Angka tersebut memang meningkat dibanding Pilkada 2015 yang keterwakilan perempuannyanya hanya 7,47 persen dan 7,17 persen pada Pilkada 2017. Namun, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan kenaikan tersebut masih belum signifikan.
"Kalau kita lihat kehadiran perempuan, ya memang sangat terbatas. Dan kalau kita lihat lagi di dalam konteks latar belakang misalnya, memang perempuan belum menjadi prioritas dalam pencalonan Pilkada 2018," kata Titi dalam sebuah diskusi di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2018).
Menurut Titi, dalam bursa elektoral pemerintah seharusnya mulai memikirkan regulasi yang berpihak pada keterlibatan perempuan, agar membuka peluang bagi kaderisasi perempuan di kancah politik nasional.
"Selama ini, dana-dana yang diberikan negara bagi partai politik belum dialokasikan untuk memperkuat kaderisasi perempuan. Atau belum ada tindakan afirmasi bagi perempuannya," jelas Titi.
Diskusi 'Potret Perempuan Calon Kepala Daerah di Pilkada 2018' di Media Center KPU, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2018). (Yasir/era.id)
Kehadiran perempuan, kata Titi, diharapkan dapat menunjukkan keberpihakan pada isu-isu perempuan dan perlindungan anak. Titi berharap, jangan sampai hadirnya perempuan pada pilkada justru tak memberi atensi kepada isu-isu penguatan keterwakilan perempuan.
"Kalau dia mampu mengindentifikasi dan mendorong isu perempuan maka sesungguhnya isu-isu lain (multi isu) juga bisa dia selesaikan, atau bisa menjadi fokus di dalam penyelesaian isu kemanusiaan yang lebih besar," pungkas dia.