Sesulit Itukah Bahasa Indonesia?

| 14 Jul 2018 06:10
Sesulit Itukah Bahasa Indonesia?
Ilustrasi (Mia Kurniawati/era.id)
Jakarta, era.id - Rendahnya nilai rata-rata Ujian Nasional (UN) Bahasa Indonesia tahun 2017 jadi salah satu indikator sulitnya berbahasa Indonesia. Tapi, apa iya berbahasa Indonesia dengan baik dan benar itu sulit? Yang jelas, bahasa Indonesia nyatanya memang terklasifikasi sebagai salah satu bahasa yang paling sulit untuk dipelajari.

Berdasar informasi yang dihimpun dari sebuah lembaga pendidikan bahasa, Effective Language Learning, bahasa Indonesia diklasifikasikan dalam Kategori III. Dalam salah satu kajiannya, Effective Language Learning mengklasifikasikan tingkat kesulitan mempelajari sebuah bahasa berdasar rata-rata perkiraan waktu mempelajarinya, dari nol hingga menguasai.

Klasifikasi dimulai dari Kategori I sampai Kategori V. Setiap kategori diisi oleh bahasa-bahasa yang ada di seluruh dunia. Makin tinggi kategorinya, makin lama juga waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari bahasa-bahasa tersebut. Untuk bahasa Indonesia, Effective Language Learning mencatat waktu 900 jam sebagai rata-rata waktu yang dibutuhkan setiap orang untuk mempelajari bahasa Indonesia.

Di dalam negeri sendiri, kesulitan mempelajari dan mengamalkan bahasa Indonesia dengan baik dan benar amat terlihat. Ya, rendahnya rata-rata nilai UN Bahasa Indonesia dibanding mata pelajaran lain salah satu indikatornya. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), rata-rata nilai UN Bahasa Indonesia SMA pada konsentrasi ilmu alam (IPA) adalah 65,77. Untuk konsentrasi ilmu sosial (IPS) bahkan lebih rendah lagi, yakni 57,62. Tipis di atas standar kelulusan nasional, yakni 55.

Kepala Program Studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Miftahul Khairah Anwar mengatakan, kebanyakan siswa-siswi di Indonesia memandang bahasa Indonesia sebagai bahasa harian yang tak perlu dipelajari secara mendalam. Pengaruh orang tua juga dianggap memperparah cara pandang siswa dalam melihat pelajaran bahasa Indonesia sebagai subjek studi. Buktinya, sangat sedikit orang tua yang menyadari pentingnya memberikan pendidikan mendalam soal bahasa Indonesia kepada anak-anak mereka.

Secara sistem, Kurikulum Tahun 2013 (K13) juga menyumbang kontribusi lumayan besar dalam rendahnya capaian nilai UN Bahasa Indonesia. Miftahul melihat ada kegagalan sinkronisasi antara K13 dengan penerapan pola pembelajaran yang dilakukan para guru di kelas.

Padahal, dalam K13, telah diatur sejumlah poin yang jika diamalkan dapat menghidupkan kembali gairah berbahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. "Kini, di sekolah itu lebih banyak mempelajari teks tulis, sehingga siswa jenuh. Dan K13 itu terus. Jangankan siswanya, gurunya saja kesulitan untuk memahami K13 dengan baik," tutur Miftahul.

Infografis (era.id)

Kacamata sosiologi

Kegagalan menerapkan bahasa Indonesia sebagai studi pembelajaran nyatanya berpengaruh dalam kehidupan masyarakat secara sosial. Kebanyakan masyarakat awam akhirnya melihat bahasa Indonesia sebagai hal yang tidak berefek langsung pada prospek pekerjaan.

"Menurut mereka, bahasa Indonesia tidak menjanjikan suatu pekerjaan yang khusus, tidak memerlukan keterampilan yang khusus seperti halnya dokter," kata Miftahul.

Lebih lanjut, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta menuturkan, bukan hanya faktor individu yang menyebabkan buruknya pengamalan berbahasa Indonesia di tengah masyarakat. Sistem pendidikan yang seharusnya berperan krusial pun disebut-sebut tak berperan maksimal.

“Kemampuan guru dalam merepresentasikan berbahasa Indonesia dalam pembelajaran ini memang dituntut sebagai role model. Kalau figur panutannya mampu merekomendasikan cara berbahasa Indonesia yang menarik dan mudah dipahami, pasti pembelajaran akan mudah diserap," kata Widyanta kepada era.id.

Bahkan, di beberapa daerah, Widyanta masih melihat adanya praktik pengajaran berbahasa Indonesia yang kurang baik. Di Jawa misalnya, di mana masih banyak pengajar bahasa Indonesia yang melakukan komunikasi menggunakan bahasa daerah dalam kegiatan belajar-mengajar.

Libatkan siswa dan teknologi

Pendidikan yang seharusnya diajarkan, kata Widyanta harus dapat menghidupkan konsep role playing atau pembelajaran dengan permainan. Sebab, jika guru hanya ucap-ucap di kelas dan siswanya menulis di kertas akan membuat siswa malas dan bosan.  “Coba tengok pendidikan pembelajaran di luar negeri. Ada tebak-tebakan untuk mengeja vocabulary atau penguasaan kata. Seharusnya pelibatan siswa mesti di-drill terus," ungkap dia.

Terkait banyaknya penggunaan bahasa slang di media sosial, Widyanta menyebut hal tersebut sebagai hal yang tak dapat dihindari. Mungkin memang ada baiknya memanfaatkan potensi bahasa slang untuk memperkaya pengunaan bahasa di Indonesia. Namun tentunya harus ada kontrol terhadap hal tersebut, bagaimana memanfaatkan keberagaman dan teknologi, begitu kata Widyanta.

“Perkembangan zaman akan terus melahirkan perkembangan bahasa baru pula. itu tidak terhindarkan. Guru juga harus meng-update perkembangan teknologi juga. Misalnya, dengan menyuruh murid membuat karangan yang ditulis dalam blog pribadi di internet. Hal tersebut bisa kita manfaatkan untuk mengembangkan bagaimana mereka menguasai bahasa Indonesia dengan manfaatkan teknologi,” terangnya.

Jadi, sebetulnya masalah bukan pada sulit atau tidaknya bahasa Indonesia dibanding bahasa yang lain. Yang terpenting, bagaimana guru sebagai figur panutan mampu meramu metode pembelajaran dapat melibatkan siswa secara aktif sekaligus mengadaptasi manfaat perkembangan teknologi.

Rekomendasi