Pedoman kenormalan baru ini bisa diterapkan oleh pemerintah daerah di masing-masing wilayahnya jika memenuhi enam syarat.
“Kondisi saat ini memunculkan istilah kondisi kondisi normal yang baru, di mana masyarakat pada akhirnya harus hidup berdampingan dengan ancaman virus korona. Sebagai upaya mengembalikan aktivitas kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintah pada kondisi sebelum terjadinya COVID-19, yang disebut dengan ‘Masyarakat Produktif dan Aman COVID-19’,” ujur Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam salinan keputusan yang diterima era.id, Jumat (29/5).
Tito menjelaskan, pedoman kenormalan baru ini bisa diterapkan oleh pemerintah daerah di masing-masing wilayahnya jika memenuhi enam syarat. Pertama, penularan COVID-19 di wilayahnya telah bisa dikendalikan.
Kedua, sistem kesehatan beserta fasilitasnya sudah memadai. Ketiga, mampu menekan risiko wabah COVID-19 dengan wilayah kerentanan tinggi. Keempat, bisa menerapkan protokol pencegahan COVID-19 di tempat kerja.
Kelima, mampu mengendalikan risiko kasus dari pembawa virus yang masuk ke wilayahnya. Keenam, melibatkan stakeholder terkait dalam masa transisi menuju tatanan kehidupan atau kenormalan yang baru.
"Penerapan kehidupan masyarakat produktif dan aman COVID-19 memerlukan sejumlah kesiapan teknis serta protokol kesehatan agar mampu memenuhi keenam syarat tersebut," kata Tito.
Dalam Keputusan Mendagri tersebut, Tito juga menjabarkan tahapan dan langkah teknis harus dilakukan dalam proses pengurangan, pembatasan, dan pemulihan ekonomi bagi pemerintah daerah yang terdiri dari empat hal. Pertama, pemetaan kondisi penyebaran infeksi COVID-19 dan penetapan kondisi pandemik suatu daerah.
Kedua, kesiapsiagaan pemerintah daerah dalam pencegahan dan pengendalian COVID-19. Ketiga, penyiapan masyarakat dan dunia usaha dalam mencegah dan mengendalikan COVID-19, dan keempat protokol.
Untuk menentukan kondisi epidemiologi suatu daerah, Kepmendagri ini memberikan sejumlah kriteria penilaian dan membagi daerah dalam tiga kategori, yakni hijau, kuning, dan merah. Status daerah nantinya diukur dari empat indikator, yaitu jumlah penderita positif, jumlah ODP/PDP, jumlah kematian yang dimakamkan dengan prosedur COVID-19, dan penularan langsung ke petugas kesehatan selama 14 hari terakhir.
Daerah yang kondisi epidemiologisnya mendapat skor 100, maka masuk kategori zona hijau. Untuk yang meraih skor 80-95 berkategori zona kuning. Sementara yang mendapat skor 60-75 menyandang status zona merah.
Keputusan Mendagri tersebut juga mengatur mengenai kesiapan pemerintah daerah dalam menangani infeksi COVID-19 di daerahnya. Kemampuan itu diukur melalui empat indikator, yaitu ketersediaan pelindung bagi masyarakat, pelindung bagi tenaga medis, sarana dan prasarana medis, dan perlengkapannya.
"Daerah yang memiliki nilai 850-1.000 mempunyai respon tinggi, nilai 500-850 respon sedang, dan kurang dari 500 memiliki respon rendah," tulisnya.
Untuk mengetahui kemampuan pemerintah daerah dalam menelusuri kontak pasien, ODP, dan PDP, dan orang yang dimakamkan dengan protokol COVID-19 dilihat dari empat kriteria. Pertama, identifikasi orang yang memiliki kontak dekat dengan orang terindikasi korona. Kedua, data orang terinfeksi korona. Ketiga, pengujian terhadap orang yang memiliki kontak dengan korona. Keempat penerapan serta pengawasan social distancing.
Daerah dianggap punya kemampuan tinggi menghadapi korona jika meraih skor 400. Peraih skor 300-375 dimasukkan dalam kategori respon sedang. Sementara sisanya dianggap memiliki respon rendah. Pemerintah daerah bisa menjalani kenormalan baru jika sudah bisa melakukan penelusuran kontak (contact tracing) kasus COVID-19 pada kriteria sedang.
"Oleh karena itu pemerintah daerah harus melakukan evaluasi epidemiologis ini secara rutin, minimal 14 (empat belas) hari sekali, untuk menentukan penerapan masyarakat produktif dan aman COVID-19," tulis aturan tersebut.