Kata Wisnu, Ujian Nasional (UN) pada 2009 adalah kali terakhir dia dihadapkan dengan bahasa Indonesia sebagai sebuah studi. Wisnu mengingat, kala itu nilai UN-nya mencapai 27,65. Dari tiga mata pelajaran yang diujikan (matematika, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia), matematika jadi mata pelajaran yang menyumbang poin paling besar dalam hitungan rata-rata nilai UN-nya.
Wisnu tak ingat persis berapa nilai matematikanya ketika itu. Yang jelas, di kisaran sembilan, katanya. Lebih besar di atas capaian nilainya dalam pelajaran bahasa Indonesia yang berkisar di angka delapan koma sekian.
"Delapan koma lah (nilai bahasa Indonesia)," ucap Wisnu yang tak berhasil membongkar kembali memori soal nilai UN bahasa Indonesia-nya.
Bagi Wisnu, tak penting lagi mengingat nilai ujian bahasa Indonesia yang ia peroleh saat itu. Se-tidak penting mendalami bahasa Indonesia di masa produktifnya kini. Wisnu kini bekerja sebagai auditor di kantor akuntan publik asing. Jelas, mendalami ilmu hitung-menghitung lebih penting baginya saat ini.
Wisnu bukan satu-satunya yang terjebak dalam situasi itu. Mari kita coba ingat kembali, berapa nilai UN Bahasa Indonesia kita? Seperti Wisnu kah? Yang tak lebih besar dari matematika atau mata pelajaran lainnya?
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjawab hal ini. Dan sepertinya betul, Wisnu tak sendirian. Bahkan tak sedikit yang serupa Wisnu. Sebab, data Kemendikbud menunjukkan rendahnya capaian nilai bahasa Indonesia rata-rata siswa SMA pada UN 2017.
Menurut data Kemendikbud, rata-rata nilai UN Bahasa Indonesia tahun 2017 pada konsentrasi ilmu alam (IPA) adalah 65,77. Bahkan lebih rendah lagi pada konsentrasi ilmu sosial (IPS) yang hanya 57,62. Angka tersebut berada tipis di atas standar kelulusan, yakni 55.
Kesalahan cara pandang
Kepala Program Studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Miftahul Khairah Anwar mengatakan, rendahnya nilai UN Bahasa Indonesia disebabkan oleh sejumlah hal. Pertama, banyak siswa yang menganggap bahasa Indonesia sudah digunakan sehari-hari, jadi tidak perlu dipelajari lebih mendalam.
"Menurut mereka, 'kenapa sih harus mempelajari bahasa Indonesia? Toh sudah semua orang bisa menggunakannya'. Salah satu faktor itulah yang membuat siswa jadi tidak terlalu bergairah untuk belajar bahasa Indonesia," kata Miftahul yang ditemui era.id beberapa waktu lalu.
Pengaruh orang tua memperparah cara pandang siswa dalam melihat pelajaran bahasa Indonesia sebagai subjek studi. Dia menilai orang tua gagal memperkaya cara pandang anak dalam melihat bahasa Indonesia.
Begitu banyak orang tua yang memutuskan memberi pelajaran ekstra untuk subjek studi yang bersifat eksak. Namun, sedikit orang tua yang memahami bagaimana bahasa Indonesia yang dipraktikkan sehari-hari telah jauh melenceng dari kaidah asli dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Secara sistem, kurikulum pembelajaran tahun 2013 (K13) juga menyumbang kontribusi lumayan besar dalam rendahnya capaian nilai UN Bahasa Indonesia. Menurut Miftahul, K13 yang cenderung menjemukan menyebabkan penurunan minat belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia.
"Kini, di sekolah itu lebih banyak mempelajari teks tulis, sehingga siswa jenuh. Dan K13 itu terus. Jangankan siswanya, gurunya saja kesulitan untuk memahami K13 dengan baik," tutur Miftahul.
Miftahul melihat ada kegagalan sinkronisasi antara K13 dengan penerapan pola pembelajaran yang dilakukan para guru di kelas. Padahal, dalam K13, telah diatur sejumlah poin yang jika diamalkan dapat menghidupkan kembali gairah berbahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kompetensi inti siswa tingkat SMA, K13 mengatur bahwa setiap pengajar ataupun siswa wajib menghayati, menalar, menyaji dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
Berdampak panjang
Kegagalan menerapkan bahasa Indonesia sebagai studi pembelajaran nyatanya berpengaruh dalam kehidupan masyarakat secara sosial. Wisnu misalnya yang akhirnya tak dapat menerima bahasa Indonesia sebagai subjek studi yang dibutuhkan dalam dunia profesional.
"Menurut mereka, bahasa Indonesia tidak menjanjikan suatu pekerjaan yang khusus, tidak memerlukan keterampilan yang khusus seperti halnya dokter," ungkap Miftahul menggambarkan Wisnu dan orang-orang serupanya.
Tak hanya dalam kehidupan profesional. Di kehidupan sehari-hari pun, penerapan bahasa Indonesia akhirnya tak teramalkan dengan baik.
Entah, apa sesulit itu kah berbahasa Indonesia dengan baik dan benar?