomi serius," kata Yose.
Yose lantas membandingkan dengan tiga negara ASEAN yang disebut sudah lebih dulu melakukan reformasi ekonomi dengan menerbitkan aturan di bidang ekonomi. Vietnam misalnya, telah melakukan sejak 2010.
Vietnam, kata Yose, mengeluarkan program Project 30 sebagai reformasi ekonomi mereka. Melalui program tersebut, Vietnam busa memangkas 30 persen cost of doing business di negaranya. Hal yang serupa juga dimiliki oleh Malaysia dan Thailand.
"Kelihatan sekarang hasilnya, ini sudah dilakukan negara lain di ASEAN. Sekarang kalau komperasi dengan Vietnam, kita merasa malu," ucap Yose.
RUU Cipta Kerja, menurut Yose, terbilang cukup telat dibanding negara lain di Asia Tenggara. Padahal ekonomi dalam negari sedang sulit sehingga menyebabkan penciptaan kerja juga susah.
Dia menambahkan, tanpa investasi yang berkualitas tidak mungkin bisa menciptakan lapangan kerja yang bagus. Sementara ke depannya, akan sulit membuka investasi.
"Karena reformasi ekonomi ini dibutuhkan pembahasan RUU Cipta Kerja seharusnya bukan ditunda tapi dipercepat," kata Yose.
Senada, Ketua Umum Dewan Pengurus Daerah Himpinan Pengusaha Pribumi Indonesia (HPPI) DKI Jakarta Sarman Simanjorang juga menilai Indonesia selama ini menerapkan birokrasi yang cukup sulit bagi masuknya investor. Akibatnya, banyak usaha kecil dan mikro tak bisa naik kelas menjadi lebih besar.
"Kita tahu selama ini apa yang disampaikan investor adalah masalah regulasi dan perizinan yang bertele-tele," kata Sarman.
Kondisi tersebut kian diperparah dengan adanya wabah COVID-19 yang memorak-porandakan porandakan sendi perekonomian negara. Dia mengatakan, meskipun pemerintah telah memberikan stimulus kepada pengusaha agar tetap bisa bernafas. Namun, praktik di lapangan belum seratus persen terealisasi.
Untuk itu, dia mendukung agar RUU Cipta Kerja ini bisa secepatnya dibahas dan disahkan karena merupakan kunci untuk masuknya investasi yang lebih besar di Indonesia setelah pandemi berakhir.
"Menurut kami, sebelum COVID-19 berakhir sudah harus disahkan agar kita punya modal besar untuk memulai menggerakan ekonomi dan memasuki era baru investasi Indonesia," pungkasnya.
Sebelumnya, Peneliti Riset Centre of Economic Reform (CORE) Mohammad Faisal pun membantah argumen RUU Ciptaker adalah kunci pendongkrak perekonomian pascakorona. Menurutnya, dalam kondisi seperti sekarang untuk menggenjot investasi justru pemerintah harus benar-benar fokus pada penanggulangan wabah.
"Omnibus law tidak akan mempan menarik investasi jika wabah tidak segera ditangani," ujar Faisal saat dihubungi, Senin pekan lalu.
Bahkan, kata Faisal, sampai wabah COVID-19 berakhir pun omnibus law RUU Cipta Kerja masih harus diperbaiki karena memiliki banyak kelemahan. Misalnya, banyak mereduksi kewenangan daerah dan bertentangan dengan Undang-Undang otonomi daerah.