Apalagi, pemerintah hanya melihat dan menimbang faktor ekonomi dalam rencana pelonggaran PSBB. Mereka khawatir jika PSBB bisa meningkatkan risiko warga terpapar PHK.
Padahal Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang PSBB mensyaratkan perlunya kajian ilmiah epidemiologi untuk menilai sukses atau gagalnya pelaksanaan PSBB dalam menurunkan jumlah kasus baru, sebelum memutuskan pencabutan status PSBB.
"Evaluasi PSBB harus didukung dengan data yang valid, terutama angka reproduksi kasus (Ro) sebelum dan sesudah intervensi. Intervensi dianggap berhasil jika nilai Ro semakin menurun setelah intervensi hingga mendekati nol, yang artinya tidak lagi terjadi penularan,” kata kolaborator platform Laporcovid19.org yang juga kandidat doktor epidemiologi dari Griffith University, dr. Dicky Budiman.
Hasil kajian Laporcovid19.org terhadap data resmi pemerintah dan laporan warga menyimpulkan, kendala untuk membangun data yang baik di antaranya terjadi karena sumbatan dalam pemeriksaan dan pelaporan hasil COVID-19 dan tidak lengkapnya data laporan kematian.
Pemeriksaan dengan menggunakan tes dengan metode swab (PCR), sekalipun mulai terjadi peningkatan jumlah, namun masih belum mencapai 10.000 tes per hari seperti telah ditargetkan pemerintah sejak sebulan lalu.
Hingga saat ini, Indonesia masih memiliki kapasitas tes per populasi sangat rendah, bahkan termasuk paling rendah di Asia. Data di worldmeters.info pada Minggu (10/5) menunjukkan Indonesia baru melakukan pemeriksaan terhadap 552 orang per sejuta penduduk. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan Filipina sebanyak 1.439 orang per sejuta penduduk, Malaysia yang sudah memeriksa 7.573 orang per sejuta penduduk, atau Korea Selatan sebanyak 12.949 orang per sejuta penduduk.
Dari kajian bersama para kolaborator, koalisi menyimpulkan bahwa jumlah tes PCR di Indonesia masih rendah. Data yang dianalisis kolaborator Laporcovid19.org yang juga ilmuwan dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar, PhD menunjukkan orang yang diperiksa dengan pemeriksaan swab rata-rata masih di bawah 5.000 orang per hari.
Padahal, pemeriksaan merupakan kunci penting untuk penanganan selanjutnya, terutama dalam penapisan atau memisahkan yang sakit dari yang sehat sehingga tidak memicu penularan baru. Selain itu, pemeriksaan yang cepat dan akurat juga akan mempercepat penanganan pasien.
Kesimpulan berikutnya, proses tes COVID-19 di Indonesia masih memakan waktu lama. Selain jumlah dan akses pemeriksaan yang masih terbatas, prosedur pemeriksaan di Indonesia, hingga keluarnya hasil tes juga masih sangat lama. Kondisi ini menyebabkan kurva epidemiologi di Indonesia yang didasarkan pada pelaporan kasus harian oleh pemerintah akan menghadapi masalah akurasi (underreporting) dan keterlambatan.
Kajian kolaborator Laporcovid.19.org yang juga epidemiolog Universitas Padjajaran Bandung, dr. Panji Fortuna Hadisoemarto, MPH di Jakarta dan Jawa Barat menunjukkan, waktu rata-rata pengambilan sampel hingga dilaporkan mencapai 7-10 hari. Sementara itu, data yang diperoleh Laporcovid.19.org berdasarkan mekanisme pelaporan warga, menemukan kasus di Jember, Jawa Timur dengan rentang pengambilan sampel hingga saat penyampaian hasil tes membutuhkan waktu selama 17 hari.
Selain itu, sulitnya akses untuk mendapat pemeriksaan juga masih dikeluhkan oleh masyarakat yang sudah memiliki gejala.
Berikutnya, koalisi menyatakan jumlah kematian terkait COVID-19 di Indonesia masih tinggi meskipun korban meninggal dunia belum berstatus positif korona.
Data yang dikumpulkan Laporcovid.org dari tujuh provinsi (Banten, DIY, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan) menunjukkan jumlah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal lebih banyak dibandingkan yang meninggal dengan status terkonfirmasi positif COVID-19.
Koalisi Warga untuk Lapor COVID-19 kelompok yang memiliki perhatian terhadap hak asasi warga dan masalah kesehatan masyarakat terkait pandemi COVID-19. LaporCOVID-19 adalah wadah (platform) sesama warga untuk berbagi informasi mengenai angka kejadian terkait COVID-19.